PERSEPSI MASYARAKAT
TENTANG PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PADA KELUARGA NIKAH
BEDA AGAMA
DI DUSUN NGIPIK DESA
CANDI KEC. BANDUNGAN KAB. SEMARANG
TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Islam
Oleh
BAHRIN
NIM 11111190
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
SALATIGA
2015
MOTTO
Manfaatkan hidup
di DUNIA karena hidup di DUNIA ini sebagai penentu kehidupan di AKHIRAT
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan
skripsi ini untuk:
1.
Keluarga besarku
terutama pada Bapakku, Bapak TASIRUN
Ibuku SARIMAH yang tidak lelah untuk selalu memberikan Do’anya, kasih
sayangnya untukku, kakakku ISNANIK dan Adikku ULFA ASMANAH yang selalu memberi
warna didalam keluargaku dan yang telah memberikan nasihat, motivasi, dan
dukungannya untukku.
2.
Sahabat-sahabatku di
IAIN Salatiga yang selalu menemani di saat suka maupun duka, yang selalu
memotivasi dan memberi banyak dukungan, yang telah membantu memperlancar dalam
pembuatan skripsiku..
3.
Keluarga besar dan
teman-teman seperjuanganku di Kampus yaitu kelas PAI E angkatan tahun 2011,
kelompok PPL, kelompok KKN, dan teman lainnya di IAIN Salatiga yang selalu
memberikanku semangat berjuang dalam hal apapun serta memberikan banyak
pelajaran yang berharga dan ilmu yang bermanfaat.
KATA PENGANTAR
Asslamu’alaikum
Wr. Wb
Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan
syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW,
keluarga, sahabat dan para pengikut setianya.
Skripsi
ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh gelar kesarjanaan
dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan
selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku rektor IAIN Salatiga.
2.
Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam
(PAI).
3.
Bapak Dr. Mukti Ali, M.Hum sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya
dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak Drs. Taufiqul Mu’in, M.Ag. selaku pembimbing akademik.
5.
Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
6.
Masyarakat Dusun Ngipik yang telah memberikan izin serta membantu penulis
dalam melakukan penelitian di dusun tersebut.
7.
Bapak dan ibu serta saudara-sadaraku, serta keluarga besarku yang telah
mendoakan dan membantu dalam bentuk materi untuk membiayai penulis dalam
menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau
mendapatkan balasan yang setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT.
Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya
dan para pembaca umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Salatiga,
27 Januari 2016
Penulis
BAHRIN
NIM:
111 11 190
ABSTRAK
Bahrin. 2015. Persepsi Masyarakat Tentang
Pendidikan Agama Islam Pada Keluarga Nikah Beda Agama di Dusun Ngipik Tahun
2015. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK). Jurusan
Pendidikan Agama Islam (PAI). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Dosen Pembimbing: Dr. Mukti Ali, M.Hum.
Kata kunci: Persepsi Masyarakat, pendidikan agama Islam dan keluarga
Nikah Beda Agama.
Penelitian
ini dilatar-belakangi oleh dua keluarga yang menikah beda agama di Dusun Ngipik
yang mana orang tua dari pasangan beda agama tersebut beragama Isam. Namun
kenapa orang tua tersebut membolehkan anaknya menikah pada pasangan yang
berbeda agama. Sedangkan pendidikan agama Islam ditengah- tengah keluarga
adalah hal yang sangat mutlak adanya. Maka itu adalah masalah tersendiri bagi
keluarga khusunya dan bagi masyarakat dalam peranan lingkunganya. Di dalam
masyarakat sudah tentu tidak akan lepas adanya interaksi tehadap warga
lingkungan, serta mengedepankan sikap kegotong-royongan khususnya di daerah
pedesaan seperti Dusun Ngipik ini.
Fokus penelitian ini adalah: 1) bagaimanakah persepsi masyarakat pada keluarga beda agama? 2) Bagaimanakah
pendidikan agama Islam pada keluarga beda agama? 3) Bagaimana perilaku pelaku nikah beda agama di dalam masyarakat?
Tujuan dari penelitian ini adalah; Untuk
Mengetahui persepsi masyarakat tentang keluarga beda agama. Mengetahui
pendidikan agama Islam pada keluarga nikah beda agama. Mengetahui keluarga nikah beda agama dalam bermasyarakat. Kemudian metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku ini dapat diamati dari fakta-fakta yang ada saat ini.
Hasil
penelitian yang diperoleh adalah: persepsi masyarakat tentang pendidikan agama
Islam keluaraga beda agama di Dusun Ngipik ada yang memandang positif dan ada
yang memandang negatif. Masyarakat berpandangan positif karena salah satu
keluarga tersebut dapat menghargai lingkungan, sanggup mengikuti
kegiatan-kegiatan yang ada, baik sosial maupun agama, sedangkan yang
berpandangan negatif karena keluarga tersebut tidak sepenuhnya mengikuti ajaran
agama Islam, yang berakibat pada kegiatan-kegiatan sosial mereka ada batasan.
Dilihat dari pandangan masyarakat tersebut maka perlu adanya pendidikan agama
Islam agar tercipta keluarga yang sakinah, mawadah warahmah, dan sosial yang
baik diantaranya pendidikan akhlak, pendidikan toleransi, pendidikan keagamaan
dan pendidikan amar ma’ruf nahi mungkar. Kemudian perilaku yang ditunjukkan
oleh keluarga beda agama berbeda-beda ada yang positif, bersifat baik dengan
keluaraga maupun masyarakat namun ada yang berpendapat negatif, karena sikap
keegoisan dalam peranan keluarga maupun masyarakat.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
........................................................................
|
i
|
LEMBAR BERLOGO
.....................................................................
|
ii
|
HALAMAN NOTA PEMBIMBING
..............................................
|
iii
|
PENGESAHAN KELULUSAN
......................................................
|
iv
|
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
.......................................
|
v
|
MOTTO
............................................................................................
|
vi
|
PERSEMBAHAN..............................................................................
|
vii
|
KATA PENGANTAR
......................................................................
|
viii
|
ABSTRAK
........................................................................................
|
x
|
DAFTAR ISI
.....................................................................................
|
xii
|
DAFTAR LAMPIRAN
....................................................................
|
xiv
|
BAB I PENDAHULUAN
|
|
|
1
|
|
6
|
|
6
|
|
6
|
|
7
|
|
10
|
|
19
|
|
|
BAB II KAJIAN PUSTAKA
|
|
|
21
|
|
24
|
|
33
|
|
38
|
|
|
BAB III PAPARAN DATA
DAN TEMUAN PENELITIAN
|
|
A.
Gambaran Umum Lokasi
Penelitian.......................................
|
43
|
|
45
|
|
49
|
|
56
|
|
|
BAB IV PEMBAHASAN
|
|
|
64
|
|
73
|
|
|
BAB V PENUTUP
|
|
|
78
|
|
81
|
DAFTAR PUSTAKA
.......................................................................
|
83
|
LAMPIRAN-LAMPIRAN
|
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan agama Islam
adalah pendidikan melalui ajaran
Agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik yang
nantinya setelah selsai dalam pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan
mengenalkan ajaran-ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan dan amalan
hidupnya. Direktorat jndreal pembinaan kelembagaan agama islam, 1984: 80).
Keluarga sebenarnya bukan hanya
terbatas pada ikatan pernikahan untuk sekedar mendapatkan keturunan tetapi
keluarga tetapi keluarga merupakan sumber pendidikan yang utama. Keluaraga
adalah salah satu elemen terkecil dalam masyarakat yang merupakan institusi
sosial terppenting dan merupakan unit sosial yang utama melalui
individu-individu disiapkan nilai-nilai hidup dan kebudayaan yang utama (Chabib
Thoha, 1996: 109).
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral. Hakikat pernikahan adalah
bersatunya hidup antara laki-laki dan perempuan (yang saling mencintai) untuk
membentuk hidup bersama dan memiliki tujuan yang sama yaitu menemukan kebahagiaan
dan melanjutkan keturunan (Wismanto dkk, 2012: 1).
Penikahan dalam masyarakat itu ada beberapa macam, baik itu
pernikahan sesama agama, sesama suku, maupun campuran. Pernikahan campuran
seperti beda agama memang dilarang oleh setiap agama karena antar perkawinan
dan agama sangat erat hubunganya serta dilihat dari segi hukum agama atau
syari’at sangat berbeda, yang memungkinkan tidak syahnya suatu pernikahan itu
jika dilihat dari prespektif hukum agama. Namun, jika dilihat dari realitanya
justru perkawinan antar agama ini menjadi hot news dalam masyarakat.
Karena suatu alasan-alasan tertentu seperti yang dikemukakan di atas yang
mendasari seseorang melakukan pernikahan antar agama, seperti dalam masyarakat
di Dusun Ngipik yang mulanya Dusun ini terkenal dengan kentalnya ketaatan dalam
beribadah, beragama, dan kini ada beberapa pasangan suami istri yang berbeda
agama dalam lingkup keluarga dan masyarakat yang taat beragama, tentunya ini
adalah pandangan yang tabu bagi masyarakat sekitar khususnya dan masyakat di
luar pada umumnya sehingga secara otomatis akan mengundang argumen masyarakat .
Ada yang memandang bahwa pernikahan itu sakral yang mengutamakan
cinta antarmanusia dan meletakkan agama sebagai pembimbing rasa kasih sayang
meraka dalam menjalani kehidupan, sehingga pernikahan atau ritual agama itu
harus menghormati dan dihormati.
Ada masyarakat yang berpendapat bahwasanya pernikahan itu bukan
hanya suatu catatan atau pengakuan dari negara tetapi pernikahan adalah jalan
awal menuju kebahagian dunia dan akhirat sehingga memungkinkan adanya bimbingan
dan aturan-aturan seperti halnya suatu negara yang dipimpin seorang presiden
yang didalam pemerintahanya banyak aturan-aturan yang wajib di taati terhadap masyarakatnya serta bagaimana
bersosial antar sesama manusia. Dalam keluargapun sebenarnya sama bahwasanya
pemimpin atau presiden keluarga adalah seorang ayah yang bertanggung jawab
membina keluarganya dalam menjalani kehidupan, tentunya tak lepas dari suatu aturan
dalam ajaran agama yang di anutnya dan tidak terlepas dari tanggung jawab
sebagai orang tua yaitu mendidik anak, karena orang tua memiliki peran penting
dalam keluarganya sebelum masyarakat. dari kasus yang ada dalam masyarakat Dusun
Ngipik ini ada kasus pasangan yang berbeda agama yang mana dari beberapa
keluarga tesebut di terdapat latarbelakang yang berbeda, ada yang menikah
karena alasan cita, ekonomi, juga ada yang benar-benar mau berpindah agama.
Berkenaan dengan hal ini, Agama Islam telah mengatur tentang
pernikahan beda agama di dalam (QS. Al-Baqarah:
221).
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ
وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ
يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.
(Kholil, 2012: 217)
Untuk itu kembali pada masalah yang ada di Dusun Ngipik ini ada
suami istri pelaku nikah beda agama yang mana ada perbedaan dari interaksi
sosialnya dan pendidikan yang di terapkan dalam keluarganya, dari perbandingan
keluarga satu dan yang lainya. Yang hakekatnya sama-sama menikah dengan kepercayaan
yang berbeda, ada pasangan beda agama satu yang terlihat adanya srawung
atau mengikuti kegiatan yang menjadi tradisi masyarakat dusun ini seperti:
yasian, kenduri, dan lain sebagainya. Dan juga kegiatan kemasyarakatan pada
umumnya seperti: kerja bakti (membangun masjid, sarana dusun, dan lain-lain). Namun
pasangan beda agama yang kedua justru kebalikanya dari pasangan yang pertama
yang selama ini tidak terlihat adanya srawung atau berkumpul dan berinteraksi
dengan masyarakatat setempat. Berdasarkan observasi penulis selaku tetangga
dari keluarga pelaku nikah beda agama tersebut dalam aktivitasnya sehari-hari
terlihat adanya rutinitas yang selalu sama yaitu setiap pagi berangkat kerja
dan pulang pada sore hari. Tentu dalam penglihatan seseorang dia tidak ada
aktivitas lain selain itu.
Hidup di masyarakat tentunya banyak kegiatan dari mulai kegiatan
yang diagendakan maupun kegiatan yang memungkinkan waktu yang tidak bisa
diprediksikan atau bisa dibilang mendadak. Tidak lepas dari aturan-aturan
tersebut maka waktu dan tenagapun secara otomatis akan dibutuhkan didalam
pelaksanaan kegiatan yang ada misalnya: kegiatan religi yang menjadi keutamaan
masyarakat Dusun Ngipik setiap seminggu sekali mengadakan tahlilan atau
yasinan, kemudian dalam hal lain misalkan: Pembangunan jalan, masjid, membuat
makam jika ada saudara yang meninggal dan sebagainya. Tentunya itu semua tak
luput dari kekompakan atau gotong-royong warga setempat. Dilihat dari kegiatan
yang ada pada realita kehidupan kemasyarakatan tidak terlihat adanya aktivitas pelaku
nikah beda agama didalamnya, maksudnya dia tidak pernah bermasyarakat. Dari
situlah masyarakat dengan melihat adanya gap antara pelaku nikah beda
agama dengan masyarakat setempat. Namun ada beberapa keluarga yang nikah beda
agama pelaku A dengan B dalam menerapkan pendidikan agama dan
kebermasyarakatanya sangat berbeda, bisa di katakan bertolak atau berlawanan
dikarenakan beberapa hal yang menjadi alasan pada keluarga tersebut.
Di dalam masyarakat terdapat berbagai karakter yang dimiliki setiap
indivu berbeda satu sama lain, yang memungkinkan adanya pro-kontra dalam sebuah
pandangan, keinginan dan sebagainya. Dalam kehidupan bermasyarakat banyak
sekali permasalahan baik individu, keluarga dan lingkuganya. Orang yang baik
dan buruk biasanya di lihat dari kacamata perilaku dari keseharianya entah itu
dari pribadinya, keluarganya, dan kemasyarakatanya.
Keluarga mempunyai tanggung jawab dan peran penting di dalam
keluraganya sendiri maupun di dalam masyarakat. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama.
Disebut sebagai lingkungan atau lembaga
pendidikan pertama karena sebelum manusia mengenal lembaga pendidikan yang
lainya, pendidikan inilah yang pertama ada. Selain itu manusia mengalami proses
pendidikan sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan pertamakali adalah dalam
keluarga.
Dari uraian mengenai pendidikan dan
keluarga diatas saling berkaitan, orangtua bertanggungjawab
terhadap pendidikan keluarganya dengan pendidikan sesuai agama yang di anutnya.
Akan tetapi bagaimana jika pendidikan itu terjadi dalam keluarga beda agama? Maka
dari itu peneliti akan mengadakan penelitian dengan mengangkat Judul:
“Persepsi Masyarakat Tentang Pendidikan Agama Islam Keluarga Nikah Beda
Agama Di Dusun Ngipik Kec. Bandungan
Kab. Semarang
Tahun 2015”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka penulis memfokuskan
beberapa pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Bagaimanakah persespsi masyarakat pada keluarga beda agama?
2.
Bagaimanakah pendidikan agama Islam pada keluarga beda agama?
3.
Bagaimanakah perilaku keluarga beda agama di dalam Masyarakat?
C. Tujuan Penelitian
Dari fokus masalah tersebut, maka dapat diperoleh tujuan penelitian
sebagai berikut:
1.
Mengetahui persepsi masyarakat tentang keluarga beda agama.
2.
Mengetahui pendidikan agama Islam pada keluarga nikah beda agama.
3.
Mengetahui keluarga nikah beda agama dalam bermasyarakat.
D. Kegunaan Penelitian
1.
Secara Teorotis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
pendidikan agama islam dalam keluarga nikah beda agama.
2.
Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pokok permasalahan keluarga
nikah beda agama dalam mengaplikasikan pendidikan agama islam dalam keluarga.
a.
Pandangan masyarakat
Dengan diadakan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
informasi terhadap pelaku pernikahan beda agama. Serta memberikan saran-saran
bagi generasi agar kedepanya bisa terarah.
b.
Generasi yang belum menikah
Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan gambaran
umum tentang pernikahan serta pendidikan agama pada keluarga beda agama, agar
terhindar dari hal-hal yang sifatnya dilarang baik oleh Negara maupun Agama.
c.
Menambah hasanah informasi yang akan bermanfaat bagi peneliti dan
pihak yang berkepentingan.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari adanya salah pengertian dalam memahami judul
penelitian di atas, perlu ditegaskan beberapa istilah dalam judul di atas
yaitu:
1.
Persepsi
Persepsi adalah
proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan
menafsikan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempenaruhi
perilaku kita. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran
(interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian-balik (decoding)
dalam proses komunikasi (Mulyana, 2013: 179-180).
Persepsi
seseorang merupakan suatu proses yang aktif dimana yang memegang peranan bukan
hanya stimulus yang mengenainya, tetapi ia juga sebagai keseluruhan dengan
pengalaman-pengalamanya, motivasinya dan sikap-sikap yang relevan terhadap
stimulus tersebut. (Sadli, 1977: 72).
Dari kutipan
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi adalah suatu proses yang aktif
dan kreatif dalam menafsirkan stimulus dari lingkunganya.
2.
Masyarakat
Menurut
Abdulsyani (1987) bahwa masyarakat sebagai community dapat dilihat dari dua
sudut pandang; pertama, memandang community sebagai unsur statis,
artinya community terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan batas-batas
tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga
ia dapat pula disebut masyarakat setempat, misalnya kampung, dusun, atau
kota-kota kecil.
Masyarakat
setempat adalah suatu wadah dan wilayah dari kehidupan sekelompok orang yang
ditandai oleh adanya hubungan sosial. Kedua, community dipandang sebagai
unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu proses (nya) yang terbentuk
melalui faktor psikologis dan hubungan antar manusia, maka didalamnya
terkandung unsur-unsur kepentingan, keinginan atau tujuan-tujuan yang sifatnya
fungsional. Dalam hal ini dapat diambil contoh tentang masyarakatpegawai
negeri, masyarakat ekonomi, masyarakat mahasiswa dan sebagainya (Abdulsyani,
2007: 30-31). Sosial dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, dalam penelitian
ini pelaku nikah beda agama sebagai objek dalam bersosial didalam lingkungan
yang mayoritas beragama islam serta kegiatan yang tak luput dari karakter
islami yang membuat suatu perasaan dan kecanggungan pelaku nikah beda agama
dalam beraktivitas dan bersosial dengan lingkuangan tersebut.
3.
pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama islam adalah pendidikan melalui ajaran agama islam, yaitu berupa
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik yang nantinya setelah selsai dalam pendidikan
ia dapat memahami, menghayati dan mengenalkan ajaran-ajaran agama Islam itu
sebagai suatu pandangan dan amalan hidupnya. Direktorat jndreal pembinaan
kelembagaan agama islam, 1984: 80).
4.
Keluaraga beda agama
Keluarga adalah suatu institusi yang terbentuk
karena ikatan pernikahan antara sepasang suami istri untukl hidup beesama, seia
sekata, seiring dan setujuan, dalam
membina maghligai rumah tangga untuk mencapai keluarga sakina dalam lindungan
dari ridha Allah (Djamarah, 2004: 28).
Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yanhg
dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan dia melalui upacara, penyembahan
dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan
ajaran agama itu (Ali, 1997: 36). Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral.
Hakikat pernikahan adalah bersatunya hidup antara laki-laki dan perempuan (
yang saling mencintai ) untuk membentuk hidup bersama dan memiliki tujuan yang
sama yaitu menemukan kebahagiaan dan melanjutkan keturunan (Wismanto dkk, 2012:
1)
Dari uraian tesebut dapat disimpulkan bahwa
keluarga beda agama adalah keluaraga yang terbentuk dari ikatan pernikahan
antara sepasang suami istri yang berbeda agama atau keyakinan.
F.
Metode Penelitian
1.
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Lexy J. Moloeng
menjelaskan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 1988: 6).
2.
Kehadiran Peneliti
Peneliti dalam
hal ini bertindak sebagai instrumen penelitian, artinya peneliti terjun
langsung ke lapangan untuk melakukan proses penelitian dan pengumpulan data.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara/interview. Dalam hal
ini peneliti memiliki pengetahuan dasar sehingga memungkinkan untuk
mengembangkan pertanyaan untuk wawancara mendalam di lapangan.
Peneliti mengadakan
komunikasi dengan objek penelitian atau responden dengan menggunakan bahasa
sesuai objek yang di wawancara, peneliti tidak menggunakan satu bahasa namun
peneliti meamakai bahasa sesuai tingkat pemahaman objek penelitian agara
memungkinkan komunikasi lebih akrab dan mudah dipahami sehinga akan terjalin
baik antara peneliti dan responden.
3.
Lokasi Penelitian
Penelitian akan
dilaksanakan di Dusun Ngipik Desa candi
Kec. Bandungan Kab. Semarang. Yang menjadi obyek penelitian dan
informasi.
4.
Sumber Data
Data dalam penelitian ini sumber data yang
diperoleh, diantaranya melalui: Yang pertama sumber data primer adalah sumber
data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2006:253).
Sumber data primer dapat diperoleh langsung dari lapangan yang dapat memberikan
gambaran keadaan, mengidentifikasi permasalahan, dan menjawab semua pertanyaan
dalam penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah para tokoh
masyarakat, individu yang dianggap mempunyai latar belakang agama yang kuat dan
masyarakat pada umumnya.
Yang kedua sumber
data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data, misalnya melaui orang lain atau melalui dokumentasi (Sugiyono,
2006:253). Sumber data sekunder dapat diperoleh dari buku, jurnal, internet,
artikel, majalah atau koran, serta hasil penelitian lainnya. Sumber data
sekunder dalam penelitian ini yaitu berupa foto, catatan, dan arsip. Catatan
dan arsip yang dimaksud adalah semua yang berkaitan dengan pelaku nikah beda
agama.
5.
Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data
sekunder. Data primer dapat diperoleh langsung dari lapangan yang dapat
memberikan gambaran keadaan, mengidentifikasi permasalahan, dan menjawab semua
pertanyaan dalam penelitian. Sedangkan data sekunder dapat diperoleh dari buku,
jurnal, internet, artikel, majalah atau koran, serta hasil penelitian lainnya. Data
primer dapat diperoleh melalui:
a.
Wawancara
Esterberg
(2002) menyatakan bahwa “wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu”. Wawancara yang digunakan dalam penelitian adalah
wawancara tak berstruktur atau terbuka, yaitu wawancara yang bebas di mana
peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara
sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Wawancara ini
digunakan dalam mencari data melalui informan tentang perasaan responden
mengenai pelaku nikah beda agama dusun ngipik, serta peneliti juga dapat
mengetahui lebih mendalam tentang informan mengenai hal-hal terkait dengan
judul, sehingga dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena sesuai dengan
yang terjadi. Pengumpulan data pada wawancara dapat dilengkapi pula melalui
observasi.
b.
Observasi
Marshall (1995)
menyatakan bahwa “melalui observasi peneliti belajar tentang perilaku dan makna
dari perilaku tersebut”. Observasi merupakan cara pengumpulan data melalui
pengamatan dan pencatatan langsung sesuai dengan keadaan riil di lapangan.
Observasi ini digunakan dalam mencari data tentang kegiatan-kegiatan, perilaku
indivudu, dengan keluarga dan dengan masyarakat di dalam lingkunagan yang ada di
Dusun Ngipik, untuk memperoleh data yang berhubungan dengan gambaran riil.
c.
Dokumentasi
Dokumentasi
merupakan catatan peristiwa yang telah berlalu (Sugiyono, 2006: 270).
Dokumentasi merupakan materi tertulis yang didasarkan pada catatan dan
dokumen-dokumen yang digunakan untuk melengkapi sebuah data yang diperlukan
dalam penelitian. Dokumen-dokumen tersebut bisa berupa foto dan hasil wawancara
yang didapat dari informan. Dokumentasi digunakan dalam bukti bahwa peneliti
terjun langsung dalam masyarakat untuk melangsungkan penelitian mengenai pandangan
masyarakat terhadap kemasyarakatan pelaku nikah beda agama di Dusun Ngipik, dan
diperlukan sebagai pelengkap dari penggunaan metode wawancara dan observasi,
sehingga akan lebih kredibel/dapat dipercaya jika didukung oleh data-data
dokumentasi.
6.
Analisis Data
Data dalam
penelitian kualitatif sangat beragam bentuknya, diantaranya ada catatan
wawancara, rekaman suara, gambar, foto, peta, dokumen, bahkan rekaman pada
shoting lapangan.
Bogdan
menyatakan bahwa, “analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain” (Sugiyono, 2006: 274). Analisis ini sendiri
akan dilakukan melaluai beberapa tahap, yaitu:
a.
Reduksi Data
Data
yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, oleh karena itu perlu
dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih
hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran
yang lebih jelas dan memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya serta mencarinya bila diperlukan. Yang peneliti lakukan dalam
mereduksi data diantaranya:
1)
Hasil wawancara maupun catatan lapangan yang masih umum dan acak-acakan
yang belum dapat dipahami, dengan reduksi maka peneliti merangkum, mengambil
data yang pokok dan penting, sedangkan yang tidak penting dibuang.
2)
Peneliti dalam mereduksi data akan memfokuskan pada persepsi masyarakat
tentang kehidupan, masalah dalam bersosial, karakter keluarga pelaku nikah beda
agama.
3)
Jika peneliti dalam melakukan penelitian menemukan segala sesuatu
yang dipandang asing, maka itulah yang harus dijadikan perhatian dalam
mereduksi data.
b.
Penyajian Data (Data Display)
Penyajian
data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, dan sejenisnya, tapi
yang paling sering digunakan adalah teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay
data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang dipahami (Sugiyono, 2006: 280). Pada langkah ini peneliti berusaha menyusun data yang relevan sehingga
menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya
dapat dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi
dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapi tujuan penelitian.
c.
Kesimpulan dan Verifikasi
Data
yang sudah dipolakan, difokuskan, dan disusun secara sistematis melalui reduksi
dan penyajian data yang kemudian disimpulkan sehingga makna data dapat
ditemukan. Untuk memperoleh kesimpulan yang lebih mendalam, maka diperlukannya
data baru sebagai penguji terhadap kesimpulan awal. Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi data diambil dari hasil reduksi dan panyajian data merupakan kesimpulan sementara.
Kesimpulan sementara ini masih dapat berubah jika ditemukan bukti-bukti kuat
lain pada saat proses verifikasi data di lapangan. Jadi proses verifikasi data
dilakukan dengan cara peneliti terjun kembali di lapangan untuk mengumpulkan
data kembali yang dimungkinkan akan memperoleh bukti-bukti kuat lain yang dapat
merubah hasil kesimpulan sementara yang diambil. Jika data yang diperoleh
memiliki keajegan (sama dengan data yang telah diperoleh) maka dapat diambil
kesimpulan yang baku dan selanjutnya dimuat dalam laporan hasil penelitian.
7.
Pengecekan Keabsahan Data
Uji
keabsahan data dalam penelitian ini terdapat beberapa kriteria yang nantinya
akan dirumuskan secara tepat, teknik pemeriksaannya yaitu adanya kredibilitas
yang dibuktikan dengan perpanjang pengamatan, peningkatan ketekunan dalam
penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif,
dan dimintakan kesepakatan (membercheck) (Sugiyono,
2006: 302).
Untuk
mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian memiliki tingkat
kebenran atau tidak, maka dilakukan pengecekkan data yang disebut validitas
data. Untuk menjamin validitas data maka dilakukan triangulasi, yaitu teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain seperti
pengecekkan data dari berbagai sumber, berbagai teknik, dan berbagai waktu.
Dalam penelitian ini, untuk menguji keabsahan data dilakukan dalam beberapa
bentuk meliputi:
a.
Triangulasi Sumber
Menurut Patton (1987), “triangulasi sumber berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda” (Moleong, 2009: 330). Dalam penelitian ini yang
peneliti lakukan, diantaranya:
1)
Membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil pengamatan,
2)
Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan yang
dikatakan secara pribadi,
3)
Membandingkan data hasil wawancara dengan isi suatu dokumentasi,
4)
Data yang diperoleh dilakukan pada tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan sebagian masyarakat yang berpengalaman dalam bidang agama, data dari sumber
tersebut tidak bisa dirata-ratakan tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan
mana pandangan yang sama, mana yang berbeda, dan mana yang spesifik dari
sumber-sumber tersebut sehingga dapat dianalisis oleh peneliti yang kemudian
menghasilkan suatu kesimpulan.
b.
Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik merupakan pengecekan data kepada sumber yang
sama namun dengan teknik yang berbeda (Sugiyono, 2006: 307). Dalam penelitian
ini, peneliti melakukan pengecekkan terhadap data yang telah diperoleh melalui
wawancara lalu dicek melalui observasi ataupun dokumentasi. Bila dengan
teknik-teknik tersebut menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti
melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data atau yang lainnya untuk
memastikan data yang sebenarnya.
8.
Tahap-tahap Penelitian
a.
Kegiatan administratif, yang meliputi pengajuan izin operasional
untuk penelitian dari ketua IAIN Salatiga selaku penanggung jawab, kemudian
menyusun pertanyaan untuk wawancara, serta melakukan administratif lainnya.
b.
Kegiatan lapangan yang meliputi:
1)
Survei awal untuk mengetahui gambaran lokasi penelitian, yaitu
di Dusun Ngipik Desa Candi Kecamatan
Bandungan.
2)
Menemui kepala dusun/kadus, para tokoh agama, dan sebagian
masyarakat umum yang dipandang mempunyai pengalaman agama yang cukup baik yang akan dijadikan objek penelitian.
3)
Melakukan wawancara kepada para informan sebagai langkah untuk
pengumpulan data, kemudian observasi langsung ke lapangan secara mendalam
berkaitan dengan yang diteliti.
4)
Menyajikan data dengan susunan dan urutan yang memungkinkan untuk
memudahkan dalam melakukan pemaknaan.
5)
Mereduksi data dengan cara membuang data-data yang lemah atau
menyimpang.
6)
Melakukan ferivikasi data untuk membuat kesimpulan-kesimpulan sebagai
deskriptif temuan penelitian.
7)
Menyusun laporan akhir untuk dijilid dan dilaporkan.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam memahami
skripsi ini, maka perlu diketahui data urutan penulisnya, adapun urutanya
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat:
latar belakang masalah, fokus penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, sistematika
penulisan skripsi.
BAB II KAJIAN
PUSTAKA
Pada bab ini berisi
tentang teori-teori yang berhubungan dengan
penelitian: Tentang persepsi masyarakat, kehidupan sosial kemasyarakatan, pelaku nikah beda
agama.
BAB III LAPORAN
HASIL PENELITIAN
Laporan hasil
penelitian berisi tentang gambaran umum lokasi
Dusun Ngipik dan gambaran umum informan masyarakat
Dusun Ngipik yaitu: Perangkat Dusun, Tokoh Masyarakat,
dan Masyarakat Umum mengenai persepsi masyarakat tentang pendidikan
agama Islam pada keluarga nikah
beda agama di Dusun Ngipik.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini
menguraikan analisis tentang persepsi masyarakat tentang pendidikan agama
Islam pada keluarga nikah
beda agama di Dusun Ngipik Kecamatan Bandungan Kabupaten
Semarang.
BAB V PENUTUP
Berisi kesimpulan
hasil penelitian, saran dan penutup.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian
Terdahulu
Penelitian
ini tidak merupakan duplikasi atau pengulangan dari penelitian yang ada. Karena
penelitian yang penulis teliti adalah membandingkan model skripsi terdahulu
dengan skripsi yang penulis buat. Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi
acuan dan perbandingan penelitian ini antara lain yaitu terdapat beberapa
penelitian terkait yang membahas tentang pernikahan beda agama diantaranya:
Peneilitain
dari yaquta mustofiyah tahun 2012 dengan judul pendidikan agama Islam pada anak
dalam keluarga beda agama di Kelurahan Sidorejo Lor kota Salatiga. Hasil
penelitian pendidikan agama Islam yang diberikan orang tua terhadap anak dalam
keluarga beda agama antara lain: penanaman akidah, penanaman ibadah,
pembentukan akhlak. Masalah yang muncul dalam pendidikan anak dalam keluarga
beda agama: adanya perbedaan keinginan terhadap anak, kurangnya pengetahuan
agama Islam pada orang tua, orang tua
yang selalu sibuk dengan pekerjaan, rendahnya motivasi beribadah anak. Solusi
yang ditempuh untuk mengatasi masalah-masalah tersebut adalah penenaman sikap
toleransi terhadap keluarga, menanamkan kesadaran hidup rukun, memberi
kesempatan untuk beribadah pada masing-masing anggota keluarga, rajin membaca
buku keagamaan, bersosialisasi dengan lingkungan luar, mengikuti kajian-kajian
keagamaan, memberikan buku-buku kajian keagamaan.
Kemudian
skripsi dari Mahtuhul Fuadi tahun 2008 dengan Judul Nikah Beda Agama Perspektif
Ulil Absor Abdalla. Hasil penelitian dari sekripsi ini:
Pertama
Perkawinan menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga yang kekal. Sedangkan tujuan penelitian menurut Islam adalah
membentuk keluarga yang sakinah mawwadah dan warrahmah. Pandangan hukum Islam
(mayoritas ulama) mengenai nikah beda agama antara pemeluk agama diharamkan,
baik dari musyrikin maupun ahli kitab. Hal ini sudah sejalan dengan ketentuan
hukum Islam yang terurai dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 221 dan
almumtahannah ayat 10. Hal ini juga dikuatkan oleh MUI yang mengharamkan
pernikahan beda agama di Indonesia dengan alasan akan menimbulkan gelagat yang
kurang baik dalam tubuh Islam seperti pemurtadan, kebingungan dalam membagi
warisan, dan mengasuh anak.
Kedua Bahwa pandangan Ulil Abshar Abdalla mengenai
nikah beda agama tidak dapat dibenarkan karena:
1.
Bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah serta undang-undang
perkawinan.
2.
Alasan Ulil Abshar Abdalla dalam memperbolehkan nikah beda agama
didasarkan dari pengembangan berfikir dia, dan hal itu dapat merubah syariat
yang telah ditetapkan.
Dari
skripsi Galuh Maharani yang berjudul Pernikahan Beda Agama Menurut Ahmad Nurcholish (Analisis Bimbingan Konseling
Keluarga Dalam Membentuk Keluarga Sakinah) Melalui analisis pendapat Ahmad
Nurcholish tentang pernikahan beda agama dalam membentuk keluarga sakinah,
disimpulkan bahwa pernikahan semacam ini sangat rentan terhadap permasalahan
terlebih lagi menyangkut perbadaaan agama dibandingkan pada pernikahan seagama
meski keduanya juga tidak terhindarkan dari permasalahan. Untuk itu, agar
didalam pernikahan perlu suatu antisipasi agar terhindar dari permasalahan yang
akan muncul yakni dengan menanamkan rasa kasih sayang, menghargai dan
menghormati satu sama lain, rasa menerima, ikhlas ditambah lagi dengan
menerapkan prinsip toleransi. Karena jika semua diterapkan, maka keluarga
sakinah pun akan terbentuk.
Berdasarkan
uraian di atas, pendapat Ahmad Nurcholish tersebut dapat diaplikasikan dalam
asas-asas bimbingan konseling keluarga dan dakwah dalam membentuk keluarga
sakinah yang meliputi asas kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat, asas
sakinah, maddah, wa rahmah, asas komunikasi dan musyawarah, asas sabar dan
tawakal, serta asas manfaat (maslahat), dengan jalan memperhatikan faktor-faktor
di atas.
Selanjutnya
skripsi dari Oktafiani tahun 2011 dengan judul: Problematika Pengamalan Ibadah
Anak Pada Keluarga Beda Agama (Studi Kasus pada Masyarakat Ngentak RT 10 RW V
Kelurahan Kutowinangun Kecamatan Tingkir Kota Salatiga Tahun 2011). Hasil penelitian
dari skripsi ini Setelah dianalisis disimpulkan bahwa cara pengamalan ibadah
anak yang tinggal di lingkungan keluarga beda agama di Dukuh Ngentak adalah
dengan menjalankan sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat, dan
ibadah-ibadah umum lainnya sedangkan anak yang beragama non Islam mereka
menjalankan ibadah ke gereja setiap hari Minggu. Problem pengamalan ibadah anak
yang tinggal di lingkungan beda agama di Dukuh Ngentak antara lain yaitu: Anak
kurang mampu mendalami ajaran agama yang mereka yakini, anak kurang menjiwai
ketika beribadah di rumah, rendahnya semangat atau motivasi beribadah anak.
solusi yang di tempuh untuk mengatasi problem-problem tersebut adalah:
bersosialisasi dengan masyarakat luar, aktif mengikuti kajian-kajian keagamaan,
banyak membaca buku-buku keagamaan.
B. Persepsi
Masyarakat
Memandang
sesuatu yang tidak biasa membuat seseorang dalam mendiskripsikan hal itu dengan
variasi cerita yang berbeda pula. Misalkan: ada seorang anak laki-laki SMA
membawa buku di rumahnya temenya seorang wanita, dengan niat mau mengerjakan PR
bersama. Namun, yang semula rencananya 4 orang yang dua tidak bisa datang,
akhirnya yang mengerjakan hanya 2 orang laki-laki dan perempuan. Dari contoh
tersebut orang yang melihat akan berpendapat satu dengan yang lain dalam
mendiskripsikan apa yang dilihat akan berbeda. Bisa jadi orang menganggap anak
itu melakukan hal yang tidak baik di dalam rumah (negatif), ada juga yang
memandang anak tersebut menegerjakan tugas karena saat itu membawa buku (positif)
dan lain-lain. Berkaitan dengan persepsi atau cara pandang seseorang, ada teori
yang berkaitan seperti:
Prasangka
adalah masalah umum untuk seluruh umat manusia. Ketidak sukaan terhadap
kelompok, yang berlansung secara terus-menerus akibatnya dapat meningkatkan
kebenciian ekstrim, bahkan dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh.
Menurut
Johnson (1986) dalam bukunya lilweri mengatakan, prasangka adalah sikap positif
atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota dari kelompok
tertentu. Seperti halnya sikap, prasangka meliputi keyakinan utnuk
menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai
yang kita berikan.
Menurut
Jones (1986) dalam bukunya lilweri prasangka adalah sikap antipati yang
berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel.
Kesalahan itu mungkin saja diungkapkan secara langsung kepada orang yang
menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap negatif yang
diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri.
Prasangka merupakan sikap. Sikap terdiri dari tiga komponen:
1.
Komponen efektif atau emosional, mewakili dua jenis emosi yang
berkaitan dengan sikap. (misalnya, kegelisahan ringan, permusuhan langsunng).
2.
Komponen kognitif, yang melibatkan keyakinan atau pikiran-pikiran
yang membentuk sikap.
3.
Komponen perilaku, berkaitan dengan tindakan seseorang. Sikap
biasanya diikuti dengan perilaku (meskipun tidak selalu).
Menurut
Jhonson (1986) dalam bukunya lilweri mengemukakan, prasangka itu disebabkan
oleh: Gambaran perbedaan antar kelompok, nilai-nilai budaya yang dimiliki
kelompok mayoritas sangat menguasai kelompok minoritas, stereotip (salah satu
bentuk utama prasangka yang menunjukkan kategori) antaretnik, dan kelompok
etnik atau ras yang merasa superior sehingga menjadikan etnik atau ras lain
inferior (Liliweri, 2005: 199-203).
Dalam
masyarakat juga sering adanya perbedaan
dalam memandang situasi, baik lingkunganya, manusianya, tatanan rumahnya,
masalah dalam lingkunganya dan sebagainya.
Persepsi
adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan
menafsikan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi
perilaku kita. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran
(interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian-balik (decoding)
dalam proses komunikasi (Mulyana, 2013: 179-180).
Secara
bahasa persepsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, diartikan sebagai proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indranya (Poerwardarminta,
2006: 880). Kata persepsi disini merupakan cara pandang atau cara memandang
masyarakat tentang kehidupan kemasyarakatan pelaku nikah beda agama di Dusun
Ngipik Desa Candi.
Secara
istilah persepsi merupakan sebuah tanggapan atau proses seseorang mengetahui
beberapa hal panca indranya. Persepsi adalah sebuah pemahaman yang langsung
akan tetapi pemahaman itu hampir tidak dapat di pengaruhi oleh pengalaman masa
lampau dan keadaan yang telah dilihat.
Secara
terminologi, para cendekiawan menyampaikan dalam bahasa yang berbeda-beda,
namun intinya sama.
1.
Slameto (1991: 104) memberikan definisi tentang persepsi yaitu
merupakan proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak
manusia. Melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan
lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera
penglihatan, pendengar, peraba, perasa dan pencium.
2.
Walgito (1997: 53) berpendapat bahwa persepsi merupakan suatu
proses yang didahului oleh pengindaraan. Pengindraan adalah merupakan suatu
proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Namun proses
tersebut tidak berhenti di situ saja. Pada umumnya stimulus tersebut diteruskan
oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya adalah
proes persepsi.
Persepsi
seseorang merupakan suatu proses yang aktif dimana yang memegang peranan bukan
hanya stimulus yang mengenainya, tetapi ia juga sebagai keseluruhan- dengan
pengalaman-pengalamanya, motivasinya dan sikap-sikap yang relevan terhadap
stimulus tersebut (Sadli, 1977: 72).
Dari
beberapa pandangan para cendekiawan tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi
merupakan hasil serapan dari pengembangan manusia terhadap fenomena alam dan
dirinya kemudian direfleksikan sebagai wujud dari internalisasi dan artikulasi
kejiwaan.
Dalam
pergaulan sehari-hari, persepsi merupakan masalah penting, sebab persepsi akan
memberikan warna atau corak dalam sikap maupun tindakan seseorang. Ada orang
yang bersikap menerima atau menolak dalam menghadapi suatu masalah atau
memberikan suatu penilain baik atau buruk.
1.
Syarat-syarat persepsi
Menurut Walgito
(1997:54) menyatakan agar individu dapat menyadari, dapat mengadakan persepsi,
adanya beberapa syarat yang perlu dipenuhi yaitu:
a.
Adanya obyek yang dipersepsi
Objek
menimbulkan stimulusn (faktor luar) yang melalui alat indra atau reseptor.
Stimulus dapat datang dari luar atau langsung mengenai alat indera (reseptor),
dapat datang dari dalam, yang langsung mengenai syaraf penerima (sensoris),
yang bekerja sebagai reseptor.
b.
Alat indera atau reseptor
Alat indera
merupakan alat untuk menerima stimulus.
c.
Adanya perhatian
Tanpa adanya
perhatian tidak akan terjadi persepsi.
2.
Faktor-faktor persepsi
Faktor yang
mempengaruhi persepsi menurut Rahmat (1994) bahwa faktor yang mempengaruhi
persepsi ada 3 (tiga) yaitu:
a.
Perhatian adalah proses mental ketika stimulasi atau rangkaian
stimuylasi menjadi menonjol dalam kesadaran pada saatstimulasi lainya melemah.
b.
Faktor-faktor fungsional meliputi kebutuhan, pengalaman masalah dan
hal-hal lain termasuk apa yang kita sebut faktor-faktor personal.
c.
Faktor-faktor stuktural berasal semata-mata dari sifat stimulasi
fisik dan efek syaraf yang ditimbulkanya pada sistim syaraf individu.
3.
Proses persepsi
Menurut
Hude (2006: 120) menyatakan bahwa persepsi merupakan tindak lanjut dari
sensasi. Tahap awal dalam penerimaan informasi adalah sensasi. Jika alat-alat
indera mengubah menjadi impuls-impuls syaraf dengan bahasa yang dipahami oleh
komputer otak maka terjadilah proses sensasi.
Persepsi
membantu manusia bertindak dan membantu dunia sekelilingnya, karena persepsi
adalah mata rantai terakhir dalam suatu rangkaian peristiwa yang saling
terkait. Mata rantai itu dimulai dari objek eksternalyang ditangkap oleh
organ-organ indera, selanjutnya dikirim dan diproses didalam otak untuk mendapatkan
kopian arsip yang telah tersimpan. Hasilnya adalah persepsi terhadap objek
eksternal tadi. Namun, hasil persepsi mengandung dua kemungkinan: bisa benar
dan salah. Persepsi dianggap benar jika ada kesesuaian antara yang dipahami
(dipersepsikan) dengan stimulus atau objek sebenarnya, dan persepsi salah
apabila tidak ada sinkronitas antara keduanya.
Beberapa
definisi dari persepsi: Brian fellow: Persepsi adalah proses yang
memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi. Kenneth K.
Sereno dan Edward M. Badaken: persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita
memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita. Phillip Goodracre
dan jennifer follers: Persepsi adalah proses mental yang digunakan untuk
mengenali rangsangan.
Joseph
A. Devito: Persepsi adalah proses yang menjadikan kita sadar akan banyaknya
stimulus yang mempengaruhi indera kita (Mulyana, 2013: 180).
Dari
beberapa pendapat tentang persepsi diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi
adalah usaha seseorang dalam menafsirkan, menggolongkan dari stimulus yang ada di sekeliling atau
lingkungan kita karena faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam merespon
stimulus atau penglihatan yang sangat dominan. Persepsi dalam penelitian ini adalah
masyarakat yang ada di Dusun Ngipik yang dipilih peneliti dalam membantu
mengumpulkan informasi dan data yang peneliti butuhkan.
Dalam
kamus besar bahasa indonesia dijelaskan bahwa masyarakat adalah sejumlah
manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama (Depdiknas, 2007: 721).
Dalam
penelitian ini yang dimaksud masyarakat adalah orang yang tinggal menetap di
Dusun Ngipik yang menjadi objek penelitian dalam memberikan informasi serta
menjadi responden dalam wawancara mengenai judul penelitian yaitu persepsi
masyarakat tentang kehidupan sosial kemasyarakatan pelaku nikah beda agama.
Menurut
Sugihen, (1997:139) mengatakan bahwa, Bila kita amati orang-orang di dalam
masyarakat dengan cermat sering sekali kita melihat bahwa orang-orang tersebut
berbeda antara seorang dengan yang lain didalam berbagai hal. Di pasar,
kota-kota besar kita akan melihat perbedaan tersebut. Dari gaya hidup, cara
berpakaian dan lain-lain. Tapi kita lihat di pedesaan, pasar di pedesaan
rata-rata mempunyai karakteristik yang hampir sama.
Bicara
tentang masyarakat seperti di atas banyak terdapat perbedaan, perbedaan
tersebut merupakan suatu dasar untuk membuat kerangka strtifikasi sosial
(pelapisan atau strata sosial) pelapisan itu bisa disebut dengan status, status
biasanya cenderung merujuk pada kondisi ekonomi dan sosial seseorang dalam
kaitanya dengan jabatan dan peranan yang dimemiliki orang bersangkutan di dalam
masyarakat di mana ia menjadi anggota atau partisipan, seperti yang penulis
golongkan sesuai setatus sosial di Dusun Ngipik yang terbagi dalam tiga lapisan
dilihat dari strata sosial yaitu sebagai
berikut:
a.
Lapisan Atas
Tergolong dalam
lapisan pertama di Dusun Ngipik ini yang menjadi informan yaitu:
Kepala Dusun,
Ketua RT 03 dan Ketua RT 04, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama.
b.
Lapisan Tengah
Yaitu: Seorang
pendidik yaitu seorang guru dalam lembaga formal maupun guru dalam madrasah.
c.
Lapisan Bawah
Tergolong dalam
lapisan bawah adalah masyarakat umum Dusun Ngipik. Pasaribu, (1984:10) mengatakan bahwa didalam masyarakat terdapat
individu-individu yang saling pengaruh-mempengaruhi, dalam saling pengaruh ini
masyarakat meliputi sejumlah manusia yang hidup berkelompok-kelompok atau
begolongan-golongan yang dengan sendirinya satu sama lain saling berhubungan
dan saling mempengaruhi. Ini terjadi baik antara perorangan, antara golongan
dengan golongan lain atau antara golongan lain dengan perorangan. Dengan
demikian jelas kiranya bahwa sejumlah besar manusia yang hidup terlepas-lepas,
tidak berhubungan dan tidak pengaruh-mempengaruhi satu sama lain tidak dapat
dipandang sebagai suatu masyarakat. Sebaliknya meskipun jumlahnya tidak
seberapa banyak, tetapi satu sama lainya saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, maka kelompok itu memenuhi syarat untuk disebut suatu masyarakat.
Orang inggris
menyebut masyarakat dengan society. Masyarakat atau sosiety adalah
a relatively independent or self sufficient population characterized
by internal organization, territoriality, culture disStinctiveness, and sexual
recruitment (David 1 Shill, international encyclopaedia of the social
sciencies, populasi yang cukup relatif independen atau mandiri ditandai
dengan internal organisasi, teritorial, budaya kekhasan, dan perekrutan seksual
(David 1 Shill, ensiklopedi internasional sciencies sosial. Masyarakat atau socity
berarti civilized community, komunitas
yang beradab, atau masyarakat madani, atau dalam bahasa the encyclopaedia of
religion disebut dengan istilah median community (Machendrawaty, 2001: 5).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat yaitu suatu keinginan/dorongan
individu atau kelompok didalam suatu perkumpulan, golongan, komunitas atau
masyarakat yang menimbulkan suatu argumen dalam dirinya, karena pengaruh stimulus-stimulus
yang ditangkap oleh panca indera, pendengaran, dan gerak.
Dalam
penelitian ini yang dimaksud persepsi masyarakat adalah orang yang memandang
pelaku nikah beda agama tentang pendidikan agama Islam di Dusun Ngipik, Desa
Candi, kecataman Bandungan, Kabupaten Semarang.
C.
keluarga Beda Agama
Keluarga
adalah suatu institusi yang terbentuk karena ikatan pernikahan antara sepasang
suami istri untukl hidup beesama, seia sekata, seiring dan setujuan, dalam membina maghligai rumah
tangga untuk mencapai keluarga sakina dalam lindungan dari ridha Allah
(Djamarah, 2004: 28).
Agama
adalah kepercayaan kepada Tuhan yanhg dinyatakan dengan mengadakan hubungan
dengan dia melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap
hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu (Ali, 1997: 36). Dari
uraian tesebut dapat disimpulkan bahwa keluarga beda agama adalah keluaraga
yang terbentuk dari ikatan pernikahan antara sepasang suami istri yang berbeda
agama atau keyakinan.
Pada
umumnya, para penganut Islam, ulama, dan yang lainya dalam memperbincangkan
persoalan halal dan haramnya pernikahan antar agama berpegang pada ayat
al-Quran seperti yang di kutip di bawah ini:
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.
Secara
etimologi, Nikah mempunyai arti mengumpulkan, mengabungkan, menjodohkan, atau
bersenggama (wath’i). Dalam memaknai hakikat nikah, ada ulama’ yang menyatakan
bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah bersenggama (wath’i), sedang
pengertia nikah sebagai akad merupakan
pengertian yang bersifat majazy. Sementara imam syafi’i
berpendapat bahwa pengertian hakiki dari nikah adalah akad, sedang pengertian
nikah dalam arti bersenggama (wath’i) merupakan pengertian yang bersifat majazy.
Secara
terminologi, nikah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Nikah
adalah salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama
memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah
mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat
terhindari. Allah Swt. Berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ
ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri
seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah[266]
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat
ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Berlaku
adil merupakan sebuah keharusan yang telah dianjurkan oleh Islam, berlaku adil
dalam hal apapun misalkan: memberi, mengasihi itu tidak hanya dalam kehidupan
didalam keluarga namun juga kepada siapa saja yang ada di dimuka bumi ini.
Dalam pernikahan cenderung berlaku adil dalam keluarga atau Anak, Istri dan
lainya.
Pernikahan
antar agama adalah Perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan
masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya. Namun demikian, oleh
karena UU perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, maka
kenyataan yang sering terjadi dalam masyarakat apabila ada dua orang yang
berbeda agama akan melakukan sering mengalami hambatan. Hal ini disebabkan
antara lain: karena para pejabat pelaksana perkawinan dan pemimpin agama/ulama
manganggap bahwa perkawinan yang demikian dilarang oleh Agama dan karenanya
bertentangan dengan UU perkawinan yaitu pasal 1 UU perkawinan ditetapkan bahwa
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Eoh, 2001:36-39).
Menurut
Al-jahrani (1996: 5) menyatakan bahwa Perkawnian adalah ikatan antara seorang
laki-laki dan wali seorang wanita atau yang mewakili mereka. Dan dibolehkan
bagi laki-laki dan wanita bersenang-senang sesuai dengan jalan yang telah
disyari’atkan. Tujuan perkawinan adalah mewujudkan kesatuan kemasyarakatan
(rumah tangga) yang didasari cinta, kasih sayang, kerjasama dan kemuliaan
akhlak.
Hukum
suatu pernikahan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi sunnah, wajib, makruh
dan haram. Perincianya sebagaimana di bawah ini.
1.
Wajib hukumnya menurut Jumhur Ulama bagi orang yang mampu untuk
menikah dan kuatir akan perbuatan zina, alasanya, dia wajib menjaga dirinya
agar terhindar dari perbuatan haram.
2.
Haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa
mudarat kepada istrinya karena ketidakmampuan dalam memberikan nafkah lahir dan
batin.
3.
Sunnah hukumnya menurut Jumhur Ulama bagi yang apabila tidak
menikah, sanggup menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram dan,
apabila ia menikah, ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa mudarat kepada
istrinya (Ni’am, 2005: 3-5).
Pernikahan
merupakan sesuatu yang sakral. Hakikat pernikahan adalah bersatunya hidup
antara laki-laki dan perempuan (yang saling mencintai) untuk membentuk hidup
bersama dan memiliki tujuan yang sama yaitu menemukan kebahagiaan dan
melanjutkan keturunan (Wismanto dkk, 2012: 1).
Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadhil
akhir 1426 H./ 26-29 Juli 2005 M., setelah Menimbang:
1.
Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda
agama;
2.
Bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di
antara sesama umat islam, akan tetapi juga mengundang keresahan di
tengah-tengah masyarakat;
3.
Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang
membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan
kemaslahatan;
4.
Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah
tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama
untuk dijadikan pedoman.
Pernikahan
beda agama merupakan pasangan antara pria dan wanita dengan latar belakang
agama yang berbeda antara suami dengan istri. Sebagai contoh kasus yang ada di
Dusun Ngipik seorang laki-laki yang beragama (katolik) menikahi perempuan yang
beragama (Islam). Tentunya memungkinkan aturan yang berbeda pula, khusunya
dalam berkeluarga dan memungkinkan dampak negatif pada lingkungan yang
mayoritas masyarakanya beragama Islam seperti obyek penelitian ini. Dari
situlah MUI melarang pernikahan beda agama yang memungkinkan adanya
perselisihan antara pelaku dan lingkunganya.
D. Pendidikan
Agama pada Keluarga Nikah Beda Agama
Dalam
penjelasan pasal 39 ayat (2) disebutkan: pendidikan agama merupakan usaha untuk
memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama yang
dianutnya oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan
untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam
masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional (Saridjo, 1996: 62).
Dapat
disimpulkan bahwa pendidikan agama adalah usaha untuk memperkuat iman dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama yang dianutnya. Adapun
tujuan pendidikan agama dalam segala tingkat pengajaran umum adalah sebagai
berikut:
1.
Menanamkan rasa cinta dan taat kepada Allah dalam hati kanak-kanak
yaitu meningatkan hikmah Allah yang tidak terhitung banyaknya.
2.
Menanamkan itikad yang benar dan kepercayaan yang betul dalam dada
kanak-kanak.
3.
Mendidik kanak-kanak dari kecilnya, supaya mengikuti suruhan Allah
dan meningglakan larangan-Nya, baik terhadap Allah maupun masyarakat, yaitu
degan mengisi hati mereka , supaya takut kepada Allah dan ingin pahalanya,
4.
Mendidik kanak-kanak dari kecilnya, supaya membiasakan akhlak yang
mulia dan kebiasaan yang baik.mengajar pelajar-pelajar, supaya mengetahui
macam-macam ibadat yang wajib dikerjakan dan cara melakukanya serta mengetahui hikmah-hikmah
dan faedahnya untuk mencapai kebahagian di dunia maupun di akhirat.begitu juga
mengajarkan hukum-hukum yang diketahui oleh tiap-tiap orang Islam, serta taat
mengikutnya.
5.
Memberi petunjuk mereka untuk hidup di dunia dan menuju akhirat.
6.
Memberikan contoh dan meniru teladan yang baik, serta pengajaran
dan nasihat-nasihat yang baik.
7.
Membentuk warga negara yang baik dan masyarakat yang baik, yang berbudi
luhur dan berakhlak mulia serta berpegang teguh pada ajaran agama.
Pendeknya
tujuan pendidikan agama yaitu mendidik seseorang supaya menjadi muslim sejati,
beriman teguh, beramal sholih, dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah
seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup di atas kaki sendiri, mengabdi
kepada Allah dan berbakti kepada bangsa bahkan semua umat manusia (Yunus, 1965:
7).
Dapat
disimpulkan bahwa pendidikan agama adalah untuk membentuk manusia yang beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa, melaksanakan ajaran-Nya dan menjauhi segala
laranga-Nya.
Pendidikan agama Islam adalah pendidikan melalui ajaran
agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik yang
nantinya setelah selesai dalam pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan
mengenalkan ajaran-ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan dan amalan
hidupnya. (Direktorat jndreal pembinaan kelembagaan agama islam, 1984: 80).
Adapun materi pendidikan Islam mencakup lima hal
yaitu:
1.
Ketauhidan, artinya anak-anak harus
didampingi agar bertuhan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Materi ini mencangkup
semua nikmat, menyakini hari pembalasan, dan melarang keras syirik. Materi ini
sebenarnya merupakan harapan utama dalam pendidikan yang mendasari pendidikan
lainya.
2.
Pendidikan akhlak, maksudnya anak-anak
itu dilatih agar memiliki akhlak terpuji. Materi ini mencakup: akhlak kepada
Tuhan, orangtua,dan masyarakat. hal ini nanti akan mendasari akhlak anak kepada
gurunya.
3.
Pendididkan sholat, artinya anak-anak
harus dilatih dan dibiasakan mengeerjakan sholat sebagai salah satu tanda
kepatuhan kepada Allah. Pendidikan sholat itu kelak akan menjadi dasar bagi
anak-anak shalih, dan apabila shalatnya baik, maka amal-amal yang lainya akan
baik dan sebagainya.
4.
Pendidikan amar ma’ruf nahi mungkar,
artinya harus dibimbing utnuk memiliki sifat konstruktif bagi perbaikan
kehidupan masyarakat. hal ini tidak akan dapat dilakukan bila materi pertama
dan ketiga belum dimiliki.
5.
Pendidikan ketabahan dan kesabaran,
artinya harus ulet dan sabar, dua sifat yang memang tidak bisa dipisahkan.
Sifat kontruktif pada butir ke empat tidak selalu mudah untuk memerlukan
keuletan dan kesabaran. Dalam mencapai cita-cita tidak selalu mudah, dan
seringkali adanya keruwetan yang merintanginya, maka keuletan dan kesabaran
yang diperlukan.
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang
pertama dan utama. Disebut sebagai lingkungan
atau lembaga pendidikan pertama karena sebelum manusia mengenal lembaga
pendidikan yang lainya, pendidikan inilah yang pertama ada. Selain itu manusia
mengalami proses pendidikan sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan
pertamakali adalah dalam keluarga.
Antara keluarga dan pendidikan yaitu dua istilah
yang tidak bisa dipisahkan, karena dimana ada keluarga disitu ada pendidikan.
Dimana ada orang tua disitu ada anak merupakan suatu kemestian didalam
keluarga. Ketika ada yang mendidik anaknya, maka pada waktu yang sama ada anak
yang menghajatkan pendidikan dari orang tua. Dari sini muncullah istilah “pendidikan
keluarga”, artinya pendidikan yang berlangsung dalam keluarga yang dilaksanakan
oleh orang tua sebagai tugas dan tanggung jawab dalam mendidik anak dalam
keluarga (Djamarah, 2004: 2).
Di
dalam masyarakat terdapat berbagai karakter yang dimiliki setiap indivu berbeda
satu sama lain, yang memungkinkan adanya pro-kontra dalam sebuah pandangan,
keinginan dan sebagainya. Dalam kehidupan bermasyarakat banyak sekali
permasalahan baik individu, keluarga dan lingkuganya. Orang yang baik dan buruk
biasanya di lihat dari kacamata perilaku dari keseharianya entah itu dari
pribadinya, keluarganya, dan kemasyarakatanya.
Keluarga
merupakan lingkungan pendidik tertua yang bersifat informal dan kodrati.
Lahirnya keluarga sebagai lembaga pendidikan semenjak manusia itu ada.tugas
keluarga adalah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan anak, agar anak dapat
berkembang secara baik. Tugas mendidik anak pada hakekatnya tidak bisa
dilimpahkan kepada orang lain. Kecuali itu kalaupun anaknya dimasukkan ke
lembaga sekolah misalnya, tugas dan tanggung jawab mendidik yang berada
ditangan orangtuanya tetap melekat padanya. Pendidikan diluar keluarga adalah
sebagai bantuan saja (Nur Ahid, 2010: vi)
Dari
urain di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan keluarga adalah satu-satunya
lembaga yang ada sejak manusia ada. Keluarga berperan penting sebagai lembaga
pendidikan yang menjadi tanggung jawab terhadap pendidikan anak yang lebih
baik.
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum
Lokasi Penelitian
1.
Dusun Ngipik
Ngipik adalah dusun yang terletak di lereng Gunung Ungaran, dari 09
rukun warga (RW) Ngipik merupakan RW ke 08 yang terletak di bawah Candi gedong
9 yang menjadi salah satu obyek wisata yang cukup besar omset pendapatanya di
Kab. Semarang. Ngipik terletak di sebelah utara Dusun Candi yang sekaligus
menjadi kelurahan Candi yang berjarak 2 km. Dusun ini memiliki penduduk dengan
jumlah keseluruhan 565 jiwa yang terbagi menjadi dua jenis yaitu pria dan
wanita, pria (LK) 279 dan wanita (PR) dengan jumlah 286. Penduduk yang ada di
dusun ini mayoritas pekerjaanya sebagai Tani/Perkebunan meskipun terletak di
dekat obyek wisata, namun kebanyakan masyarakat dusun ini bekerja sebagai
petani. Dusun Ngipik memiliki latarbelakang agama yang sangat kuat, mayoritas
penduduk Dusun Ngipik beragama Islam dengan jumlah 175 kepala keluarga (KK).
Potensi yang ada di dusun ini sebagai berikut:
a.
Dilihat dari kondisi tempat yang ada, masyarakat dusun ini
mempunyai beberapa potensi di bidang pertanian/perkebunan kelompok tani,
penyuluhan pertanian.
b.
Dilihat dari potensi warga yang mayoritas sebagai petani, maka di
dalam pelaksanaan pertanian cukup moderen disamping mengadakan penyuluhan juga
membuat sebuah organisasi yaitu kelompok petani, yang mana dapat berbagi ilmu
dalam sebuah komunitas tersebut.
c.
Kesenian, kebanyakan masyarakat yang ada di dusun ini, memiliki
beberapa kemampuan yang ada pada individu seperti: kuda lumping, rebana, musik
dangdut, dan wayang kulit. Kesenian yang ada di Dusun Ngipik masih terlihat
adanya suatu penerusan dari nenek moyang, yang terlihat adanya pembaharuan dari
tradisi terdahulu adalah musik dangdut yang mayoritas penggemarnya adalah anak
muda jaman sekarang.
Dilihat dari potensi yang ada,
juga terlihat adanya adat kebudayaan yang ada di Dusun Ngipik adalah
salah satunya pernikahan. Pernikahan di pedesaan berbeda dengan pernikahan yang
ada di perkotaan yang dilaksankan di gedung-gedung yang megah dan mewah. Dan
biasanya dilakukan pesta makan-makan yang telah disediakan berbagai macam makan
yang ada. Berbeda pelaksanaan pernikahan di pedesaan kususnya di Dusun Ngipik
yang masih mengikuti tradisi dahulu seperti: adanya resepsi pernikahan,
pengajian, dan sebagainya. Semua yang dilaksanakan mencerminkan dari keagamaan
yang ada yaitu menurut agama Islam.
Bicara tentang pernikahan, pada masa kontemporer ini ada beberapa
kasus pernikahan beda agama yang ada di Dusun Ngipik. Pernikahan beda agama
yang ada di dusun ini jumlahnya ada enam pasangan, peneliti mengambil dua
sampel pernikahan beda agama, yang pertama EL dan MK rumahnya terletak
disebelah informan dengan nama NS. Kemudiam yang kedua dari GY dan IS mereka
menikah dengan usia yang masih dengan usia 16 tahun IS atau istri dari GY yang
usianya lebih tua 10 tahun dari sang istri, IS merupakan anak ketiga dari
pasangan WS dan WD. Oleh karena itu, pandangan terhadap orang yang berbeda
dengan agamanya ataupun masyarakat di lingkunganya sangat berpengaruh terhadap
sikap dan perilaku responden tersebut,
seperti contoh kasus yang ada di dalam masyarakat Dusun Ngipik Desa Candi
mengenai pelaku nikah beda agama.
2.
Letak Wilayah Desa.
Desa Candi merupakan bagian dari Kecamatan Bandungan, Kabupaten
Semarang. Secara administrasi Desa Candi terletak dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
a.
Sebelah Utara :
Gunung Ungaran
b.
Sebelah Selatan : Desa
Banyukuning
c.
Sebelah Timur : Desa
Kenteng
d.
Sebelah Barat :
Desa Jubelan
B. Gambaran Umum
Informan
Biodata informan yang ada di Dusun Ngipik Desa Candi Kec. Bandungan
Kab. Semarang sebagai berikut:
1.
SD, lahir di kab. Semarang 16 Januari 1966, yang tinggal di Ngipik
RT/RW 04/08 mempunyai 3 anak yang pertama SP pernah mengenyam pendidikan dari
SD SMP dan MA, SP bekerja sebagai karyawan pabrik yang ada di daerah
Karangjati, SP mempunyai anak 1 usianya baru 3 tahun namun dia sudah mempunyai
rumah sendiri. Kemudian anak yang kedua
dengan nama EN pernah duduk di bangku sekolah dari SD SMP MA kemudian di PT.
Sebagai karyawan, sekitar 1 tahun yang lalu dia menikah. Selanjutnya anak yang
terakhir dengan nama YK yang sekarang sedang melanjutkan keperguruan tinggi di
IAIN salatiga semester 3. SD merupakan
salah satu orang yang di segani oleh masyarakat selain ekonomi yang memadahi
juga mempunyai ilmu agama yang cukup baik, karena beliau pernah belajar agama
di sebuah pondok pesantren di jawa timur atau lebih jelasnya di kota kediri. SD
mengenyam pendidikan mulai dari SD sampai paket B. Kegiatan sehari-hari sebagai
kepala musium palagan Amabarawa. Setelah pulang dari pekerjaanya beliau
mengajarkan ilmu agama di dalam rumahnya dan di madarasah Dinniyah pada malam
hari. SD merupakan salah satu kakak dari orang tua dari wanita yang menikah
dengan orang yang beragama katolik.
2.
NS, lahir di Kab. Semarang
29 Agustus 1994, yang beralamat Jl. Gedong Songo no 08 RT/RW 04/08 Ngipik Candi
Bandungan. NS merupakan warga asli dari Dusun Ngipik yang masih menyandang sebagai Mahasiswa. Mulai dari jenjang
pendidikan dari SDN Candi 03, MTs Al-Bidayah Candi, MA Al-Bidayah Candi dan
melanjutkan ke perguruan tinggi Negeri IAIN salatiga sedang dalam proses S1. NS
adalah tetangga dekat dari pasangan nikah beda agama yang berada di lingkungan
RT/RW 04/08 yang kesehariannya mengetahui
aktivitas yang dialami pelaku nikah beda agama dalam lingkunganya. NS
anak dari pasangan JM dan SY yang terakhir dari tiga bersaudara yaitu AH, RS
dan NS itu sendiri.
3.
PK, merupakan Ketua pemuda
Dusun Ngipik dan menjadi ketua LKMD di Desa Candi. PK lahir di Kab. Semarang 11
November 1962 yang menetap di Dusun Ngipik di lingkungan RT/RW 03/08. Beliau
mempunyai 2 anak yaitu ST sama NR yang setatusnya sudah berkeluarga. ST bekerja
sebagai ibu rumah tangga dan NR bekerja sebagai keamana cagar budaya yang ada
di candi gedong songo. PK adalah tokoh masyarakat di Dusun Ngipik keseharianya
selain berkebun beliau mengurus administrasi yang ada di Dusun Ngipik. PK yang
pernah mengantarkan pernikahan dari saudara IS dengan DY yang beda agama satu
sama lain dan juga mengantarkan perceraiyan dari ST dengan DM.
4.
MS, lahir di Kab. Semarang 22 November 1986 yang menyandang sebagai
Guru di SDN Kemitir 02. MS Mulai jenjang
pendidikan dari SDN Candi 03, SMPN sumowono, MA Al-Bidayah Candi kemudian
melanjutkan di perguruan tinggi negeri (STAIN) salatiga program S1-TBI. MS
mempunyai anak 1 dengan nama WD dan mempunyai istri yang bekerja sebagai
karyawan pabrik di salatiga, MS merupakan keturunan dari seorang kyai. MS
merupakan sahabat dekat dari pelaku nikah beda agama dalam lingkungan RT/RW
03/08, jadi akan lebih tahu status agama setelah menikah, hubungan terhadap
kemasyarakatanya, bahkan perilaku individu terhadap keluarga maupun lingkungan
dari kegiatan-kegiatan yang berbau religi maupun kegiatan masyarakat itu
sendiri.
5.
RS, lahir di Kab. Semarang, 31 Desember 1961 yang beralamat di
Ngipik RT/RW 04/08 pernah mengenyam pendidikan dari SD MI Candi tahun 1970 dan
pernah merasakan bangku SMP tetapi tidak sampai selesai. RS adalah tokoh
masyarakat di Dusun Ngipik dan kesibukan beliau setiap hari sebagai petani dan
kerja sampingan membuka bengkel di rumahnya. RS mempunyai anak 3 yang pertama
MD yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak 1, pekerjaanya sebagai pedagang
bakso di semarang. Yang kedua MZ yang pendidikan terakhir MA al-Bidayah Candi,
bekerja sebagai karyawan pariwisata yang ada di Ungaran, kemudian yang terakhir
MS yang masih duduk dibangku sekolah menegah atas atau di MA candi. RS rumahnya
bersampingan dengan mushola al-Muttaqin, selain dia mempunyai ilmu agama juga
dipilih masyarakat untuk menjadi imam di mushola dekat rumahnya, kegiatan
ibadah beliau bisa dikatakan baik karena beliau setiap waktu melaksanakan
ibadah sholat di mushola. RS merupakan
orang yang paling mudah untuk digauli, meskipun beliau sudah tua, namun
hubungan dengan warga dari yang kecil sampai yang tua tidak ada batasan, karena
beliau orangnya senang bercerita mengenai suatu apapun. Sehingga orang-orang
akan lebih nyaman ketika berbicara bersamanya.
6.
JM, lahir di Kab. Semarang, 19 Desember 1960 yang tinggal di RT/RW
03/08. Memulai jenjang pendidikanya dari MI Candi sampai pendidikan yang
terakhir adalah SMP kemudian melanjutkan studi di Pondok Pesantren Kediri
sehingga di dalam masyarakat beliau mengabdi di Madarasah Diniyah Al-fitriyah
karena mempunyai latar belakang ilmu keagamaan yang di peroleh dari pesantren.
JM mempunyai dua anak laki-laki dan perempuan.
yang pertama ST dan yang kedua FT. Keduanya sudah menjalani
kekeluaragaan. JM adalah ketua RT 03 yang rumahnya berdampingan dengan pelaku
nikah beda agama tersebut, sehingga akan memungkinkan persepsi dalam kehidupan
sehari-hari dari pasangan beda agama lebih mengetahui. JM selain menjadi ketua
RT beliau juga mengajarkan al-Quran setiap habis maghrib di dalam rumahnya.
7.
BY, lahir di Kab. Semarang, 07 Mei 1970 dan tinggal di Ngipik RT/RW
04/08. BY mengenyam pendidikan di SDN Candi 03 pada tahun 1976 keseharian
beliau sebagai petani/perkebunan. BY mempunyai anak dua yang masih berusia 12
tahun dan berusia 4 tahun. Beliau mempunyai penyakit asma yang dideritanya
sudah lama, untuk itu beliau tidak lagi menjalani pertanian dikarenakan tidak
kuat dengan aktivitas yang berat. Sekarang beliau beralih pekerjaan untuk
mencari kebutuhan dalam keluarganya yaitu berjualan jajanan ringan di depan
sekolah yang tidak memerlukan tenaga yang lebih untuk menghindari terjadinya
kekambuhan penyakit yang dideritanya. BY merupakan Ketua RT 04 yaang menjadi
pelayanan bagi lingkungannya. BY adalah tetangga dari pelaku nikah beda agama
di lingkungan RT 04 yang pernah bertanya langsung saat pelaku nikah beda agama
meminta surat pengantar dari RT untuk melangsungkan pernikahanya.
C. Persepsi
Masyarakat dan Keluarga Beda Agama
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses
tersebut mempengaruhi perilaku kita. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan
penafsiran (interpretasi) adalah inti
persepsi yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi (Mulyana, 2013: 179-180).
Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan
terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Persepsi masyarakat
yaitu suatu keinginan/dorongan individu atau kelompok didalam suatu
perkumpulan, golongan, komunitas atau masyarakat yang menimbulkan suatu argumen
dalam dirinya, karena pengaruh stimulus-stimulus yang ditangkap oleh panca
indera, pendengaran, dan gerak.
Pernikahan beda agama adalah
pernikahan antara dua orang yang berbeda agama dan masing-masing tetap
mempertahankan agama yang dianutnya. Pernikahan beda agama atau pernikahan yang
dilakukan antara seorang yang berbeda keyakinan, misalkan Islam dengan Kristen
atau yang lainya. Keluarga beda agama pada dasarnya berarti keluarga yang
terbentuk dari ikatan pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda
agama satu sama lain. Hal ini diharamkan
oleh Islam Seperti yang dijelaskan dalam ayat di atas jelas bahwa pernikahan
beda agama itu tidak diperbolehkan, begitu juga yang dikemukakan oleh SD:
“Menurut Agama bahwa pernikahan beda agama itu tidak
diperbolehkan/tidak sah karena sesuai yang tercantum dalam Al-Qur’an surat
al-Baqarah: 221” (15 September 2015, pukul 19.00 WIB).
Sedikit
Bbrbeda dengan yang diungkapkan oleh SD, NS mengungkapkan pendapatnya mengenai:
“Pernikahan beda Agama itu tidak diperbolehkan oleh Islam, namun
kalo dilihat dari dua sisi , yaitu dari sisi agama mengharamkan dan sisi negara
sepertinya tidak melarang ” (15
September 2015, pukul 18.30 WIB).
Ditambah
lagi oleh MS, yang memandang dari dua sisi namun berbeda dengan apa yang
diungkapkan oleh saudara NS yaitu:
“Pernikahan beda agama dilihat dari segi agama sudah jelas dilarang
kalo dari negara pernikahan silang agama tidak ada biasanya berbohong untuk
proses pernikahan, nah kalo setelah itu biasanya kembali dalam keyakinan
masing-masing, secara pribadi tetap tidak baik karena di dalam masyarakat akan
berbenturan, tapi tergantung managemen sendiri” (19 September 2015, pukul 13.20
WIB).
Menurut penulis Sesuai pandangan Islam bahwa masyarakat dalam
memandang pernikahan beda agama dari perspektif Agama yaitu dari pemahaman
agama Islam saja. Oleh karena itu, kebanyakan informan mengatakan kalau
pernikahan beda agama bertentangan dengan al-Quran. seperti yang telah
dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ
وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ
يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Dapat
dikatakan bahwa pernikahan beda agama tidak diperbolehkan menurut agama Islam
maupun dari peraturan UU pernikahan, tidak mengatur tentang perkawinan antar
agama. Sesuai dengan beberapa informan dari masyarakat Dusun Ngipik bahwa
pandangan mereka tentang pendidikan agama Islam pada keluarga beda agama
dilihat dari kacamata sosial. Informan memandang pernikahan beda agama itu
tidak diperbolehkan. Namun yang terjadi di Dusun ini hanya perbedaan agama
sebelum dia menikah, dalam proses pernikahanya mereka menyatukan terlebih
dahulu agama satu sama lain. Namun, setelah menikah mereka kembali ke akidah
semula atau tetap menjadi agama yang sudah tercantum dalam surat pernikahan dan
KTP, itu semua tergantung menejemen pasangan tersebut, namun masyarakat
memandang pendidikan agama Islam keluarga beda agama dilihat dari aktivitas
keagamaannya dalam masyarakat seperti yang diungkapkan oleh BY:
“Ya, kalau kegiatan-kegiatan mengikuti kadang-kadang, tapi kalau ke
Masjid untuk sholat saya belum pernah melihat” (19 September 2015 pukul 14.20
WIB).
Dilihat dari
alasan informan bisa dikatakan bahwa kehidupan sosial pelaku keluarga nikah
beda agama tersebut kurang aktif atau cenderung pasif. Ada beberapa alasan atau
faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan beda agama, diantaranya sebagai
berikut:
1.
Kenyataan masyarakat Indonesia yang
heterogen, baik suku, bangsa, dan beraneka ragam agama. Hal ini berpengaruh pada pergaulan sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat,
bergaul begitu erat, dan tidak membedakan agama yang satu dengan yang lain. Tidak bisa
dipungkiri bahwa kenyataan dari pasangan keluarga EL dan keluarga GY di Dusun
Ngipik terjadinya pernikahan karena pergaulan
sehari-hari, bergaul begitu erat, dan kurang memperhatikan hakekat agama
yang pada tiap individu artinya mereka seakan-akan tidak ada perbedaan aturan
dalam semua agama.
2.
Dengan semakin majunya zaman, semakin banyak anggota masyarakat
yang dapat menikmati pendidikan, dan semakin banyak sekolah campuran dalam hal
sekse maupun agama yang tidak adanya batasan agama tertentu.
3.
Semakin dirasa usang pendapat bahwa keluarga mempunyai peranan
dalam pemilihan calon pasangan bagi anak-anaknya, bahwa mereka harus kawin
dengan orang yang beragama sama.
4.
Semakin meningkatnya pendapat bahwa adanya kebebasan memilih calon
pasangan dan pemilihan tersebut berdasarkan rasa cinta. Jika cinta telah
mendasarinya dalam hubungan seorang pria dan wanita tidak jarang pertimbangan
secara matang juga termasuk menyangkut agama kurang dapat berperan. Seperti
yang dialami keluarga EL dan keluarga GY pernikahan yang terjadi anatara dua
kepercayaan ini didasari karenan cinta, yang berawal dari pergaulan yang erat
maka menimbulkan rasa cinta meskipun agama satu sama lain berbeda. Seperti yang
dikemukakan oleh BY:
“Dari pelaku nikah beda agama pada keluarga EL itu karena keduaanya
mempunyai dasar kekuatan cinta, mungkin kalau karena agama tidak, karena selama
ini saya tidak pernah melihat adanya aktivitas keagamaan, sholat jama’ah maupun
tahlilan juga belum pernah lihat” (19 September 2015, pukul 14.20 WIB).
5.
Dengan meningkatkan hubungan anak-anak muda indonesia dengan anak
muda manca negara, sebagai akibat globalisasi dengan berbagai macam bangsa,
kebudayaan, agama dan latar belakang yang berbeda, hal tersebut sedikit banyak
ikut menjadi pendorong atau melatar belakangi perkawinan antar agama, sehingga
bagi anak-nak muda sekarang perkawinan beda agama tidak masalah (Walgito, 2004:
55-56).
Pernikahan beda agama yang menjadi latar belakang
yaitu atas dasar sama-sama cinta kemudian mendapat persetujuan dari orang tua
dan latar belakang keimanan atau kepercayaan yang masih kurang sehingga akan
sangat memungkinkan terjadinya pernikahan antar agama. Seperti yang disampaikan
BY selaku Ketua RT 04 yang menyatakan bahwa:
“Dari pelaku nikah beda agama pada keluarga EL itu karena keduaanya
mempunyai dasar kekuatan rasa cinta” (19 September 2015, pukul 14.20 WIB).
Berbeda dengan pendapat yang diungkapkan di atas mengenai latar belakang
pelaku nikah beda agama, yang diungkapkan oleh RS:
“Kalo faktor mungkin banyak, ada yang karena pangkat, kaya, tapi
yang jelas karena keimanan atau kepercayaan pada agama sendiri itu kurang” (19
September 2015, pukul 14.00 WIB).
Diperjelas lagi oleh SM yang mengetahui wawasan lebih terhadap
pendidikan agama maupun umum yang menyatakan:
“Seperti yang kita lihat bahwasanya mereka menikah pada usia yang
lebih, dan dipengaruhi oleh ekonomi yang memang kalo kita lihat tidak seperti
keluarga pada umumnya, dan mungkin juga karena bener-bener mau masuk Islam,
seperti yang saya lihat dia (GY) sering pergi ke masjid dan mengikuti kegiatan
keagamaan lainya” (19 September 2015, pukul 13.20 WIB).
Permasalahan
pendidikan keluarga nikah beda agama disini yaitu ada yang mempunyai sedikit
pengetahuan tentang keimanan dan ilmu keagamaan tersebut, sehingga dalam
kelangsungan penerapan pendidikan indivu maupun keluarga berperan, namun juga
ada yang sebaliknya.
Pernikahan
beda agama menurut Islam terhadap pernikahan beda agama, pada prinsipnya tidak
memperkenankanya. Al-Quran dengan tegas melarang pernikahan antara orang Islam
dengan orang musyrik seperti yang dituliskan dalam surat al-Baqarah ayat 221.
Larangan pernikahan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku baik bagi
laki-laki maupun wanita yang beragama Islam utuk kawin dengan orang–orang yang
tidak beragama Islam atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa mereka yang
tidak beragama Islam itu musyrik.
Seperti
pandangan Islam tentang pernikahan beda agama jelas tidak menyetujui karena
alasan-alasan yang jelas yang didasari dari al-Quran, seperti yang dikemukakan
oleh NS:
“Pernikahan beda agama menurut saya tidak setuju, saya kontra
dengan pernikahan beda agama karena saya sendiri juga orang Islam maka dengan
otomatis saya tidak setuju karena dalam al-Quran juga sudah dijelaskan dalam
suarat al-Baqarah ayat 221”(15 September 2015, pukul 17.30 WIB).
Melanjutkan
dari pendapat saudara NS di atas berbeda dengan yang diungkapkan oleh JM:
“Tidak setuju pernikahan beda agama karena nanti ada dampaknya,
karena nikah beda agama itu pasti ada unsur-unsur mempengaruhi untuk pindah
agama” (19 September 2015, pukul 14.00 WIB).
Kemudian
diperjelas oleh SD pada saat wawancara juga menyempatkan diri membuka kitab
terkait dengan pernikahan, yaitu:
“Pernikahan beda gama jelas tidak setuju karena pernikahan beda
agama tidak diperbolehkan oleh Islam karena sudah di jelaskan dalam kitab
fatkhul qorib dalam bab nikah tentang rukun
dan syarat pernikahan” (15 September 2015, pukul 19.30 WIB).
Pernikahan beda agama dalam masyarakat di sini semua informan
berpendapat bahwa pernikahan beda agama “tidak setuju” karena mayoritas
disamping masyarakat di sini beragama Islam dan tentu sudah dijelaskan oleh
beberapa informan bahwa dengan tegas mereka berpedoman dengan al-Quran.
D. Pendidikan
Agama Islam pada Keluarga Nikah Beda Agama
Pendidikan agama islam adalah pendidikan melalui ajaran
agama islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik yang
nantinya setelah selesai dalam pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan
mengenalkan ajaran-ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan dan amalan
hidupnya. (Direktorat jndreal pembinaan kelembagaan agama islam, 1984: 80).
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Disebut
sebagai lingkungan atau lembaga pendidikan
pertama karena sebelum manusia mengenal lembaga pendidikan yang lainya,
pendidikan inilah yang pertama ada. Selain itu manusia mengalami proses
pendidikan sejak lahir bahkan sejak dalam kandungan pertamakali adalah dalam
keluarga.
Antara keluarga dan pendidikan yaitu dua istilah
yang tidak bisa dipisahkan, karena di mana ada keluarga disitu ada pendidikan.
Dimana ada orang tua di situ ada anak merupakan suatu kemestian didalam
keluarga. Ketika ada yang mendidik anaknya, maka pada waktu yang sama ada anak
yang menghajatkan pendidikan dari orang tua. Dari sini munculah istilah
“pendidikan keluarga”, artinya pendidikan yang berlangsung dalam keluarga yang
dilaksanakan oleh orang tua sebagai tugas dan tanggung jawab dalam mendidik
anak dalam keluarga (Djamarah, 2004: 2).
Masyarakat adalah sejumlah manusia yang merupakan
satu kesatuan yang merupakan golongan yang berhubungan tetap dan mempunyai
kepentingan yang sama seperti: sekolah, keluarga, perkumpulan negara semua
adalah masyarakat (http://majids.wordpress.com/2008/06/30pengertian-masyarakat/,
04: 01: 07:03). Masyarakat Dusun Ngipik melihat keluarga dari pasangan nikah
beda agama dalam menerapkan pendidikan agama Islam dilihat dari
kegiatan-kegiatan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dari kegiatan
keagamaan pada anak yang mengenyam pendidikan dari Madarasah Diniyyah yang
dilaksanakan pada sore hari dan kegiatan yang menjadi tradisi Dusun ini adalah
yasinan dan tahlilan yang dilaksanakan pada malam hari oleh orang tua. Dari
kegiatan-kegiatan tersebut dapat dikelompokkan dalam berbagai bentuk pendidikan
pada keluarga nikah beda agama yaitu sebagai berikut:
1.
Pendidikan akhlak
Menurut NS,
dilihat dari akhlak yang ditunjukkan oleh keluarga EL dalam masyarakat adalah:
“Keluarga yang antagonis, tidak cukup ramah, terhadap keluaraga
(pelit, pengen menguasai), terhadap lingkungan (introvet, sibuk dengan
pekerjaanya)".
Kemudian menurut SD, bahwa keluarga EL ini adalah:
“Keluarga yang egois dalam memegang peranan keluarga maupun
masyarakat, dan kurang cocok dengan
kegiatan yang berkaitan dengan agama”.
Secara garis
besar pelaku nikah beda agama yang ada dalam pasangan EL dan MK memang
keegoisan dalam memegang peranan keluarga dan masyarakat kurang baik.
Dilanjutkan oleh SD yang menjadi famili dari pelaku nikah beda agama
mengatakan:
“Perilaku yang dimiliki oleh pasangan beda agama tidak sesuai
dengan masyarakat umum dalam memegang peranan kekeluargaan dan masyarakat” (15
September 2015, pukul 19.30 WIB).
Namun, bertolak belakang dengan apa yang disampaikan SD tentang
perilakunya terhadap lingkungan sekitar. Demikian ungkapan dari MS:
“Pelaku nikah beda menurut saya perilakunya tidak berpengaruh”
(19 September 2015, pukul 13.20 WIB).
Ditambahkan oleh PK, dilihat dari akhlak yang ditunjukkan oleh
keluarga GY dalam masyarakat terlihat cukup baik, berbeda dengan keluarga EL
seperti yang di ungkapkan PK:
“Bagus, perilaku terhadap keluaraga juga sangat bagus”.
2.
Pendidikan keagamaan
Tradisi yang
ada dalam masyarakat itu misalnya tahlilan, yasinan, kenduri, dan lain
sebagainya, dalam mengikuti kegiatan-kegiatan Islami pelaku nikah beda agama
itu tidak selalu sama, ada yang benar-benar dalam mengikuti kegiatan tersebut
dan ada pula yang hanya di awal pernikahan mereka rajin mengikuti, seperti yang
diungkapkan oleh BY:
“Kalau dilihat dari pelakunya seperti yang ada di RT 03 dan RT 04
yaitu keluarga dari GY dan keluarga dari EL dalam mengikuti kegiatan yang ada
di masyarakat itu ada yang rajin, ada yang jarang-jarang, dan ada pula yang
hanya di awal-awal dia menetap di kampung tersebut. Tapi kalau ke masjid
seperti EL itu saya belum pernah melihat” (19 September 2015, pukul 14.20 WIB).
3.
Pendidikan amar ma’ruf nahi mungkar
Perilaku Sosial
dalah proses belajar yang dilakukan oleh seseorang (individu) untuk berbuat
atau bertingkah laku berdasarkan patokan yang terdapat dan diakui dalam
masyarakat (Syam, 2002:57). Perilaku seseorang merupakan watak yang
mencerminkan individu dalam penilaian orang lain baik positif maupun negatif.
Seperti yang dikatakan oleh PK:
“Perilakunya baik, keluarga dan masyarakat juga bagus, tidak
mencerminkan suatu kebencian dengan keluarga yang sudah dulu menetap di sini”
(16 September 2015, pukul 20.00 WIB).
Berbeda dengan NS yang menjadi tetangga dekat pelaku nikah beda
agama menyatakan:
“Perilakunya tidak cukup ramah kalo sama keluarga pelit, pengen
menguasai keluarganya, kalo sama lingkungan introvet atau tertutup karena sibuk
dengan pekerjaanya sehingga jarang sekali bertemu dengan masyarakat atau ikut
kegiatan didalam masyarakat”(15 September 2015, pukul 17.30 WIB).
Perbedaan pendapat/pandangan seseorang, NS memiliki sebuah
pandangan yang cenderung negatif. Kemudian menurut NS bahwa keluarga EL, jika
dilihat dari keikutsertaan dalam kegiatan masyarakat adalah:
“Kalau yang saya lihat pas awal-awal itu mengikuti, tapi sekarang
tidak pernah kelihatan lagi”.
Menilai dengan pendapat yang
berbeda-beda seperti yang diungkapkan oleh SD:
“Kalau mengikuti kegiatan hanya di awal dia masuk dusun ini, kalau
dengan masyarakat kurang cocok, karena tidak pernah kelihatan di dalam
lingkungan masyarakat” (15 September 2015, pukul 19.30 WIB).
Menurut penulis hal semacam itu tidak perlu adanya ketakutan yang
lebih, karena kalau kita sudah berpegang teguh pada akidah yang benar maka hal seperti itu bisa dihindari. Namun
pendapat yang diungkapkan oleh BY:
“Pengaruhnya di Dusun biasa saja, tidak ada arah mengajak yang lain
untuk mengikuti agama yang dipercayainya atau mempengaruhi generasi untuk
pindah ke agama selain Islam” (19 September 2015, pukul 14.20 WIB).
4.
Pendidikan toleransi
Menurut NS
bahwa keluarga EL dalam bertoleransi adalah:
“Kalau toleransi di dalam lingkungan cukup baik”
Masyarakat kebanyakan melihat keaktifan pelaku nikah beda agama
dalam kehidupan sehari-hari di dalam kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat,
untuk itu masyarakat dapat menyimpulkan dari keluarga A yaitu GY dan IS
hubungan dengan warga terjalin dengan baik sedangkan dari keluarga B yaitu EL
dan MK tidak adanya interaksi dengan masyarakat setempat, dalam artian dia
tidak pernah mengikuti kegiatan yang ada. Seperti yang dikatakan oleh MS:
“Kalau menurut saya sih, dikatakan aktif ya tidak begitu aktif dari
pasangan EL dan MK karena kecenderungan tidak bisa adanya kesrawungan dalam
mengikuti kegiatan” (19 September 2015, pukul 13.20 WIB).
Kegiatan-kegiatan
Islami tersebut juga dapat dikaitkan dengan sikap toleransi mereka dalam
masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh MS:
“Dari mengikuti kegiatan yang ada di masyarakat kalau kaitannya
dengan toleransi mungkin ada yang grapyak kalau di bahasa jawa namun ada juga
yang tertutup, itu dikarenakan mungkin mereka tidak tahu mengenai mayoritas
lingkungan sekitar, mungkin juga mereka kurang bisa bersosialisasi” (19
September 2015, pukul 13.20 WIB).
Sehingga dapat
dikatakan cara bertoleransi terhadap warga masyarakat kurang bisa memanagemen
diri, mungkin karena kurang mengerti cara bersosialisasi atau mungkin karena perilaku
yang memang kurang suka dengan masyarakatnya. Namun, seperti yang penulis
teliti bahwa toleransi dengan lingkungannya kurang adanya kesadaran diri dari
pelaku nikah beda agama, karena mereka sibuk dengan pekerjaanya, tapi tidak
semua pelaku nikah beda agama di dusun ini seperti yang dikatakan di atas yaitu
ada yang cukup bisa beradaptasi dan juga tidak biasa dalam masyarakat.
Ditambahkan lagi oleh JM:
“Sikap toleransi mereka dengan masyarakat sekitar ada yang sudah
seperti warga sini, tapi ada juga yang mungkin tidak betah akhirnya pindah dari
Dusun sini” (19 September 2015, pukul 14.00 WIB).
Kasus yang ada
di dusun ini, seperti yang dikatakan oleh JM, dari keenam pelaku nikah beda
agama ada salah satu yang tidak betah dengan lingkungan ini kemudian mereka
bercerai. Meskipun pandangan masyarakat seperti itu, namun penulis yakin bahwa
pelaku bercerai bukan hanya alasan tidak betah, tapi juga ditambah dari rasa
pribadi yang sudah berkurang, yang dilanjutkan oleh SD:
“Keluarga nikah beda agama belum bisa memahami kegiatan lingkungan,
kegiatan ikut hanya awalan saja, karena mereka belum punya rumah sendiri, jadi
kalau saya bisa memahaminya” (15 September 2015, pukul 19.30 WIB).
Keluarga
pelaku nikah beda agama kaitanya dengan kegiatan-kegiatan di masyarakat ada
yang merespon baik terhadap lingkungan sekitar dan ada pula yang acuh terhadap
lingkungan sekitar, seperti yang dikatakan oleh NS:
“Dilihat dari kacamata khusnuzon keagamaan pada masyarakat yang ada
disini mayoritas agama islam takutnya akan meracuni generasi penerus atau anak
muda” (15 September 2015, pukul 17. 30 WIB).
Menurut
penulis kalau dilihat dari hasil penelitian yang penulis lakukan, memang
perilaku dari pasangan keluarga EL dan MK kurang baik dengan keluarga maupun
dengan masyarakat. Beberapa pandangan masyarakat mengenai pernikahan beda agama
yang ada di Dusun Ngipik, pendapat yang diutarakan di atas bahwa perilaku
pasangan keluarga EL dan MK terhadap masyarakat kurang bersosial, dikarenakan
pribadi dari pelaku nikah beda agama itu kurang ramah, tertutup, egois, hanya
saat awal menikah saja yang mungkin memaksa dirinya ramah terhadap masyarakat
dalam cara beradaptasi dengan lingkunganya. Namun ada juga keluarga pelaku
nikah beda agama pasangan keluarga GY dan IS dinilai baik, dalam artian ramah,
sopan, bermasyarakat atau sering berkumpul dengan warga dan lain sebagainya.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Persepsi
Masyarakat pada Keluarga Beda Agama
Berdasarkan hasil data yang diperoleh, peneliti menganalisis data
mengenai persepsi masyarakat tentang pendidikan agama islam pada keluarga nikah
beda agama.
Dengan adanya jawaban yang telah diberikan oleh para informan,
peneliti dapat mengetahui bahwa pengetahuan mereka tentang pendidikan agama
Islam pada keluarga beda agama dilihat dari aktivitas terhadap masyarakatnya
ada yang memandang dari kedua keluaraga berbeda, ada yang memandang baik dan
ada pula yang memandang kurang baik. Meskipun masyarakat Dusun Ngipik dalam
menjelaskanya menggunakan bahasa campuran bahkan ada yang menggunakan bahasa
Jawa. Namun pada intinya sama yaitu tentang perasaan yang ada dalam diri informan
tentang pendidikan agama Islam pada keluarga beda agama tersebut.
1.
Persepsi masyarakat
Persepsi
adalah proses internal yang memungkinkan seseorang memilih, mengorganisasikan,
dan menafsirkan rangsangan dari lingkungannya, dan proses tersebut mempengaruhi
perilaku. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi)
adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian-balik dalam proses
komunikasi. Sedangkan menurut peneliti persepsi adalah sebuah pemahaman
yang langsung dikemukakan oleh seseorang mengenai suatu hal. Sedangkan,
masyarakat adalah suatu wadah dan wilayah dari kehidupan sekelompok orang yang
ditandai oleh adanya hubungan sosial. Jadi, persepsi masyarakat adalah
pemahaman masyarakat mengenai suatu hal dalam memahami objek yang ada di dalam
masyarakat.
Seperti
yang di ungkapkan dari persepsi MS
tentang pernikahan beda agama. “Dari segi pribadi, tetap tidak baik
meskipun yang namanya kehidupan itu tidak ada yang bisa menetukan, ini nanti
akan berbenturan dengan masyarakat. Tapi juga tergantung manajemen mereka
sendiri” (19 September 2015, pukul 13.20 WIB). Ditambah dengan bapak RS “tidak
setuju, nanti ada dampaknya karena menikah beda agama jika tidak tulus dalam
merubah agamanya itu pasti ada unsur mempengaruhi untuk pindah agama” (19
September 2015, pukul 13.20 WIB).
Persepsi
adalah proses internal yang memungkinkan seseorang memilih, mengorganisasikan,
dan menafsirkan rangsangan dari lingkungannya, dan proses tersebut mempengaruhi
perilaku.
2.
Keluarga nikah beda agama
Keluarga
beda agama adalah keluarga yang terbentuk dari pasnagan suami istri yang
melakukan pernikahan dari agama yang berbeda satu sama lain. Pernikahan beda
agama adalah pernikahan antara dua orang yang memiliki keimanan atau akidah
yang berbeda. Masyarakat yang ada di Dusun ini mayoritas beragama Islam, untuk
itu dalam mengungkapkan peryataan mengenai persepsi tentang pernikahan beda
agama yaitu pernikahan yang tidak diperbolehkan oleh agama Islam, karena
pernikahan beda agama itu pernikahan yang dilakukan oleh dua kepercayaan.
Jadi
dapat penulis pahami bahwa dari teori yang dibawakan oleh Mulyana, (2013:
179-180) Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan seseorang memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungannya, dan proses
tersebut mempengaruhi perilaku. Pernikahan beda agama adalah pernikahan antara
dua orang yang memiliki keimanan atau aqidah yang berbeda.
Menurut
penulis persepsi masyarakat dilihat dari
beberapa hasil penelitian yang penulis teliti, memang banyak yang berpendat
bahwa persepsi masyarakat tentang pernikahan beda agama mayoritas menyatakan
pernikhan beda agama itu haram, karena tidak diperbolehkan oleh agama Islam.
Disamping itu, karena masyarakat disini merupakan masyarakat yang masih kental
sifat keagamaanya dan masih membiasakan tradisi dari nenek moyang yang
dilaksanakan setiap seminggu sekali misalkan yasinan, tahlilan, atau kegiatan lapanan
(pengajian).
Pandangan
terhadap pernikahan beda agama kebanyakan dilihat dari perspektif Islam, sesuai
dengan pandangan agama Islam seperti yang terdapat di dalam al-Quran surat
al-Baqarah ayat 221. Namun, juga ada
beberapa dari responden yang berpandangan dilihat dari dua sudut pandang yaitu
dilihat dari hukum Islam dan dilihat dari kacamata Negara atau Undang-Undang
pernikahan.
B. Pendidikan
Agama Islam pada Keluarga Nikah Beda Agama
Pendidikan agama Islam adalah pendidikan melalui ajaran
agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik yang
nantinya setelah selesai dalam pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan
mengenalkan ajaran-ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan dan amalan
hidupnya. (Direktorat jndreal pembinaan kelembagaan agama islam, 1984: 80). Oleh
karena itu tujuan dari pendidikan agama yaitu mendidik seseorang supaya menjadi
muslim sejati, beriman teguh, beramal sholih, dan berakhlak mulia, sehingga ia
menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup mandiri. Adapun
pendidikan yang terdapat pada keluarga nikah beda agama, diantaranya:
1.
Pendidikan Keagamaan
Masyarakat
Dusun Ngipik mayoritas beragama Islam, mereka masih menjunjung tinggi
nilai-nilai keagamaan. Sikap sosial diantara mereka masih terjalin erat,
terbukti kehidupan masyarakat di dusun ini rasa solidaritas antar warga sangat
tinggi, mereka saling membantu dalam kegiatan dusun maupun acara pribadi. Namun
yang terjadi pada keluarga nikah beda agama sesuai dengan persepsi masyarakat
setempat bahwa ada dua pribadi yang berbeda dari dua keluarga yang peneliti
teliti, seperti keluarga A yaitu EL dan MK dipandang sebagai keluarga yang
kurang bersosialisasi sehingga kurang disegani oleh masyarakat setempat,
kemudian ada pula keluarga B yaitu GY dan IS yang dipandang sebagai keluarga
yang cukup baik, dalam artian mereka mau mengikuti aturan agama dan tradisi yang
berlaku sesuai dengan ajaran agama Islam. Tradisi yang ada dalam masyarakat itu
misalnya tahlilan, yasinan, kenduri, dan lain sebagainya, dalam mengikuti
kegiatan-kegiatan Islami pelaku nikah beda agama itu tidak selalu sama, ada
yang benar-benar dalam mengikuti kegiatan tersebut dan ada pula yang hanya di
awal pernikahan mereka rajin mengikutinya.
Pernikahan
beda agama dalam hal ini adalah pernikahan yang diharamkan oleh agama Islam
sesuai dengan surat al-Baqarah ayat 221. Warga Dusun Ngipik banyak kasus yang
terjadi pernikahan semacam itu. Pernikahan beda agama di Dusun Ngipik
dilatarbelakangi dengan adanya alasan-alasan yang disebabkan oleh faktor-faktor
sebagai berikut:
a.
Pasangan beda agama dari kedua keluarga di lingkungan RT 03 dan RT
04 merupakan pasangan yang menyatukan kedua kepercayaan yang berbeda
dikarenakan saling cinta.
b.
Karena pengalaman keagamaan yang kurang dan tingkat keimanan atau
kepercayaan dari individu maupun keluarga masih kurang.
c.
Terikat dengan usia yang semakin berlanjut atau bisa dikatakan umur
yang semakin tua.
d.
Karena ekonomi dalam keluarga kurang berhasil atau bisa dikatakan
rendah.
e.
Selain rasa cinta kepada indivu juga keinginan yang murni ingin
masuk Islam dan mendalaminya.
Masyarakat
mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Ada yang memandang bahwa pernikahan yang dilakukan keluarga
nikah beda agama tersebut dikarenakan kurangnya keimanan atau kepercayaan
tentang agama. Ada pula yang memandang bahwa yang mendorong terjadinya
pernikahan beda agama adalah lemahnya ekonomi, rasa cinta dari kedua belah
pihak dan juga persetujuan dari orang tua.
a.
Kurangnya keimanan atau kepercayaan tentang agama.
Keimanan atau kepercayaan tentang agama merupakan pondasi hidup
yang harus selalu kita pupuk agar dalam menjalankan kehidupan di dunia ini bisa
terarah. Seperti kasus pernikahan beda agama yang ada di Dusun Ngipik di
pandang oleh masyarakat tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman agamanya
Sehingga dengan kurangnya pemahaman tentang agama tersebut menjadikan pemilihan
dalam menentukan sebuah pilihan pasangan tidak sesuai dengan apa yang sudah di
ajarkan didalam suatu agama. Seperti yang diungkapkan Bapak SD.
“Dilihat
dari latar belakang keluarga pelaku nikah beda agama, mereka kurang dalam pemahaman agama atau bisa dikatakan Islam
KTP” (19 September 2015, pukul 17.30 WIB).
Dari pernyataan SD beranggapan bahwa penyebab berlangsungnya nikah
beda agama adalah kurangnya pemahaman agama dan keimanan sesorang. Jadi dapat diketahui bahwa keimanan seseorang
juga dapat menentukan arah hidup yang jelas, jika dilihat dari kasus pernikahan
beda agama dapat kita petik sedikit kesimpulan bahwa pernikahan beda agama
adalah suatu gambaran hidup seseorang yang kurang jelas arah dan tujuanya.
Karena untuk kedepanya status anak, dalam menentukan pendidikan agamanya akan
sangat berpengaruh, begitu juga saat pembagian warisan akan menjadi kurang
jelas pula.
b.
Lemahnya ekonomi.
Hidup berumah tangga tidaklah mudah disamping menata kehidupan yang
baru juga harus bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Apalagi di daerah
pedesaan khususnya Dusun Ngipik Desa Candi yang mayoritas masyarakatnya
berpenghasilan sebagai petani, sehingga sulit untuk mencukupi kebutuan
sehari-hari bahkan kurang. Sama halnya yang dialami salah satu penduduk RT 03
Dusun Ngipik dengan kehidupan keluarganya yang pas-pasan bahkan perekonomian
yang lemah memicu terjadinya pernikahan walaupun akidahnya berbeda. Hal
tersebut diungkapkan oleh JM.
“Melihat
keluarga mereka sebetulnya miris, karena penghasilan yang kurang dia nekat
menikah dengan orang yang beda akidah. Sebetulnya apabila akidah dan keimanan
itu kuat maka masalah ekonomi bukan menjadi alasan” (19 September 2015, pukul
14.30 WIB).
Akidah yang kuat sebenarnya ekonomi tidak begitu berpengaruh. Kalau
harta dan tahta yang dicari tidak bisa dipungkiri lagi bahwa alasan pernikahan
bukan karena mencari kebahagian dalam berumah tangga sesuai agama, tetapi mencari
kesenangan yang sifatnya keduniawian. Dari ungkapan JM dapat dipahami bahwa
perekonomian sesorang berpengaruh terhadap ketentuan hidup seseorang, tidak
pandang itu jelek, bagus, agama, ras dan lain-lain, namun yang terpenting
adalah bisa menghidupi diri sendiri atau keluarga, dengan begitu maka akan
merasa nyaman meskipun agama tidak dipandang sebagai prioritas utama dalam
peranan kehidupan didunia.
c.
Rasa cinta dari kedua belah pihak.
Hal-hal yang mendasar yang biasa dikatakan seseorang yang akan memasuki
proses pernikahan adalah rasa cinta dari kedua belah pihak. Alangkah sempurna
dan indahnya seseorang perempuan yang
mendapatkan suami idaman. Sama juga sungguh tenang, damai, dan bahagia seorang
laki-laki mendapatkan istri dan ibu idaman bagi anak-anaknya. Lebih sempurna
lagi seorang yang mendapatkan jodoh dengan idamannya yang juga sama-sama aqidah
dan keimananya. Tidak bisa dipungkiri lagi cinta dari EL dan MK terbawa dalam
pernikahan beda agama. Seperti yang disampaikan oleh BY dengan jawaban yang
singkat.
“Kepiye
maneh pancen podo senenge (mau bagaimana lagi karena sudah cinta sama cinta)
kembali lagi masalah kekuatan iman” (19 September 2015, pukul 14.30 WIB).
Ungkapan BY memang pada realitanya kekuatan cinta
menghantarkan pasnagan A yaitu EL dan MK kedalam pernikahan beda agama.
Jika dilhat dari ungkapan informan, maka
dapat dipahami selain dari
faktor yang ada, rasa seseorang kalau sudah bersangkutan dengan hati, maka itu
adalah urusan pribadi, seperti contoh yang ada,
percintaan seseorang dapat menciptakan suatu tali yang kuat yang tidak
bisa dilepas oleh orang lain, meskipun itu bertentangan dengan aqidah
seseorang, karena kekuatan yang ditimbulkan dari kedua hati seseorang dapat menciptakan kekuatan yang sangat kuat.
Oleh karena itu dari kasus yang ada di dusun ini rasa cinta antara pasangan
beda agama sangat mendasari diri kedua belah pihak.
d.
Persetujuan orang tua
Peran penting dalam keluarga terhadap anak-anaknya untuk menentukan
masa depannya adalah orang tua. Suatu pilihan individu dalam menentukan
pilihannya merupakan suatu motivasi yang cukup kuat, apalagi ditambah oleh
kebolehan dari kedua orang tuanya menjadikan kekuatan bagi pasangan beda agama
seperti yang dilakukan oleh keluarga EL dan MK juga dari keluarga GY dan IS.
Masyarakat tidak bisa menolak ataupun melarangnya karena selain suka sama suka
dari individu tersebut juga dari orang tua yang telah memperbolehkan.
2.
Pendidikan akhlak
Jika
dilihat dari sikap para keluarga yang menikah beda agama itu berbeda-beda. Ada
yang dipandang buruk atau kurang baik oleh masyarakat setempat, seperti
keluarga A yaitu EL dan MK yang enggan mengikuti kegiatan-kegiatan baik
kegiatan agama maupun kegiatan sosial di masyarakat. Sedangkan keluarga B yaitu GY dan IS memiliki sikap atau
perilaku yang baik sehingga masyarakat setempatpun menyegani keluarga tersebut
karena selain ramah dengan warga masyarakat, keluarga GY juga terlihat aktif
dalam kegiatan-kegiatan baik itu kegiatan agama maupun kegiatan di dusun
tersebut.
3.
Pendidikan amr ma’ruf nahi mungkar
Perilaku
seseorang merupakan watak yang mencerminkan individu dalam penilaian orang lain
baik positif maupun negatif.
4.
Pendidikan toleransi
Masyarakat
kebanyakan melihat keaktifan pelaku nikah beda agama dalam kehidupan
sehari-hari di dalam kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat, untuk itu
masyarakat dapat menyimpulkan dari keluarga B yaitu GY dan IS hubungan dengan warga terjalin
dengan baik sedangkan dari keluarga A tidak adanya interaksi dengan masyarakat
setempat, dalam arti dia tidak pernah mengikuti kegiatan yang ada. Dilihat dari
cara mereka bertoleransi kebanyakan masyarakat mengatakan bahwa pelaku nikah
beda agama dalam menghargai lingkungan cukup baik, meskipun tidak pernah
mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada, setidaknya tidak memusuhi warga.
Melalui
hasil obervasi peneliti bahwa ST dari RT 04 yang menjadi adik dari MK pelaku
nikah beda agama mengatakan bahwa EL dan MK pernah pergi ke gereja pada hari
minggu. Bisa dipastikan bahwa EL dan MK berpindah keyakinan meskipun dalam KTP
tercatat agama Islam. Namun berbeda dengan pasangan B yaitu GY dan IS setelah
mereka menikah dan mempunyai anak si GY yang menjadi suami dari IS dia semakin
sering belajar tentang agama dengan istrinya, bahkan dia membeli buku tentang
agama Islam.
Ada
sebuah cerita bukti realita pasangan beda agama di Dusun Ngipik yang lebih khusus dari pasangan A yaitu EL
dan MK yaitu sebagai berikut:
“Pada suatu
hari MK yang telah mengandung besar yang telah
mencapai 9 bulan. Beberapa hari kemudian MK melahirkan, dari tradisi
masyarakat dusun ini dalam bermasyarakat memperlihatkan adanya kepedulian
sesama manusia yang mengutamakan perilaku seperti halnya paseduluran. Salah
satu dari warga melihat bahwa MK yang semula beragama Islam kemudian menikah
dengan EL yang beragama katolik memakai kalung yang berlambangkan salib, salah
satu warga melihatnya, karena sudah dikatakan bahwa warga masyarakat didusun
ini tidak suka dengan agama selain Islam, pernah terjadi kasus di tetangga
dusun yang membangun tempat peribadatan agama kristian yang membuat tindakan
masyarakat Dusun Ngipik anarki dan merobohkan bangunan tersebut dengan alasan
ketidaksukaan warga, karena memungkinkan pengaruh-mempengaruhi akan terjadi.
Kembali kedalam pasangan EL dan MK dari salah satu warga meberikan pernyataan
“kalau kamu masih memakai kalung salib, kalau ada apa-apa dengan kamu sama
keluarga kamu, kami atas nama masyarakat tidak akan ikut campur”. Artinya warga
Dusun Ngipik memandang agama selain Islam bisa dikatakan tidak suka, apalagi
ada pasangan dengan aqidah yang berbeda satu sama lain seperti EL dan MK yang
ada di lingkungan RT 04. karena akan ada dampaknya bagi yang lainya “ujarnya”.
Dilihat dari kehidupan kemasyarakatanya pasangan beda agama dari EL dan MK
dirasa warga Ngipik tidak ada kontribusi ke masyarakat”.
Berbeda
dengan cerita dari keluarga B yaitu GY dan IS peneliti yang bertanya langsung
dengan pelaku nikah beda agama tersebut, selain didasari rasa cinta dan
permasalahan ekonomi dengan IS. GY mempunyai niat ingin berpindah agama yang
semuala agamanya budha, dengan alasan bahwa dia merasa agama yang dianut
sebelumnya dengan agama Islam lebih
rasional agama Islam. Bisa dilihat dari kehidupan sosial kemasyarakatanya di
Dusun ini yang selalu aktif dalam mengikuti kegiatan-kegiatan maupun tradisi
yang ada. Untuk itu, perbedaan dari kedua pasangan beda agama terlihat dari
aktivitas dalam lingkunganya. Begitu juga termasuk dalam pengajaran pendidikan
agama Islam yang diterapkan keluarga beda agama tersebut terlihat dari
aktivitas yang bersangkutan dengan masyarakat setempat, seperti yang di uraikan
di atas.
Bisa
penulis lihat bahwa kedua pasangan beda agama itu ada yang menikah dengan
alasan hanya karena cinta dan ekonomi, dan juga ada yang menikah karena alasan
ingin berpindah agama. Selain yang mendasari rasa antara pribadi dan masalah
ekonomi.
Hidup
di masyarakat pedesaan tidak luput dari kegiatan gotong-royong. Selain
memerlukan tenaga dari individu-individu yang ada juga mempererat tali
silaturahmi, karena kehidupan di pedesaan masih memegang tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang. Tradisi yang ada di Dusun Ngipik ini sampai
sekarang masih dijalankan yang menjadi agenda mingguan seperti: yasinan dan
tahlilan. Atau kegiatan yang melekat pada solidaritas warga seperti: kerja
bakti (pembangunan jalan, masjid) itu semua menjadikan warga dalam beraktivitas
atau dalam kerjasama bisa terjalin.
Bisa
dibayangkan, setiap kegiatan atau tradisi yang ada di Dusun ini apabila salah
satu warga tidak mengikuti kegiatan tersebut, maka warga dengan otomatis akan
berargumen. Seperti yang dialami pasangan A yaitu EL dan MK dalam menghadapi
masyarakat tidak terlihat adanya aktivitas dengan masyarakat sekitar, bahkan
dalam akhir-akhir ini kerap kali dibicarakan warga masyarakat Dusun Ngipik,
dengan alasan mereka hidup di Dusun ini namun mereka tidak bersatu dengan warga
disini, padahal sudah 5 tahun berada di dusun ini, hanya pada awal pernikahan
saja mereka kelihatan di masyarakat, dalam arti mereka tidak mengikuti
kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat. Berbeda dengan pasangan B yaitu GY
dan IS yang sering terlihat dalam kegiatan dan mengikuti tradisi yang menjadi
agenda tetap di dusun ini, selain itu juga kerap terlihat kegiatan ibadah
sholat jama’ah di masjid.
Menurut
penulis masyarakat dalam memandang tentang pendikan agama Islam pada keluarga
nikah beda agama dilihat dari kacamata sosial, artinya masyarakat menilai dari
aktivitas dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di Dusun Ngipik yaitu
mencangkup pendidikan Ketauhidan,
Pendidikan akhlak, Pendididkan sholat, Pendidikan ketabahan dan kesabaran,
Pendidikan amar ma’ruf nahi mungkar dan toleransi. Mereka dapat memilih
dan memilah antara keluarga yang aktif didalam masyarakat atau dikategorikan
dalam hal positif. Tetapi, juga ada yang memandang keluaraga/pasangan nikah
beda agama dipandang oleh masyarakat tidak baik, karena tidak pernah mengikuti
kegiatan atau tradisi yang ada.
C. Perilaku
Keluarga Nikah Beda Agama dalam Masyarakat
Perilaku Sosial adalah proses belajar yang dilakukan oleh seseorang
(individu) untuk berbuat atau bertingkah laku berdasarkan patokan yang terdapat
dan diakui dalam masyarakat. Perilaku sosial merupakan gambaran atau watak
indivu di dalam masyarakat.
Perilaku pelaku nikah beda agama dari 6 kasus yang ada, peneliti
mengambil dua keluarga yang menjadi perbandingan dalam bersosial di masyarakat
di Dusun Ngipik. Kedua keluarga tersebut dilihat dari keaktifan di dalam
masyarakat seperti yang tertulis di atas ada yang terlihat seperti warga yang
sudah lama di Dusun Ngipik artinya pelaku mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada
seperti yang di ungkapkan bapak JM.
“Kalo GY itu
bener-bener mempelajari Islam sampai-sampai membeli buku tentang Islam dan
mengikuti tradisi yang ada seperti:
tahlilan, yasinan dan kenduri”
Penulis memandang bahwa informan dalam melihat pelaku nikah beda
agama yang ada dilihat dari sisi positif karena perilaku diantara keluarga dan
masyarakat terlihat rukun, sumeh, dan lain-lain. karena dengan alasan
bahwa pelaku nikah beda agama dari pasangan GY aktif dan mengikuti tradisi yang
ada di Dusun Ngipik seperti: tahlilan, yasinan, pengajian dusun, kenduri dan
lain-lain. Dan kegiatan kemasyarakatan, seperti: gotong royong (pembangunan
masjid, pembangunan jalan) dan lain sebagainya.
Mengenai perilaku pasangan nikah beda agama dalam hal pendidikan
agama Islam di Dusun ini, dapat dilihat dari solidaritas pelaku nikah beda
agama dalam kegiatan-kegiatan yang ada misalkan: kegiatan dalam tradisi keagamaan dan kegiatan
kemasyarakatan pada umumnya.
Seperti yang penulis lihat dari kasus pernikahan beda agama di
dusun ini ada dua keuarga pasangan beda agama yang menjadi perbandingan.
Dilihat dari perilakunya dipandang dari beberpa kriteria yaitu:
1.
Perilaku individu
Dari pasangan A
yaitu EL dan MK yang ada di lingkungan RT 04 kurang ramah, pelit. Sedangkan
dari pasangan B yaitu GY dan IS yang tinggal di lingkungan RT 03 justru
kebalikanya dari perilaku yang dimiliki oleh pasangan A.
2.
Perilaku individu dengan keluarga
Dari pasangan A
sifat keegoisan dalam memegang peranan keluarga, rasa ingin memiliki atau rasa
ingin berkuasa. Sedangkan dari pasangan B selalu bertolak belakang dengan
perilaku yang dimiliki pasangan A dari EL dan MK yang haus akan kekuaaaan dan
harta.
3.
Perilaku individu dengan lingkunganya
Pasangan beda
agama dari keluarga A terlihat tidak adanya sosial dalam masyarakat, cenderung
mementingkan pekerjaanya tetapi melupakan kewajiban dalam masyarakat. Berbeda
dengan pasangan B yang mementingkan keduanya yaitu pekerjaan dan sosialnya.
Dari kedua pasangan beda agama diatas pasangan A dengan pasangan B
mempunyai perbedaan yang sangat jauh padahal kalau dilihat mereka adalah
pasangan yang sama-sama dari akidah yang berbeda pula.
Pasangan B dari GY dan IS bercerita tentang kronoligi pindah agama
seperti yang dikatakan GY pernah belajar agama dan pernah mencoba agama yaitu
Budha, Kristen, dan Islam. Dari ketiga agama yang pernah GY alami katanya agama
yang paling masuk akal adalah Islam. Maka dari itu selain persyaratan menikah,
GY benar-benar mendalami agama Islam sampai-sampai membeli buku tentang Islam.
Tentunya peneliti memperhatikan bahwa pelaku nikah beda agama dilihat dari
karakter individu dengan keluarga maupun masyarakat jelas perbedaan itu
mengatakan bahwa orang yang benar-benar murni pindah agama bukan karena alasan
cinta, ekonomi ataupun kekuasaan. Namun, alasan yang memang dari individu
sendiri ingin berpindah agama, karena agama bukan sebuah nama belaka, namun
agama mempunyai arti dan tujuan yang memberikan seseorang jalan agar
orang-orang bisa terarah ke jalan yang ingin dituju.
Pendidikan agama Islam pada keluarga beda agama dilihat dari
aktivitas pelaku dengan masyarakat seperti pendidikan akhlak dari kedua
pasangan nikah beda agama tersebut ada perbedaan seperti yang diuraikan di
atas. Perilakau sosial kemasyarakatan dari keluarga beda agama yang ada di
Dusun Ngipik Desa Candi, terlihat adanya perbedaan dalam hubungan dengan
masyarakat atau lingkunganya, juga berbeda dalam perilaku terhadap masyarakat
pada umumnya. Itu semua dapat diketahui melalui kehidupan sehari-hari dari
pasangan beda agama di Dusun Ngipik.
Dapat penulis simpulkan bahwa, perilaku pelaku nikah beda agama di
dalam masyarakat Ngipik dari keluarga A yaitu MK dan EL yang mencerminkan
keegoisan dalam memegang peranan baik itu terhadap keluarga maupun masyarakat.
Berbeda dengan keluarga B yaitu GY dan IS yang mencerminkan perilaku peduli
sesama, peduli sama orang tua, istri, dan keluarganya. Juga peduli terhadap
masyarakat atau warga Dusun Ngipik. Dalam arti pasangan dari keluarga B
yaitu GY dan IS mempunyai rasa empati,
sehingga bukan hanya karena merasa dia sebagai penduduk yang datang saja namun,
sebagai penduduk yang bisa berkontribusi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan dengan judul skripsi
“Persepsi Masyarakat Tentang
Pendidikan Agama Islam pada Keluarga Nikah Beda Agama Di Dusun Ngipik Kec. Bandungan Kab. Semarang
Tahun 2015” maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa:
1.
Persepsi
Masyarakat Tentang Pernikahan Beda Agama di Dusun Ngipik
Merupakan cara pandang
masyarakat dalam mengungkapkan perasaan terhadap pasangan yang melakukan
pernikahan beda agama. Persepsi yang diungkapkan informan dalam penelitian ini
cenderung kepada hal yang negatif pada keluarga A yaitu EL dan MK. Cenderung positif
pada keluarga B yaitu GY dan IS. Dapat dikatakan
bahwa pandangan masyarakat tentang
pelaku nikah beda agama yang ada di Dusun Ngipik ada yang memandang
bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pasangan beda agama itu dengan alasan
bukan karena agama, namun yang diutamakan adalah soal rasa, pernikahan beda
agama yang dilakukan oleh EL dan MK atau GY dan IS itu sah karena dalam
pernikahannya mereka berubah agama, dalam arti pernikahan yang dilangsungkan
itu secara Islam. Jadi pernikahan antar agama bisa berlangsung asalkan
perbedaan antara kedua aqidah tersebut disamakan atau seagama.
2.
Pendidikan Agama Islam pada Keluarga Nikah Beda Agama
Pendidikan
merupakan hal penting dalam sebuah keluarga untuk membangun keluarga yang
sakinah, mawadah, warahmah sesuai dengan ajaran agama Islam. Pendidikan agama
Islam pada keluarga beda agama dari keluarga A yaitu EL dan MK, masyarakat
menilai kurangnya peran pendidikan agama Islam baik dari pendidikan ketauhitan,
Pendidikan akhlak, Pendididkan sholat,
Pendidikan amar ma’ruf nahi mungkar, Pendidikan ketabahan dan kesabaran,
pendidikan toleransi. Berbeda dengan keluarga B yaitu GY dan IS meskipun tidak
sesempurna yang ada pada pendidikan agama Islam yang tertera di atas namun
adanya sentuhan dari pendidikan agama Islam tersebut. Masayarakat memandang
dari keaktifan di dalam lingkunganya.
3.
Perilaku Nikah Bedah Agama dalam Masyarakat.
Seperti
yang penulis katakan diatas bahwa perilaku bisa diketahui dalam tiga hal yaitu
perilaku individu itu sendiri, yang kedua perilaku individu dengan keluarga,
yang ketiga perilaku individu dengan masyarakatnya.
Dapat
disimpulkan bahwa perilku nikah beda agama dilihat dari perilaku individu
mencerminkan watak yang kurang ramah, introvet, egois, dilihat dari perilaku
terhadap keluarganya, adanya sifat keegoisan dalam memegang peranan keluarga,
pengen berkuasa dalam keluarga, tidak terbuka dengan keluarga. Dan perilaku
dengan masyarakat sekitar ada yang memandang positif dan ada yang memandang
negatif, masyarakat menyimpulkan beberapa perilaku yang dilihat melalui
kegiatan, perkumpulan, dan rasa solidaritas di masyarakat. Seperti yang telah
kita lihat di atas bahwa perbedaan dari kedua pasangan beda agama itu dilihat
dari keaktifan di dalam masyarakat. yang pertama dari keluarga A yaitu EL dan
MK di nilai tidak cocok dengan masyarakat, karena perilaku yang cenderung,
tidak pernah berkumpul, tidak pernah mengikuti kegiatan, itu dikarenakan latar
belakang yang bisa penulis simpulkan bahwa niat dalam pernikahan bukan karena
alasan agama, namun di sebabkan karena cinta dan ekonomi. Jadi, sikap kegoisan
dalam memegang peranan di dalam masyarakat.
Kedua
dari pasangan B yaitu GY dilihat dari perilaku individu GY merupakan orang yang
tegas, pemerhati, sopan. Didalam keluarganya juga mencerminkan rasa kebersamaan,
selalu mengerti satu sama lain, tindak tanduk terhadap besan juga terlihat
baik. Di dalam masyarakat juga terlihat cukup baik, seperti yang ada dalam
masyarakat pada umumnya. Yang dirasa oleh masyarakat sangat berbeda dengan
pasangan A yaitu EL dan MK. Masyarakat
memandang pasangan keluarga beda agama dari B yaitu GY cenderung positif karena
alasan bahwa perilaku seseorang terlihat dalam aktivitas bermasyarakat.
Masyarakat
memandang bahwa GY aplikasi dari perilaku individu terhadap lingkungan cukup
berperan, karena disamping agama yang dianut sebelumnya berbeda dengan yang ada
dalam masyarakat Ngipik, dia tetap optimis bahwa dia disini selain menjadi
suami dari keluarga beda agama juga mempunyai niat dalam berpindah dan
mendalami agama Islam.
B. Saran
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh selama melakukan penelitian,
sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini, maka penulis kemudian
memberikan saran kepada member dan
committe yang ada dalam
masyarakat Dusun Ngipik, serta orang-orang di luar masyarakat Dusun Ngipik
dalam menyikapi ataupun menilai keluarga yang nikah beda agama di Dusun Ngipik,
sebagai berikut:
1.
Bagi masyarakat:
Diharapkan
kepada masyarakat Dusun Ngipik untuk tetap mempertahankan kesejahteraan yang
ada di Dusun Ngipik, jangan membedakan antara keluarga yang nikah secara
umumnya dengan keluarga yang nikah beda agama.
a.
Jangan memandang sebelah mata dari keluarga yang menikah beda agama
karena belum tentu semua perilakunya tidak baik.
b.
Belajar ilmu umum bisa menambah wawasan tentang pemikiran
seseorang, karena jelas kalau dilihat dari satu sisi teori maka pendapat yang
bisa diungkapkan hanyalah satu teori tersebut. Maka dari itu agar bisa saling
menghargai suatu perbedaan di dalam masyarakat, seperti perbedaan keyakinan
tentang pernikahan beda agama, memungkinkan pendapat yang berbeda dengan alasan
yang bisa diperkuat, artinya tidak sembarangan berpendapat.
c.
Sebelum ada permasalahan yang sama, sebaiknya masyarakat atau
kepala dusun sebagai wakil dari masyarakat mengitrogasi terlebih dahulu kepada
orang yang mau menjadi warganya.
2.
Untuk Pelaku Nikah Beda Agama
a.
Jangan merasa dibedakan, karena lingkungan merupakan sarana umum
untuk berinteraksi dan beradaptasi dalam mengembangkan potensi diri khusunya
dalam pendidikan agama Islam.
b.
Hidup bermasyarakat adalah prioritas utama dalam hidup berkeluarga,
karena di dalam masyarakat bukan hanya interaksi antara istri dan keluarga,
namun juga peran terpenting dalam berkeluarga terhadap masyarakat. Untuk itu,
mulailah dalam membiasakan diri dengan orang-orang yang ada disekelilingmu.
c.
Jangan menjadikan agama sebagai alasan dalam berinteraksi di dalam
lingkungan masyarakat. karena masyarakat bukan memerankan agama saja. Namun
rasa kebersamaan, gotong-royong dalam membangun sebuah masyarakat yang baik
tidak memandang dari sisi agama, namun solidaritas dan partisipasi dari warga
yang paling utama.
DAFTAR
PUSTAKA
Chabib, Thoha. 1996. Pembinaan Rumah Tanga Bahagia. Jakarta:
Yamunu.
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan. 2001. Kapita Selekta
Pengetahuan Agama Islam. Jakarta.
Djamaroh, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan
Anak dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Eoh, O.S. 2001. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek. JAKARTA:
Raja Grafindo Persada.
Hude, Darwis. 2006. Emosi. JAKARTA: Erlangga.
Kholil, Abu Fatih. 2012. Masa’il Diniyyah. YOGYAKARTA: MITRA
PUSTAKA.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas
Budaya Masyarakat Multikultural. YOGYAKARTA: Pelangi Aksara Yogyakarta.
Machendrawaty, Nanih. 2001. Pengembangan Masyarakat Islam.
BANDUNG: PT Remaja Rosdakarya.
Miftah, Faridl. 1999. 150 Masalah Nikah dan Keluarga. JAKARTA:
Gema Insani.
Moleong. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. BANDUNG:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mubaroq, Zulfi. 2010. Sosiologi Agama. MALANG: UIN-MALIKI
PRESS.
Mulyana, Deddy. 2013. Ilmu Komunikasi. BANDUNG: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar.BANDUNG.
PT. Remaja Rosdakarya.
Mufri, Aj-jahrani. 1996. Poligami dari Berbagai Persepsi. JAKARTA:
Gema Insani Press.
Ni’am, Sholeh Asrorun,. 2008. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan
Keluarga. JAKARTA: Graha
Paramuda.
Nurcholish, Ahmad. Dkk. 2008. Kado Cinta bagi Pasangan Beda
Agama. JAKARTA: Gramedia Pustaka Utama.
Pasaribu dkk. 1984. Teori Kepribadian. BANDUNG: Tarsito.
Poerdarminta, 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga. JAKARTA: Balai Pustaka.
Rahmat, Jalaludin. 1994. Psikologi komunikasi. BANDUNG:
Remaja Rosdakarya.
Sadli, Saparinah. 1977. Persepsi Sosial Mengenai Perilaku
Menyimpang. JAKARTA: Bulan Bintang.
Saridjo, Marwan. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam.
Jakarata: CV Amisco.
Slameto. 1991. Belajar belajar dan fakto-faktor yang
mempengaruhinya. SALATIGA: Rineka
Cipta.
Sugihen, Bahreint. Sosiologi Pedesaan (suatu pengantar. JAKARTA:
Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2006. metode penelitian kuantitatif kualitatif dan
R&D. BANDUNG: Alfabeta.
Suryabrata, Sumadi. 1995. Metodologi Penelitian. JAKARTA:
Raja Grafindo Persada.
Syam, Abdul. 2002. Sosiologi . JAKARTA: Grafika Offset.
Walgito, Bimo. 1997. Pengantar psikologi umum. YOGYAKARTA: Andi
Yogayakarta.
Yunus, Mahmud. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama.
Jakarta: PT Hidakarya Agung.
https://gurumimu.wordpress.com/2012/04/15/pp-no-55-tahun-2007/
18. 15 april 2012
RIWAYAT HIDUP
1.
|
Nama
|
:
Bahrin
|
||
2.
|
Tempat
dan Tanggal lahir
|
:
Kab. Semarang, 21 juni 1991
|
||
3.
|
Jenis
kelamin
|
:
laki-laki
|
||
4.
|
Warga
Negara
|
:
Indonesia
|
||
5.
|
Agama
|
:
Islam
|
||
6.
|
Alamat
|
: Ngipik RT/RW, 04/08 Candi Bandungan
Kab. Semarang.
|
||
7.
|
Kontak
Person
|
:
08995651506
|
||
8.
|
Riwayat
Pendidikan
|
:
|
||
a.
|
TK
Darma Wanita
|
Lulus
1998
|
||
b.
|
SD
Negeri Candi 03 Ngipik
|
Lulus
2005
|
||
c.
|
MTs
Al-Bidayah Candi
|
Lulus
2008
|
||
d.
|
SMA
Islam Sudirman Amabarawa
|
Lulus
2011
|
||
Demikian daftar
riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benamya.
|
Salatiga, 27 januari 2016
|
|
Penulis
|
|
|
|
|
|
BAHRIN
|
|
Nim:
111 11 190
|
PEDOMAN
WAWANCARA
PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA TAHUN
2015
A. Identitas responden
Kode
Responden :
Hari/Tanggal :
Waktu :
B. Komponen
Pandangan menegenai pendidikan agama
Islam pada keluaga beda agama, faktor yang melatarbelakangi pernikahan beda
agama, cara bertoleransi dengan lingkunganya, hubungan dengan masyarakat,
pengaruh bagi masyarakat, perilaku dengan keluarga dan masyarakat.
C. Butir-butir Pertanyaan
·
Apakah
yang melatarbelakangi pernikahan beda agaama ?
·
Bagaimana
cara mereka bertoleransi?
·
Bagaimana
perilaku sosial terhadap masyarakat disini?
·
Apakah
mereka mengikuti kegiatan-kegitan di masyarakat?
·
Apakah
keluarga pelaku nikah beda agama berpengaruh bagi dusun ? misalkan bagi
masyarakat pada umumnya?
Informan:
NS
Penanya: Apakah yang melatarbelakangi pernikahan beda
agama ?
Informan:“latar
belakang yang peneliti observasi karena disebabkan perekonomian dan
persoalan rasa dari kedua belah pihak, serta keimanan tentang agama kurang”
Penanya:
Bagaimana cara mereka bertoleransi?
Informan:
“Kalau toleransi di dalam lingkungan cukup baik”
Penanya:
Bagaimana perilaku sosial terhadap masyarakat disini?
Informan:
“Antagonis, tidak cukup ramah, terhadap keluaraga (pelit, pengen menguasai),
terhadap lingkungan (introvet, sibuk dengan pekerjaanya)" Penanya: Apakah
mereka mengikuti kegiatan-kegitan di masyarakat?
Informan:
“Kalau yang saya lihat pas awal-awal itu mengikuti, tapi sekarang tidak pernah
kelihatan lagi”
Penanya:
Apakah keluarga pelaku nikah beda agama berpengaruh bagi dusun ? misalkan bagi
masyarakat pada umumnya ?
Informan:
“Saya rasa hanya kurang peran dalam masyarakat saja, tapi kalau mempengaruhi
seseorang tidak ada kayaknya, heee”
Informan:
SD
Penanya:
Apakah yang melatarbelakangi pernikahan beda agama ?
Informan:
“latar belakang yang peneliti observasi karena disebabkan perekonomian dan
persoalan rasa dari kedua belah pihak, serta keimanan tentang agama kurang,
kalau menurut SD yang melatarbelakangi adalah karena suka sama suka ”
Penanya:
Bagaimana cara mereka bertoleransi?
Informan:
“Belum bisa memahami lingkungan”
Penanya:
Bagaimana perilaku terhadap sosial masyarakat disini?
Informan:
“Keegoisan dalam memegang peranan keluarga maupun masyarakat, kurang cocok yang
berkaitan dengan agama”
Penanya:
Apakah mereka mengikuti kegiatan-kegitan di masyarakat?
Informan:
“Kalau yang saya lihat pas awal saja, tapi ya saya maklumi soalnya dia belum
punya rumah sendiri”
Penanya:
Apakah keluarga pelaku nikah beda agama berpengaruh bagi dusun ? misalkan bagi
masyarakat pada umumnya ?
Informan:
“Dilihat dari kacamata khusnuzon, masyarakat di sini mayoritas beragama Islam, takutnya
nanti akan meracuni generasi penerus/anak muda
”
Informan:
PK
Penanya: Apakah yang melatarbelakangi
pernikahan beda agama ?
Informan:
“Yo nak aku kurang tau persis, seng mesti yo podo senenge nak menurutku”
Penanya:
Bagaimana cara mereka bertoleransi?
Informan:
“Kurang bisa menyesuaikan, prosesnya lama bisa seperti yang kamu lihat seperti
ini, kalau dulu pernah bilang sama saya, kalau ada suara orang ngaji sangat
benci , tapi sekarang sudah biasa”
Penanya:
Bagaimana perilaku terhadap sosial masyarakat disini?
Informan:
“Bagus, perilaku terhadap keluaraga juga sangat bagus”
Penanya:
Apakah mereka mengikuti kegiatan-kegitan di masyarakat?
Informan:“Kalau
yang saya lihat pas awal-awal itu mengikuti, tapi sekarang tidak pernah
kelihatan lagi seperti EL, namun tidak seperti GY dia justru malah mengikuti,
sudah seperti warga disini”
Penanya:
Apakah keluarga pelaku nikah beda agama berpengaruh bagi dusun ? misalkan bagi
masyarakat pada umumnya ?
Informan:
“Kalau dari EL jelas masyarakat dusun sini tidak cocok, ditakutkan akan
mempengarui orang lain”
Informan:
BY
Penanya:
Apakah yang melatarbelakangi pernikahan beda agama ?
Informan:
“Kalau faktor mungkin banyak, mungkin ada yang karena pangkat, kaya, tapi yang
jelas keimana/kepercayaan pada agama sendiri kurang”
Penanya:
Bagaimana cara mereka bertoleransi?
Informan:
“Ya seperti orang pada umumnya di masysrakat sini”
Penanya:
Bagaimana perilaku terhadap sosial masyarakat disini?
Informan:
“Kalau sama keluaraga ya saya kurang tau, tapi kalau sama masyarakat cuwek,
tidak pernah menyapa, atau berkumpul”
Penanya:
Apakah mereka mengikuti kegiatan-kegitan di masyarakat?
Informan:
“Ada yang mewakili kegiatan seperti
tahlilan ada yang mewakili, ada yang mungkin tidak betah disini jadi
saya tidak tau”
Penanya:
Apakah keluarga pelaku nikah beda agama berpengaruh bagi dusun ? misalkan bagi
masyarakat pada umumnya ?
Informan:
“sepertinya kalau yang tinggal disini baik-baik saja”
Informan:
RS
Penanya:
Apakah yang melatarbelakangi pernikahan beda agama ?
Informan:
“latarbelakang yang peneliti observasi karena disebabkan perekonomian dan
persoalan rasa dari kedua belah pihak, serta keimanan tentang agama kurang, yo
seng jelas akidahe kurang kuat”
Penanya:
Bagaimana cara mereka bertoleransi?
Informan:
“Kalau toleransi di dalam lingkungan cukup baik”
Penanya:
Bagaimana perilaku terhadap sosial masyarakat disini?
Informan:
“wes podo wong kene nak sikape mono, apek-apek wae”
Penanya:
Apakah mereka mengikuti kegiatan-kegitan di masyarakat?
Informan:
“Yo nak pas awal kae aku weruh, tapi nak akhir-akhir iki ora tau ketok meneh”
Penanya:
Apakah keluarga pelaku nikah beda agama berpengaruh bagi dusun ? misalkan bagi
masyarakat pada umumnya ?
Informan:
“Ora ono pengaruh seng elek, wong yo do nyaman-nyaman wae, hehehe…”
Informan:
JM
Penanya:
Apakah yang melatarbelakangi pernikahan beda agama ?
Informan:
“Ya nak itu sebab cinta, mungkin orangtua juga membolehkan”
Penanya:
Bagaimana cara mereka bertoleransi?
Informan:
“Ya baik-baik saja, tidak adanya kebencian terhadap warga disini”
Penanya:
Bagaimana perilaku terhadap sosial masyarakat disini?
Informan:
“Ada yang biasa saja dengan masyarakat, ada yang tidak pernah menyapa atau
memang wataknya begitu aku juga tidak tau”
Penanya:
Apakah mereka mengikuti kegiatan-kegitan di masyarakat?
Informan:
“Mengikuti kegiatan, tapi juga kadang-kadang gak ikut, tapi kalau seperti EL
itu kalau ke masjid untuk sholat itu belum pernah lihat”
Penanya:
Apakah keluarga pelaku nikah beda agama berpengaruh bagi dusun ? misalkan bagi
masyarakat pada umumnya ?
Informan:
“Biasa saja, sepertinya tidak mengajak yang lain untuk pindah agama lain”
Informan:
SM
Penanya:
Apakah yang melatarbelakangi pernikahan beda agama ?
Informan:
“Yang pertama, karena usia yang sudah berumur,
Yang
kedua, karena alasan ekonomi dan masalah pribadi
Yang
ketiga, yang termasuk ekstrim yaitu murtad, pengen benar-benar meninggalkan
Islam”
Penanya:
Bagaimana cara mereka bertoleransi?
Informan:
“Mungkin karena dia tidak tahu mayoritas lingkungan sekitar, mungkin karena
mereka kurang bisa bersosialisasi”
Penanya:
Bagaimana perilaku terhadap sosial masyarakat disini?
Informan:
“Kalau Perilakunya tidak berpengaruh”
Penanya:
Apakah mereka mengikuti kegiatan-kegitan di masyarakat?
Informan:
“Dikatakan aktif, ya tidak begitu aktif, namun ada yang memang aktif dari awal
sampai sekarang seperti GY itu”
Penanya:
Apakah keluarga pelaku nikah beda agama berpengaruh bagi dusun ? misalkan bagi
masyarakat pada umumnya ?
Informan:
“Kalau dari lingkungan sendiri pengaruhnya tidak begitu besar. Dilihat dari
semua itu pasti ada pengaruh positif dan negatifnya, pengaruh positifnya ada,
ketika mereka nikah beda agama mereka menjadi tahu tentang agama lain. Tapi ada
pengecualian, tau tentang agama lain atau mempelajari agama lain tidak harus
menikah beda agama, tapi membaca juga bisa. Kalau negatif jelas tentang aqidah
sangkutanya”
DAFTAR
NILAI SKK
Nama :
BAHRIN
Nim :
111-11-190
Fakultas :
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan :
S1- Pendidikan Agama Islam
P.A :
Drs. Taufiqul Mu’in, M.Ag.
No
|
Jenis Kegiatan
|
Pelaksanaan
|
Jabatan
|
Nilai
|
1
|
Orientasi pengenalan akademik dan
kemahasiswaan STAIN salatiga
|
20-23 Agustus 2011
|
Peserta
|
3
|
2
|
Achivement motivation training
(AMT) STAIN salatiga
|
23 Agustus 2011
|
Peserta
|
2
|
3
|
ODK(orientasi dasar keislaman)
STAIN salatiga
|
24 Agustus 2011
|
Peserta
|
2
|
4
|
Seminar entrepeneurship dan
koperasiauditorium STAIN salatiga
|
25 Agustus 2011
|
Peserta
|
2
|
5
|
User education (pendidikan
pemakai) oleh upt perpustakaan STAIN salatiga
|
19 September 2011
|
Peserta
|
2
|
6
|
“ super teens super leader” STAIN
salatiga
|
08 Oktober 2011
|
Peserta
|
2
|
7
|
Seminar REGIONAL oleh IPNU Kab.
Semarang dan PMII Kota Salatiga “ negara islam dalam tinjauan islam indonesia
dan NKRI” STAIN salatiga
|
30 November 2011
|
Peserta
|
4
|
8
|
Comparation Of English And
Arabic” STAIN salatiga
|
13 April 2012
|
Peserta
|
2
|
9
|
SEMINAR NASIONAL“ mewaspadai
gerakan islam garis keras di perguruan tinggi” STAIN salatiga
|
23 Juni 2012
|
Peserta
|
8
|
10
|
Tabligh akbar “tafsir tematik
dalam upaya menjawab persoalan israel dan palestina, landasan QS. Al-Fath:
26-27.” STAIN salatiga
|
1 Desember 2012
|
Peseerta
|
2
|
11
|
Piagam pengharga “ Ujian Kenaikan
Tingkat Wushu Putra Nusantara SALATIGA”
|
21 Desember 2012
|
Panitia
|
3
|
12
|
Seminar NASIONAL “ kepemimpinan
dan masa depan bangsa” di ruang sidang 2 pemerintah kota salatiga.
|
23 Februari 2013
|
Peserta
|
8
|
13
|
Seminar NASIONAL dan dialog
publik “minimnya pasokan energi dalam negeri; pembatasan subsidi BBM dan
peran masyarakat dalam penghematan energi”
|
20 April 2013
|
Peserta
|
8
|
14
|
Seminar dakwah MILAD XI LDK
XSTAIN salatiga
|
11 Juni 2013
|
Peserta
|
2
|
15
|
Seminar NASIONAL & dialog
publik “penyesuaian harga BBM dan subsidi”
|
27 Juni 2013
|
Peserta
|
8
|
16
|
Dalam acara KISMIS(kajian
intensif mahasiswa) “ agar shalat bukan sekedar kewajiban, namun kebutuhan”
STAIN salatiga
|
10 Oktober 2013
|
Peserta
|
2
|
17
|
Seminar NASIONAL “guru kreatif
dalam implementasi kurikulum 2013”
|
18 November 2013
|
Peserta
|
8
|
18
|
Dialog interatif dan edukatif
“DIASPORA POLITIK INDONESIA di TAHUN 2014, memilih salatiga untuk hati
beriman” STAIN salatiga
|
1 April 2014
|
Peserta
|
2
|
19
|
Talk show “how to be a succesfull
creative preneur to face ASEAN economic community 2015” STAIN salatiga
|
7 April 2014
|
Peserta
|
2
|
20
|
Seminar NASIOANAL perlindungan
hukum terhadap usaha mikro menghadapi pasar bebas asean STAIN salatiga
|
15 Juni 2014
|
Peserta
|
8
|
21
|
INTERNATIONAL discussion of GenRe
(generasi berencana) STAIN salatiga
|
October 21 2014
|
Participant
|
8
|
22
|
“mempertegas peran pendidikan
dalam mencerahkan masa depan anak bangsa” STAIN salatiga
|
19 November 2014
|
Peserta
|
2
|
23
|
Lomba festival anak sholeh
indonesia (FASI) Bondowoso Magelang
|
4 April 2015
|
Panitia
|
3
|
24
|
Seminar NASIONAL “menjaga
keanekaragaman suku bangsa dalam bingkai NKRI” STAIN salatiga
|
01 Mei 2015
|
Peserta
|
8
|
25
|
Seinar NASIONAL “mencegah
generasi pemuda islam dari pengaruuh radikalisme ISIS” STAIN salatiga
|
06 Mei 2015
|
Peserta
|
8
|
26
|
Sosialisasi program pendewasaan
usia perkawinan (PUP) STAIN salatiga
|
12 Juni 2015
|
Peserta
|
2
|
JUMLAH
|
111
|
Salatiga, 29 September 2015
Mengetahui,
Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama
Achmad Maimun. M.Ag.
NIP. 19700510199803 1 1003