Seperti biasanya Jogja selalu
memperlihatkan pesonanya, tak terkecuali hari itu awan begitu cerah seraya
memperlihatkan senyuman matahari di atas kepala. Saat itu Nana yang masih duduk
di bangku SD pun telah pulang kerumah. Dia tinggal dengan neneknya di Jogja,
sedangkan orang tuanya mengadu nasib di perantauan ibukota. Nana terbiasa
menjadi anak yang bergitu rajin dan santun, tidak pernah ia sekalipun
mengecewakan neneknya. Setiap ia pulang sekolah tak lupa ia melaksanakan
kewajibannya untuk mencari kayu bakar setelah itu menimba air untuk neneknya.
Setelah segala kewajiban ia selesaikan dengan hati tulus baru waktunya ia untuk
bermain bersama teman-teman sebayanya.
“
Nana, ayo main!” panggil seorang laki-laki dari luar rumahnya.
“
iya, sebentar” jawab Nana seraya berlari menghampiri temannya itu.
Nino
adalah temannya bermain di desa entah itu bermain atau tidak mereka selalu
menghabiskan waktu bersama. Setelah selesai bermain biasanya mereka pulang
untuk mandi sehabis itu mereka bersepeda bersama dengan teman- teman yang lain
pula. Mereka sering keliling kampung dengan sepeda mereka masing-masing. Tapi
tidak seperti biasanya, tiba-tiba saat Nana mengayuh sepedanya terasa semakin lama
semakin pelan dan berat. Sedangkan teman yang lainnya telah mendahuluinya,
namun masih ada Nino yang berada di belakangnya. Segeralah Nino turun dari
sepedanya.
“
Kenapa Na sepedanya ? ” Tanya Nino sambil menarik standar sepedanya
“Engga
tau ini No, mungkin bocor bannya” jawab Nina sambil jongkok dan memeriksa
keadaan ban sepeda bututnya itu.
“Oh
iya ini bocor Na, yaudah kita bawa kebengkel depan aja di ambil besok siang ini
udah mau magrib, kamu nanti aku bonceng sampe rumah besok kita ambil bareng
sepedanya” saran Nino kepada sahabatnya itu
Nina
pun menyetujuinya dan merekapun berjalan bersama ke bengkel depan. Sesampainya
dibengkel yang tidak begitu jauh, Nino langsung memberikan sepeda Nina kepada
tukang bengkel untuk di perbaiki dan di ambil esok siang. Setelah itu Nino
dengan senang hati mengantar sahabat kecilnya pulang samapi rumahnya. Dengan
sepedanya ia bonceng sahabat kecilnya dan ia kayuh dengan semangat sepedanya
itu.
Selang
waktu berjalan, akhirnya Nina lulus dari SD sedangkan Nino naik ke kelas 2 SMP.
Seperti biasanya Nina tidak pernah mengecewakan neneknya, apa yang di inginkan
neneknya selalu ia usahakan untuk mewujudkanya. Nina mendapat nilai baik di
sekolahnya dan ia berkeinginan bisa masuk satu sekolah dengan sahabatnya Nino
di sekolah yang memang ia cita-citakan. Tapi takdir berkata lain, orang tua
Nina yang sudah kembali dari ibu kota memilih menetap di Semarang dan meminta
Nina untuk sekolah di sana. Dengan berat hati Nina menyetujuinya berpisah
dengan sahabat-sahabatnya terutama Nino dan sang nenek yang begitu ia cintai.
Hari telah tiba dimana ia akan meninggalkan kota desa kecil penuh cerita. Tanpa
ada kata perpisahan dengan Nino ia meninggalkan desa tersebut.
“Ayo
Na cepat masuk mobil ini sudah terlalu sore nanti sampai sana kemaleman”
perintah sang ibu kepada anak perempuannya itu.
Dengan
berat hati Nina mulai menuju mobil yang akan membawanya ke tempat dan kisah
yang baru. Dalam hati Nina ia berharap sahabatnya Nino datang menemuinya untuk
sekedar bertegur sapa sebelum ia pergi. Namun apa yang Nina inginkan mungkin
tidak akan ia dapatkan karna mobil yang ia kendarai mulai meninggalkan rumah
tua sang nenek. Tapi, tanpa Nana sadari saat mobil mereka mulai melaju melewati
rumah Nino, di situlah Nino menyaksikan sahabat kecilnya pergi dengan linagan
air mata yang ia tahan.
“Suatu
saat nanti kita akan bertemu lagi Nina, aku janji pada diriku aku tak akan
pernah melupakan sahabat terbaikku,sampai kapanpun aku akan terus mengingatmu,
pergilah Na kejar harapan dan cita-citamu di sana, di sini pun aku akan terus
menunggu saat kita akan bertemu kembali” ucap lirih Nino seraya menyaksikan
sahabatnya pergi melalui kaca jendela kamarnya.
Tahun
deni tahun Nina lalui hambar hidupnya di Semarang, tidak tau hal apa yang harus
ia lakukan agar hidupnya lebih berwarna. Dalam hati kecilnya yang ia tau warna
dalam hidupnya adalah saat ia dapat tertawa bebas bersama sahabat kecilnya.
Iya, Nina mulai merasakan hatinya kosong,ia rindu akan canda tawa sahabatnya,
Nino memang adalah warna terindah yang ada untuk segala cerita hidup Nana.
Akhirnya Nana dengan semangat mencari tau tentang sahabat kecilnya itu. Ia
mulai menelusuri jejaring social dan menghubungi kaka sepupunya di Jogja. Dan
akhirnya selama beberapa hari mencari Nina mendapatkan info tentang sahabat
kecilnya itu.
Sekarang
Nino telah tumbuh menjadi laki-laki yang begitu tampan tanpa menghilangkan
sopan santunnya. Saat ini Nino telah duduk di bangku SMA kelas 3. Sedangkan
Nina saat ini telah duduk di kelas 2 SMA. Akhirnya mereka pun bertegur sapa dan
bencanda seperti tahun-tahun dahulu yang pernah mereka lalui. Berbulan-bulan
mereka berkomunikasi akhirnya di suatu malah Nina mendapatkan pesan dari
handphonenya.
“Na
Senin depan aku mau pergi ke Austria,aku dapet beasiswa kuliah di salah satu
perguruan di sana “
Dengan hati senang yang bercampur
sedih Nina menjawab pesan dari sahabatnya itu. “Wah, selamat ya aku ikut
bahagia sahabatku ini bisa sampe ke luar negeri, makin jauh ya kita”
Entah
suasana apa yang sedang ia alami saat ini. Nina sedih itu yang pasti, karna
sebenarnya Nina begitu mencintai sahabatnya, namun bukan arti cinta seperti
sebagai sehabat. Apa yang Nana saat ini rasakan berbeda dari rasa pada masa
kecilnya. Nina merasa ia benar-benar mencintai Nino lebih dari seorang sahabat.
Perasaan itu muncul saat Nina menyadari hidupnya hambar bila tidak di warnai
dengan canda tawa Nino. Tapi apa kini telah terjadi, mungkin takdir belum
menyatukannya atau mungkin tidak di takdirkan bersama.
Waktu
itu telah tiba dimana Nino harus pergi meninggalkan Nina. Sebelum Nino pergi
dia meninggalkan pesan untuk Nina.
“Nina jaga diri kamu baik-baik,
tetaplah tersenyum dengan apapun keadaanmu,semangatlah dengan apapun cita-citamu,jarak
ini tidak akan pernah mampu menghapuskan segala cerita hidup yang berkesan yang
aku laluinya dengan canda tawa bersama denganmu, aku akan kembali, kembali
untuk tertawa bersama denganmu kembali seperti dahulu, selamat jalan Nina
sahabat kecilku”
Dengan
begitu sedihnya Nina membaca pesan itu,tak kuat pula Nina menahan air mata yang
membanjiri pipinya. Sungguh begitu tak berwarna hidupnya saat ini, baru saja
warna itu sedikit demi sedikit datang saat ini harus pergi kemali, pergi begitu
amat jauh dari gapaiannya.
Nina
jalani hari-harinya dengan semangat, karna dia selalu mengingat apa pesan dari
sahabatnya itu. Nina selalu serius dengan pendidikannya sampai akhirnya dia di
terima di Universitas Gajah Mada di Jogja, kampus yang selalu ia impikan. Nana
selalu merasa semua ia lakukan berkat Nino sahabatnya yang selalu
menyemangatinya dalam berbagai hal yang positif. Akhirnya 4 tahun Nana kuliah
ia mendapatkan gelar sarjana psikolog dengan nilai yang begitu amat baik.
Saat
ini Nana bekerja menjadi psikolog anak di sebuah rumah sakit ternama di Jogja.
Suatu hari, Nana melewati lorong rumah sakit untuk mengantar berkas-berkas ke
ruang direktur rumah sakit, dan sempainya di depan pintu ia ketuk pintu
tersebut.
(tok-tok)”permisi
pak” sopan Nana berbicara dengan direktur rumah sakit yang masih muda tersebut.
“Iya
masuk” jawab direktur namun ia masih menjawab telepon dari temannya,lalu ia
matikan handphonenya dan mulai menaruhnya di meja. Direktur rumah sakit itu
lalu duduk dan mengambil berkas-berkas yang di bawa Nana.
Setelah
menadatangani berkas-berkas tersebut direktur rumah sakit itu mengembalikannya
ke Nana dan tepat pada saat mengembalikan tersebut mereka saling menatap mata
begitu lama.
“Kamu?”
Nino begitu kaget dengan seseorang yang berada di hadapannya sekarang.
“Nino….”
Jawab Nana seraya meneteskan airmatanya.
Nana
dan Nino lalu bangun dari tempat duduknya dan mereka pun berpelukan. Mereka
sangat terharu dengan kejadian itu. Bertahun-tahun mereka berpisah,
bertahun-tahun rindu yang hanya bisa mereka pendam dan pada akhirnya mereka di
petemukan kembali dengan cara Tuhn yang begitu amat menakjubkan. Dalam keadaan
masih berpelukan Nino berbicara.
“
Tuhan adil kan Na, akhirnya kita di pertemukan kembali, rindu ini akhirnya
terobati, kamu sekarang udah besar ya, kamu sekarang tambah semakin cantik dan
kamu tidak berubah kamu masih aja cengeng” sambil melepaskan pelukannya dan
mengusap air mata yang ada di pipi Nana.
Sejak
pertemuan itu mereka selalu habiskan hari-hari mereka bersama. Hampir setiap
pulang kerja mereka selalu menyempatkan waktu untuk bertemu. Selang beberapa
bulan Nino berbicara serius empat mata bersama Nana di sebuah café ternama dan
romantis di Jogja. Tentunya dengan di temani alunan angin dan suasana romastis
khas Jogja.
“Na,
aku mau jujur sejak kecil dulu aku suka dengan apapun tentang kamu, entah
senyum dan kepribadianmu, semangatmu, lelucon dan apapun tentangmu, awalnya
aku kira itu hanya rasa sebagai seorang
sahabat tapi ternyata bertahun-tahun aku tidak bisa untuk mencintai seseorang.
Karna yang aku tau dalam hati ini hanya ada kamu,kamu,kamu dan kamu.”
“Lalu
apa maksud dari itu semua?” Tanya Nana
“Dan
aku putuskan rasa yang ada untuk kamu adalah rasa yang lebih dari sekedar
persahabatan, bertahun-tahun aku tidak sanggup mengungkapkannya,namun malam ini
aku ingin memperjelas perasaan ini, Na maukah kamu menjadi makmum dalam solatku
selamanya ?”
Kaget
betul hati Nana, mimpi apa ia semalam semua sama seperti apa yang ia rasakan
bertahun-tahun. Menyimpan segala perasaanya sendirian dan tak seorangpun tau
dan pada akhirnya semua menjadi nyata. Dengan perasaan yang begitu bahagia dan
linangan air mata bahagia ia terima pinangan sahabat kecilnya itu. Selang
beberapa bulan dari pinangan itu, mereka menikah dengan sederhana di rumah
nenek Nana, dimana di desa itu cinta dan
kasih sayang mereka tumbuh dan perpisahan menyakitkan itu terjadi. Namun di
tempat itu pula mereka mengikat janji abadi.