STUDI ISLAM INTERDISIPLINER
PADA ERA DISRUPSI DAN
MILLENIAL
Oleh: Putri Parameswari
Program Pascasarjana
IAIN Salatiga
Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyah
Abstrak
Tantangan
yang dihadapi umat Islam pada periode modern benar-benar memiliki implikasi
serius terhadap masa depan agamanya. Perubahan-perubahan sosial yang
berlangsung secara drastik, sebagai akibat infiltrasi kebudayaan barat yang
dibarengi kolonialisasi barat atas hampir seluruh dunia Islam, telah
memunculkan problematika bagi umat Islam untuk mengkaji agamanya secara memadai
dan akurat. Penyelesaian-penyelesaian yang bersifat dialektis terhadap
problematika itu merupakan tuntutan yang dihadapkan pada Islam sebagai agama.
Hal ini
pula yang mempengaruhi tumbuhnya minat terhadap kajian Studi Islam (Islamic
Studies) mengalami peningkatan cukup pesat pada beberapa tahun terakhir,
meskipun tidak selalu memiliki alasan-alasan yang tepat. Studi Islam sudah mengalami
perkembangan cukup mengesankan, meskipun masih ada minat yang dikendalikan oleh
kepentingan diri, studi Islam sudah jauh lebih konkret dan berinteraksi dengan
metode-metode yang kompleks dan lebih mencakup.
Studi Islam di era Modern berusaha
ingin mengkaji Islam dengan menggunakan sudut pandang Ilmu lain atau
Interdisipliner, sehingga dapat menggunakan metodologi dan hasil yang bisa
dijelaskan secara Ilmiah dengan memperhatikan perkembangan dunia
mutakhir ini. Ada beberapa agenda yang perlu diselesaikan kaum Muslimin pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya, supaya Islam mampu bersaing dengan dunia
modern dan tampil sebagai alternatif bagi dekadensi peradaban Barat. Studi
Islam hendaknya dilakukan dengan jangkauan yang luas, yaitu munculnya peradaban
Islam sebagai usaha untuk mempercepat kebangkitan umat Islam.
Kata
Kunci: Studi Islam, Interdisipliner,
Disrupsi, Millennial
PENDAHULUAN
Belakangan ini kita sudah sangat akrab
dengan istilah millenial. Generasi ini adalah generasi yang lahir antara tahun
1980-2000. Generasi ini sangat terkoneksi dengan internet dan media sosial.
Kurang suka dengan informasi yang bersifat satu arah dan percaya dengan iklan.
Mereka lebih percaya pada pengalaman atau review teman-temannya. Namun sangat mengedepankan
happiness dalam bekerja, gemar traveling lintas negara dan gadget mindset.
Tantangan yang dihadapi umat Islam pada
periode modern benar-benar memiliki implikasi serius terhadap masa depan
agamanya. Perubahan-perubahan sosial yang berlangsung secara drastik, sebagai
akibat infiltrasi kebudayaan barat yang dibarengi kolonialisasi barat atas
hampir seluruh dunia Islam, telah memunculkan problematika bagi umat Islam
untuk mengkaji agamanya secara memadai dan akurat. Penyelesaian-penyelesaian
yang bersifat dialektis terhadap problematika itu merupakan tuntutan yang
dihadapkan pada Islam sebagai agama.[1]
Secara sekilas hubungan antara Agama
dengan realitas kehidupan belum bisa dikatakan memberikan titik terang,
artinya masalah itu sudah menjadi cukup meluas dan belum bisa dikaji secara
mendalam untuk mengungkap permasalahan tersebut karena baru dikaji dari
satu sudut pandang, sehingga perlu adanya pengkajian mutakhir melalui
pendekatan yang mendalam dengan menggunakan sudut pandang ilmu lain agar
peranan pengkajian perkembangan Islam ini benar-benar memberikan hasil
secara menyeluruh. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama empat
belas abad lebih, menyimpan banyak
masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran
keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Hal
ini pula yang mempengaruhi tumbuhnya minat terhadap kajian Studi Islam (Islamic
Studies) mengalami peningkatan cukup pesat pada beberapa tahun terakhir,
meskipun tidak selalu memiliki alasan-alasan yang tepat. Studi Islam sudah
mengalami perkembangan cukup mengesankan, meskipun masih ada minat yang
dikendalikan oleh kepentingan diri, studi Islam sudah jauh lebih konkret dan
berinteraksi dengan metode-metode yang kompleks dan lebih mencakup.
Studi Islam di era Modern berusaha
ingin mengkaji Islam dengan menggunakan sudut pandang Ilmu lain atau
Interdisipliner, sehingga dapat menggunakan metodologi dan hasil yang bisa
dijelaskan secara Ilmiah dengan memperhatikan
perkembangan dunia mutakhir ini. Ada beberapa agenda yang perlu diselesaikan
kaum Muslimin pada umumnya dan Indonesia pada khususnya, supaya Islam mampu
bersaing dengan dunia modern dan tampil sebagai alternatif bagi dekadensi
peradaban Barat. Studi Islam hendaknya dilakukan dengan jangkauan yang luas,
yaitu munculnya peradaban Islam sebagai usaha untuk mempercepat kebangkitan
umat Islam.[2]
METODE PENELITIAN
Metode
penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kepustakaan. Dengan mengkaji buku yang berhubungan dengan studi islam
interdisipliner dan urgensinya di era disrupsi dan millenial. Penentuan metode
ini didasarkan pada tujuan penelitian yaitu mengetahui apa itu studi Islam
Interdisipliner dan bagaimana urgenitas Studi Islam Interdisipliner di era
disrupsi dan millenial. Peneliti mengkaji buku-buku yang berhubungan dengan
studi Islam Interdisipliner.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Studi Islam
Perkembangan
dan kemajuan peradaban umat manusia memperkenalkan pendekatan baru yang lebih
ilmiah, yaitu studi Islam (Islamic Studies)
suatu kegiatan penelitian agama dengan perantaraan pengamatan dan analisis
terhadap kehidupan pemikiran dan pengalaman agama. Pendekatan baru ini menuntut
kualitas ulama yang mampu mengembangkan cara berpikir yang akademis sehingga
menghasilkan wawasan Islam yang makro, yang meliputi aspek ajaran yang
doktriner dan yang sosial historis. Jalannya harus mengubah cara berpikir, dari
pendekatan membaca kitab (pendekatan
doktriner)
menjadi studi dan mengadakan penelitian atas dasar kritik sejarah, yakni
pendekatan sintesis yang oleh Prof. A. Mukti Ali dinamakan pendekatan
ilmiah-cum-doktriner.[3]
Studi
Islam (Islamic Studies) mengalami peningkatan cukup pesat pada beberapa
tahun terakhir. Studi Islam berkaitan dengan data-data yang jauh lebih konkret
dan berinteraksi dengan metode-metode yang kompleks dan lebih mencakup.[4]Studi Islam atau di Barat dikenal
dengan istilah Islamic Studies, adalah usaha sadar dan sistematis untuk
mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau
hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran,
sejarah maupunpraktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari
sepanjang sejarah.[5]
Pengertian studi Islam dilihat
secara normatif sebagaimana yang terdapat di dalam alquran dan hadist, maka Islam
lebih merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu
pengetahuan, yaitu paradigma analisis, kritis, metodologis, historis, dan
empiris. Sedangkan jika dilihat segi historisnya yakni Islam dalam arti yang
dipraktikkan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan
manusia.[6]
Suleiman
& Shihadeh dalam Zakiyuddin mengemukakan dua pendekatan mendasar mengenai
definisi Islamic studies,[7]
yaitu definisi sempit dan definisi yang lebih luas. Pendekatan pertama melihat Islamic studies sebagai suatu disiplin
dengan metodologi, materi dan teks-teks kuncinya sendiri bidang studi ini dapat
di definisikan sebagai studi tentang tradisi teks-teks keagamaan klasik dan
ilmu-ilmu keagamaan klasik memperluas ruang lingkupnya berarti akan mengurangi
kualitas kajiannya.
Menurut
definisi ini, Islamic studies mengimplikasikan: Pertama, studi tentang
disiplin dan tradisi intelektual-keagamaan klasik menjadi inti dari Islamic studies. Kedua, Islamic studies adalah suatu bidang yang
sempit. Upaya-upaya untuk memperluas bidang kajiannya dapat mengakibatkan
berkurangnya kualitas kajian. Ketiga, pendidikan berbasis keimanan bagi
Muslim mengenai Islam, dan studi lintas disiplin tentang Islam yang bersandar
kepada ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial. Namun, Islamic studies bagaimanapun berbeda dari keduanya dan jangan
dipertipis garis batasnya.
Pendekatan
kedua mendefinisikan Islamic studies
berdasarkan pada pernyataan bahwa Islam perlu dikaji dalam konteks evolusi Islam
modern yang penuh teka-teki. Juga adanya kebutuhan untuk memahami apa yang
dimaksudkan oleh teks-teks tentang cara orang-orang mengalami dan menjalankan
kehidupan mereka. Membatasi bidang kajian pada studi teks saja akan berisiko
memberikan kesan yang salah tentang seperangkat praktik keagamaan Islam,
sehingga menutupi realitas yang lebih kompleks. Islam mesti diajarkan baik
sebagai tradisi teks maupun sebagai realitas sosial. Islamic studies harus
memiliki inti wilayah-wilayah dan teks-teks yang definitif; pada hakikatnya
ini mesti terdiri dari ilmu-ilmu keIslam an klasik. Meskipun demikian,
disekitar inti ini ada wilayah-wilayah lain yang dapat dimasukkan, seperti
antropologi dan ilmu-ilmu sosial. Dalam definisi ini, bidang Islamic studies
perlu juga memasukkan pendekatan sosiologis dan studi tentang dunia modern.
Islam
harus diajarkan baik sebagai tradisi tekstual dengan seluruh kesatuan
sejarahnya, dan sebagai realitas sosial yang dinamis dan terus berubah.
Keduanya saling berhubungan, yakni tradisi teks menunjukkan bahwa Islam,
disamping merupakan seperangkat ajaran keagamaan, adalah cara mendekati tantangan-tantangan
ekonomi dan sosial praktis dalam kehidupan ini.
B. Metodologi Studi Islam
Masalah utama yang menopang definisi Islamic studies tampaknya muncul
dari metodologi bagaimana Islam dikaji dan kemudian bagaimana diajarkan. Di
negara-negara Barat umumnya, kajian tentang Islam mengikuti metodologi Barat,
ini bertentangan dengan kajian Islam di dalam suatu lingkungan yang tidak
mengkontestasi agama tersebut.[8]
Sifat studi Islam ini adalah memadukan antara studi Islam yang bersifat
konvensional dengan studi Islam yang bersifat ilmiah. Berikut beberapa
pendekatan dalam metodoogi ilmiah modern studi Islam:[9]
1. Pendekatan
Ilmu Sejarah
Pendekatan ilmu sejarah atau historis adalah suatu upaya untuk
menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan lembaga-lembaga keagamaan
melalui periode-periode waktu tertentu dalam perkembangan historis dan untuk
menilai peran faktor-faktor yang berinteraksi dengan agama dalam periode
tersebut. Kajian historis tentang Islam memiliki tiga kecenderungan, yaitu
melalui kecenderungan kronologis, pendekatan kawasan, dan pendekatan
fenomenologis.
2. Pendekatan
Sosiologis
Pendekatan sosiologis untuk mengkaji agama-agama telah memberikan jasa
besar. Bila para sejarawan cenderung untuk memfokuskan perhatian mereka pada
lingkungan sebagai yang utama atau bahkan faktor utama yang penting dalam
perkembangan historis, maka jasa para peneliti sosiologis telah membuka bidang
yang cukup luas mengenai pengelompokan sosial, kesepakatan sosial, dan
asosisasi di mana motivasi keagamaan memainkan peran penting. Pendekatan
sosiologis untuk mengkaji kelompok keagamaan diorganisir secara sistematis dan
tipologis sehingga melengkapi penelitian sejarah dan psikologi.
3. Pendekatan
Antropologi dan Etnografi
Antropologi adalah suatu cabang keilmuan yang peduli dengan upaya
mendokumentasikan organisasi hubungan-hubungan sosial dan pola-pola praktik kebudayaan
di tempat-tempat tertentu, dan mengembangkan lebih kurang teori-teori berkenaan
dengan keserupaan-keserupaan dan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan manusia.
Dalam konteks studi Islam dan masyarakat muslim, karya-karya etnografi
yang merupakan tipikal dari karya para antropologis bertujuan untuk menunjukkan
bagaimana Islam telah dipribumikan, bagaimana tradisi-tradisi dominan dan lebih
menonjol dipraktikkan, diinstitusionalisasikan, ditransmisikan, tumbuh bersama
dan dikontestasikan dalam berbagai kawasan sekaligus, baik di lokasi-lokasi
pedesaan maupun perkotaan.
4. Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan fenomenlogi bersandar utamanya pada pandangan-pandangan
orang beriman. Jadi, ia menghindari subjektivisme dari pendekatan normatif dan
reduksionisme dari pendekatan yang murni deskriptif. Fenomenologi agama adalah
sutau metode kajian agama yang ditandai dengan upaya mencari struktur yang
menggarisbawahi data keagamaan yang dapat diperbandingkan sehingga tidak
menyalahi pemahaman orang-orang beriman itu sendiri. Paralelitas antara
berbagai tradisi keagamaan tidak muncul dari luar dinamika interaksi historis,
namun muncul dari keserupaan-keserupaan proses struktural.
5. Pendekatan Arkeologi
Dalam waktu yang cukup lama, studi Islam lebih
terfokus pada kajian Islam di timur tengah. Padahal banyak kawasan di luar
timur tengah menjadi tempat berkembangnya kebudayaan dan peradaban muslim,
seperti Afrika, Asia Selatan, dan Asia tenggara di mana Islam tumbuh. Studi Islam
yang berkaitan dengan perkembangan Islam di berbagai kawasan juga berkembang.
Kajian arkeolog ini akan memberikan jawaban atas apa yang belum disentuh secara
memadai oleh kalangan sejarawan dan antropolog.
C. Objek kajian Islam
Baharuddin membedakan objek kajian
studi Islam kepada dua objek studi. Objek pertama disebutnya dengan studi
tentang Islam dan yang
kedua disebutnya dengan studi di dalam Islam. Studi tentang Islam adalah kajian
ilmiah yang menjadikan Islam sebagai objek studi. Sedangkan studi di dalam Islam
adalah kajian yang menjadikan Islam sebagai sumber inspirasi untuk membangun
konsep-konsep dan teori-teori keilmuan dalam Islam.[10]
a. Pengalaman Keagamaan dan Ekspresinya
Setiap kajian ilmiah menghendaki
objek sebagai prasyarat utama. Kejelasan objek memudahkan para pengkaji membuat
batasan akan ruang lingkup suatu studi. Studi Islam sebagai kajian ilmiah pada
intinya adalah upaya mencari pemahaman mengenai hakikat agama, bukan sekadar
fungsi agama. Hakikat agama itu terletak pada pengalaman keagamaan.
b. Dimensi-dimensi Agama
Islam adalah salah satu dari
agama-agama yang hidup di dunia. Karena itu, untuk dapat mengkaji Islam sebagai
bagian dari agama, para pengkaji perlu memahami dan memikirkan tentang agama.
Ada beberapa esensi yang dapat dijumpai dalam keselu-ruhan agama-agama.
Meskipun berbeda tradisi dan kebudayaan, sangat mungkin untuk menemukan
beberapa dimensi-dimensi agama. Dari sini mereka dapat melihat dimensi-dimensi Islam
yang dapat dijadikan objek studi ilmiah.
c. Cara Beragama
Agama pada hakikatnya adalah jalan
menuju Tuhan. Cara-cara yang ditempuh setiap pemeluk agama dalam pengembaraannya
menuju Tuhan bisa berbeda-beda satu dengan yang lain, sesuai dengan pemahaman,
penghayatan, dan pengamalannya masing-masing. Setiap orang membutuhkan cara
beragama (being religious) atau
bentuk penghayatan yang selaras dengan kepribadiannya dan situasi dalam
kehidupan.
D. Perkembangan
Studi Islam
Studi
Islam mulai muncul pada abad ke-9 di Irak, ketika ilmu-ilmu agama Islam mulai
memperoleh bentuknya dan berkembang di dalam sekolah-sekolah hingga
terbentuknya tradisi literer di kawasan Arab masa pertengahan. Studi Islam bukan
hanya berjalan di dalam peradaban Islam itu sendiri bahkan juga menjadi fokus
diskusi di negara-negara Barat.
Richard
C. Martin dengan gamblang menjelaskan fase-fase perkembangan Studi Islam,
antara lain sebagai berikut:[12]
Fase
pertama (800-1100), masa dimana banyak
bermunculan polemik teologis antara Muslim, Kristen dan Yahudi. Polemik
teologis sering terjadi dalam ruang publik atau dalam audiensi Khalifah atau
pejabat resmi negara, yang dilakukan oleh para mutakallimun. Kaum Yahudi dan
Kristen sebagai kelompok atau ahlu zimmi berpartisipasi dalam
ritual-ritual sosial diskursus dan perdebatan publik dengan kaum muslim. Ini
semua membutuhkan banyak pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, dengan tujuan
hanya untuk menolak ajaran tersebut.
Fase
Perang Salib dan Kesarjanaan Cluny (1100-1500).
Studi Islam untuk tujuan-tujuan misionaris mulai abad ke-12 pada masa Peter
Agung (1094-1156), seorang Biarawan Cluny di Prancis. Para pasukan salib dan
rahib-rahib yang menerjemahkan Al-qur’an dan teks-teks Islam berperan sebagai
pihak-pihak yang menyerang peradaban Islam, yang membentuk batas-batas di
sebelah selatan dan timur dari kerajaan kristen Barat. Pada masa ini, Peter
Agung membentuk komisi penerjemah dan penafsiran teks-teks Islam berbahasa Arab.
Banyak karya mereka yang memahami Muhammad sebagai dewa bagi kaum Muslim,
penyuka perempuan, penipu, orang kristen yang murtad, ahli ilmu sihir, dan
seterusnya.
Korpus
Cluny dikenal sebagai permulaan kanon kesarjanaan Barat tentang Islam. Peter
juga memerintahkan para penerjemah untuk menerjemahkan Al-qur’an, hadis, dan
sirah muhammad, serta teks-teks Arab lainnya. Serangan-serangan mereka
ditujukan pada kenabian Muhammad, Al-qur’an dan jihad sebagai topik utama
kesarjanaan kristen pada masa pertengahan.
Akhir
abad 12 koleksi karya Ibnu Sina muncul dan beredar di Eropa. Sejalan dengan hal
tersebut para sarjana Eropa mulai melihat dunia Muslim saat itu sebagai
peradaban kaum terpelajar dan filosof, sangat berlawanan dengan pandangan
negatif tentang Muhammad dan praktik-praktik keagamaan Islam.
Fase
Reformasi (1500-1650), sejalan dengan Eropa
memasuki periode perubahan keagamaan, politik dan intelektual pada abad ke-16,
pengetahuan dan studi Islam juga terpengaruh, pada masa ini kaum reformis
memandang Sarasen Turki bersama-sama gereja Roma sebagai anti kristus.
Bibliande menganggap Muhammad sebagai kepala dan Islam sebagai tubuh anti
kristus. Kaum protestan membandingkan Roma dan Islam , melihat Islam sebagai
Bidah, bukan sebagai agama lain yang mempunyai haknya sendiri. Jadi, patut
dicatat bahwa kaum reformis telah menghasilkan kesarjanaan tentang Islam yang
tidak berbeda dengan sebelumnya. Pada abad ke-16, edisi-edisi Al-qur’an dan
teks-teks Islam lainnya yang diterbitkan di Eropa cenderung mengikuti korpus
Cluny pada empat abad sebelumnya.
Fase
Penemuan dan Pencerahan (1650-1900).
Kesarjanaan Eropa yang baru dan orisinal tentang Islam berkembang pada akhir
abad ke-16 dan 17 karena beberapa alasan. Pertama, realitas politik baru
agresi ottoman. Faktor lain yang mendorong bangkitnya kesadaran Eropa tentang Islam
adalah tumbuhnya pelayaran dan ekspansi perdagangan melampaui Mediterania.
Ekspansi pasar dan militer merupakan awal dari kolonialisme dan imperialisme.
Eropa membuat pakta-pakta dengan negara Muslim, disisi lain, alasan Eropa
mempelajari Islam tidak lain adalah untuk membatasi perdebatan teologis seputar
Al-qur’an, nabi, dan penaklukan Muslim awal.
Pembahasan tentang manusia sebagai
makhluk beragama secara naluriah telah memberikan pengaruh atas studi-studi
agama dan atas studi Islam . Hampir seluruh masa pertengahan abad ke-19 dan
awal abad ke-20 menyaksikan upaya-upaya untuk membangun sains tentang studi
agama. Karakteristik studi Agama ini tergantung pada filologi sebagai metode
utama dalam memahami peradaban lain, peradan kuno utamanya. Islam dapat dan
harus dikaji sebagai agama menurut karakternya sendiri menjadi mungkin
dilakukan oleh sains filologi.
Derasnya arus informasi dan
komunikasi serta modernisasi dan westernisasi tentunya tidak ada yang dapat
membendung karena hal itu pasti terjadi. Maka disini letak urgensitasnya,
mempelajari agama Islam lebih jauh sebagai benteng dan filterisasi dalam
penerimaan informasi yang bersumber dari dunia Barat tersebut. Tentunya dalam
rangka Tabayyun atau kroscek, meluruskan dan Islamisasi.
E. PendekatanInterdisipliner
Pendekatan
interdisipliner adalah cara atau model pembelajaran dan penelitian yang mampu
menyatupadukan informasi, data, teknik, alat-alat, perspektif, konsep, dan
teori dari dua atau lebih disiplin ilmu untuk memajukan pemahaman fundamental
dan memecahkan permasalahan tertentu yang pemecahannya berada di luar wilayah
jangkauan satu disiplin tertentu (monodisiplin) atau wilayah praktik penelitian
tertentu (US National Academy of Sciences 2004).[13]
Dalam
kehidupan dunia yang ditandai dengan arus perubahan yang sangat cepat, bahkan
disruptif, dalam segala bidang, dibarengi ketidakpastian yang tidak terelakkan
serta semakin terinterkoneksikannya jaringan keilmuan, kehidupan sosial,
budaya, ekonomi, dan agama antarbangsa dunia di muka bumi, manusia Indonesia
dituntut untuk mampu berpikir tingkat tinggi (higher order of thinking),
mampu menjadi pribadi adaptif, dalam upaya memecahkan masalah-masalah baru yang
saling berkait-kelindan, seperti perubahan iklim, kelangkaan energi, kerusakan
lingkungan, pertumbuhan penduduk, ketahanan pangan, radikalisme agama, dan
terorisme.
Pendekatan
interdisliner yang dimaksud disini adalah kajian dengan menggunakan sejumlah
pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi Islam misalnya
menggunakan pendekatan sosiologis, historis dan normatif secara bersamaan.
Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak
cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan
pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah
dengan pendekatan hermeneutik
misalnya.[14]
Ada dua mazhab dalam mendefinisikan
Pendekatan Interdisipliner. Pertama, pendekatan dengan menggunakan tinjauan
berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan atau tepat guna secara
terpadu dalam pemecahan suatu masalah. Maka kata kuncinya adalah ilmu serumpun.
Ilmu serumpun juga banyak versinya. Misalnya rumpun Ilmu Agama, rumpun Ilmu
Sosial-Humaniora, rumpun Ilmu Pasti. Rumpun ini dapat juga lebih rinci menjadi
rumpun Ilmu Hukum, rumpun Ilmu Sosial, rumpun Ilmu Jiwa dan semacanya. Dengan
batasan ilmu serumpun dengan demikian sangat relative batasannya, dan mestinya
sah saja.
Kedua, interdisipliner berarti kerja
sama antar satu ilmu dengan ilmu yang lain sehingga merupakan satu kesatuan
dengan metode tersendiri. Boleh juga dikatakan integrasi antara satu ilmu
dengan ilmu yang lain, sehingga membentuk satu ilmu baru, dengan metode baru.
Misalnya perpaduan antara psikologi dan social menjadi psikologi-sosial,
perpaduan sosiologi dan agama menjadi sosiologi agama, demikian seterusnya
dengan ilmu-ilmu lain.
Interdisipliner (interdisciplinary) didefinisikan dengan interaksi intensif antar
satu atau lebih disiplin, baik yang langsung berhubungan maupun yang tidak,
melalui program-program pengajaran dan penelitian, dengan tujuan melakukan
integrasi konsep, metode, dan analisis.
Dari
kupasan diatas melahirkan beberapa catatan, pertama, perkembangan pembidangan
studi Islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu
sendiri. Kedua, adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan tetentu
dimaksudkan agar mampu memahami ajaran Islam lebih lengkap (komprehensif)
sesuai dengan kebutuhan tuntutan yang semakin lengkap dan komplek. Ketiga,
perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya memang terjadi,
kalau tidak menjadi pertanda agama semakin tidak mendapat perhatian.[15]
F.
Era
Disrupsi
Fenomena disruption (disrupsi) adalah situasi
di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear.
Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama
untuk menciptakan tatanan baru.Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, disrupsi didefinisikan sebagai hal tercabut dari
akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang
terjadi perubahan yang fundamental atau mendasar. Satu di antara yang membuat
terjadi perubahan yang mendasar adalah evolusi teknologi yang menyasar sebuah
celah kehidupan manusia.Disrupsi merupakan
perubahan yang sangat mendasar sebagaimana telah terjadi di berbagai industri,
seperti musik, surat menyurat, media cetak, dan transportasi publik, seperti
taksi, grab, go-jek, dan lain-lain.[16]Tidak diragukan lagi, disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi
sistem pendidikan.
Digitalisasi adalah akibat dari evolusi teknologi (terutama
informasi) yang mengubah hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan dalam
berusaha.[17]Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi
lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia
bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Era ini
akan menuntut kita untuk berubah atau punah.
Teknologi digital sangat luas penerapannya, dan karenanya juga
sangat luas dampaknya. Berbagai industri bahkan telah tiada akibat perubahan
yang dibawa perkembangan teknologi digital. Salah satu bidang yang sedang
mengalami disrupsi adalah industri media. Model bisnis masa lampau tidak
mungkin dilanjutkan kalau ingin berkembang, atau bahkan untuk hanya mampu
bertahan pun tidak bisa melanjutkan praktik-praktik business as usual. Di
Indonesia, bisnis media cetak, misalnya telah dikacaukan karena cepat berkurangnya
penghasilan dari sumber-sumber lama karena iklan telah berpindah ke media lain,
seperti tv, dan kini ke media sosial. Gejala ini memaksa media mengubah model
bisnisnya untuk merambah jenis dan bahkan sektor berbeda sehingga dapat membawa
dampak perubahan yang sangat mendasar.[18]
G.
Generasi
Millenial
Generasi
millenial adalah terminologi yang saat ini banyak diperbincangkan. Millenials
atau generasi Y adalah kelompok demografis setelah generasi X. Istilah ini
pertama kali dicetuskan oleh dua pakar sejarah dan juga penulis amerika,
William strauss dan Neill howe dalam beberapa bukunya. Peneliti sosial sering
mengelompokkan generasi yang lahir antara 1980-2000 sebagai millenial. Jadi
bisa dikatakan generasi millenial adalah generasi muda masa kini yang saat ini
berusia antara 15-34 tahun.[19]
Banyak
istilah popular tentang generasi ini, seperticonnected/digital generation atau
gen why yang identik dengan karakter berani, inovatif, kreatif, dan
modern. Generasi millennial merupakan generasi modern yang aktif
bekerja, penelitian, dan berpikir inovatif tentang organisasi, memiliki rasa
optimisme dan kemauan untuk bekerja dengan kompetitif, terbuka, dan fleksibel.
Generasi
ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, instant
messaging dan media sosial seperti facebook dan twitter,
dengan kata lain generasi Y adalah generasi yang tumbuh pada era internet
booming. Lebih lanjut (Lyons mengungkapkan ciri – ciri dari generasi Y
adalah: (1)
karakteristik masing-masing individu berbeda, tergantung dimana ia dibesarkan,
strata ekonomi, dan sosial keluarganya;(2)pola komunikasinya sangat terbuka
dibanding generasi-generasi sebelumnya; (1)pemakai media sosial yang
fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi.[20]
Era millennial
berbasis digital application rentan akan social media harassment hingga
persoalan cybercrime yang memberikan pengaruh negatif terhadap
kematangan pikir generasi muda. Kehidupan generasi millennial tidak bisa
dilepaskan dari teknologi terutama internet, entertainment/hiburan sudah
menjadi kebutuhan pokok bagi generasi ini.[21]
Winastiti mengutip penelitian dari Pew Research
Center menyebutkan bahwa karakteristik generasi
millenial yaitu:[22]
a.
Millennial
lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi searah.
b. Millennial
lebih memilih ponsel dibanding TV
c.
Millennial
wajib punya media sosial.
d.
Millennial
kurang suka membaca secara konvensional.
e.
Millennial
lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka.
f.
Millennial
cenderung tidak loyal namun bekerja efektif.
g.
Millennial
mulai banyak melakukan transaksi secara tidak tunai atau cashless.
H.
Studi
Islam Interdisipliner Era Disrupsi dan Millenial
Nabi
Muhammad SAW. telah membakukan ajaran agama Islam (dienul Islam) secara
sempurna, sehingga akan terjamin otentisitas dan sekaligus perkembangannya
sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tempat. Sistem pembakuan ajaran Islam
tersebut adalah sebagai berikut: 1) membukukan secara otentik sumber dasar,
pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai wahyu dari Allah yang
tertuang dalam Al-qur’an; 2) memberikan penjelasan, contoh dan teladan
pelaksanaan ajaran Islam secara operasional, dalam kehidupan sosial budaya
umatnya, yang kemudian dikenal dengan sebutan al-sunah/al-hadis;3)
memberikan cara atau metode untuk mengembangkan ajaran Islam secara terpadu
dalam kehidupan sosial budaya umat manusia sepanjang sejarah dengan sistem Ijtihad.
Dengan sistem pembakuan tersebut, maka ajaran Islam akan tetap bersifat
otentik, sempurna dan bersifat dinamis, yakni sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman dan tempat.
Kajian
studi Islam berawal dari sebuah peristiwa yang menjadi bahan kajian, yang sebelumnya. Pengkajian Studi
Islam ini belum mejadi sebuah ilmu karena metodologi yang digunakan belum
sempurna. Seiring berjalannya waktu, muncullah sebuah metode dan menjadi
pengkajian ilmu tentang memahami perkembangan Agama Islam dan persoalan-persoalan
yang terjadi di dunia ini. Sehingga umat Islam tidak mudah dikambing hitamkan
dan mudah menyalahkan akan tetapi bisa mengkaji secara mendalam dan dapat
menjadi problem solver.
Untuk dapat menghidupkan kembali gerakan kebangkitan Islam maka
perlu dilakukan studi yang cermat tentang situasi dan kondisi dalam ruang dan
waktu serta sejarah perjalanan umat Islam dalam mengarungi dialektika segi
normatifdan sosiologis-historis tentang pemahaman keagamaan. Tantangan
modernisme yang telah diuraikan di atas perlu disikapi dengan kreatif dan
cerdas, sehingga Islam mampu menjawab tantangan dunia modern. Aktivitas gerakan
kebangkitan Islam harus memperhatikan perkembangan di dunia Baratyang sudah
melangkah lebih maju dalam mengatasi konflik antar agama, dimana Barat sudah
mengikrarkan abad ke-20 sebagai the endof ideology(politik),
dan beralih kepada ekspansi ekonomi dengan isu pasar bebas danglobalisasi.[23]
Sejarah mencatat kebesaran peradaban Islam berkat kemajuan
IPTEK, dimana pada waktu itu dunia Islam menjadi kiblat perkembangan IPTEK
dunia. Memang IPTEK yang merupakan unsur penting bagi terbentuknya suatu
peradaban bukan menjadi monopoli suatu agama. Dengan demikian dalam
mengembangkan peradaban memerlukan kerjasama dari semua orang Indonesia tanpa
membedakan agamanya. Yang perlu kita tegakkan adalah aturan untuk melakukan
kerjasama tersebut. Disini dapat dikembangkan akhlak pergaulan atau etika
pergaulan.
Dalam
rangka menciptakan peradaban perlu dibuat sistem pendidikan yang menekankan
aspek humanisme untuk mengajarkan nilai-nilai dan tata cara dalam bergaul
dengan sesama manusia penting karena sifat pluralitas bangsa Indonesia dan
untuk merealisasikan aspek salvation
di dunia memerlukan kerjasama dengan semua umat beragama. Usaha saling
membantu (ta 'awun) dan saling berhubungan (ta'aruf) hanya bisa
terealisir secara optimal bila dibarengi dengan sifat toleransi dalam hal
aqidah (keyakinan agama). Pluralitas agama merupakan suatu keniscayaan
daripluralitas budaya, bahkan dari itu agama memungkinkan lahirnya berbagai
aliran sesuai dengan titik perhatiannya berdasarkan kemampuan yang dimilikinya
ataupun kemampuan para pendukungnya. Dengan demikian, pluralitas ormas
keagamaan tersebut merupakan suatu keharusan sejarah untuk memenuhi kebutuhan
kemanusiaan yang multi dimensional.[24]
Perbuhan yang semakin cepat yang disebabkan oleh munculnya
teknologi modern, memudahkan manusia untuk mendapatkan informasi dan kemudahan
berkomunikasi. Dampak yang muncul diantaranya memudarnya nilai-nilai kemanusian
di dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh sulitnya informasi tersebut disaring,
apalagi dibendung. Dalam kondisi seperti ini sering kali agama menjadi posisi perdebatan,
apakah agama harus tunduk mengikuti irama perubahan ataukah sebaliknya
perubahan yang mesti memiliki acuan berupa nilai-nilai agama.
Ajaran Islam yang menyeluruh seharusnya dapat berfungsi dan
berperan sebagai peletak terciptanya tatanan masyarakat. Melihat ajarannya yang
meliputi berbagai bidang, terutama akhlak dan hukum Islam dengan syarat apabila
dapat diamalkan pemeluknya dengan baik. Maka sangat dimungkinkan untuk
menggunakan metode pengkajian Sosiologi dan Humaniora untuk melakukan
pengkajian.Namun dikarenakan adanya penyempitan makna, maksunya yaitu agama
hanya dipandang sebagai sebuah kesusilaan dalam menjalani kehidupan.
Mengakibatkan pandanngan terhadap Islam menjadi terbalik yaitu Islam sering
diidentikkan dengan kekerasan dan anarkis bahkan merenggut kebebasan manusia.
Perkembangan
metodologi Islam di era modern salah satunya menggunakan pendekatan ilmuHistoris atau peristiwa yang berlangsung pada
saat itu, melihat peristiwa yang terjadi belakangan ini tentang perubahan
yang sangat cepat yang merusak pola tatanan lama untuk menuju pola tatanan yang
baru. Jika dilihat dari ilmuetnografi atau
wilayah tentu sudah jelas bahwa disitu terdapat penjajahan yang menginginkan
kekuasaan wilayah yang ingin dikuasai. Dan jika dilihat dengan menggunakan
pendekatan fenomenologiyaitu perkembangan yang mana dikaji dari sebab
atau kenapa hal itu muncul. Tentu dorongan yang demikian karena adanya suatu
keinginan utuk menguasai, dan menganggap pada saat ini umat Islam itu lemah dan
terbelakang, kalah dari berbagai bidang kehidupan atau dapat dibilang harga
diri umat Islam sedang menurun bahkan rendah dimata Agama lain.
PENUTUP
Perkembangan dan kemajuan peradaban umat manusia
memperkenalkan pendekatan baru yang lebih ilmiah, yaitu studi Islam (Islamic Study)
atau kegiatan penelitian agama dengan perantaraan pengamatan dan analisis
terhadap kehidupan pemikiran dan pengalaman agama. Pendekatan baru ini menuntut
kualitas ulama yang mampu mengembangkan cara berpikir yang akademis sehingga
menghasilkan wawasan Islam yang makro, yang meliputi aspek ajaran yang
doktriner dan yang sosial historis.
Dalam kehidupan dunia
yang ditandai dengan arus perubahan yang sangat cepat, bahkan disruptif, dalam
segala bidang, dibarengi ketidakpastian yang tidak terelakkan serta semakin
terinterkoneksikannya jaringan keilmuan, kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan
agama antarbangsa dunia di muka bumi, manusia Indonesia dituntut untuk mampu
berpikir tingkat tinggi (higher order of thinking), mampu menjadi
pribadi adaptif, dalam upaya memecahkan masalah-masalah baru yang saling
berkait-kelindan, seperti perubahan iklim, kelangkaan energi, kerusakan
lingkungan, pertumbuhan penduduk, ketahanan pangan, radikalisme agama, dan
terorisme.
Hal ini dapat
dijembatani dengan berbagai metodologi modern studi Islam, salah satunya yaitu
melalui pendekatan interdisipliner. Pendekatan interdisliner adalah kajian
dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif),
misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis dan normatif secara
bersamaan.
Baharudin dan Buyung Ali Sihombing. 2005. Metode Studi Islam. Bandung: Citapusaka Media.
Baidhawy, Zakiyuddin.2011. Islamic studies Pendekatan
dan Metode.
Yogyakarta: Insan Madani.
Khoiriyah. 2013.Memahami
Metodologi Studi Islam.Yogyakarta: Penerbit Teras.
Mayling
Oey-Gardiner, dkk. 2007. ERA DISRUPSI Peluang dan Tantangan Pendidikan
Tinggi Indonesia. Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Nasir,
Amin.Sintesis Pemikiran M. Amin
Abdullah dan Adian Husaini (Pendekatan dalam Pengkajian Islam).Fikrah.Vol. 2, No. 1, Juni 2014.
Nasr, Seyyed Hossein.1994. Ideals and
Realities of Islam. London:Allen and Unwin.
Nasution, Khoiruddin. 2009.Pengantar
Studi Islam. Yogyakarta: Academia + Tazzafa.
Nata, Abuddin.2004.
Metodelogi Studi Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Prasetyanti,
Retnayu. Generasi Millennialdan
Inovasi Jejaring Demokrasi Teman Ahok, Jurnal
Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 Vol. 3 No. 1 Maret-Agusstus 2017.
Rachmat, Saefur.
Studi Islam di Indonesia Era Millenium Ketiga.Millali. Vol. II, No.I. Agustus 2002.
Rahardjo, M. Dawam. 1988. Esei-Esei Ekonomi Politik.
Jakarta: LP3ES.
Surya Putra,Yanuar.Theoritical Review: Teori Perbedaan
Generasi.Among
Makarti Vol. 9 No.18. Desember 2016.
Simuh. 1996.Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
millenial-dan-karakteristiknya diakses 1
Juni 2018.
[1] Amin
Nasir, Sintesis Pemikiran M. Amin
Abdullah dan Adian Husaini (Pendekatan dalam Pengkajian Islam),Fikrah,
Vol. 2, No. 1, Juni 2014, 142-143.
[2] Saefur
Rachmat, Studi Islam di Indonesia Era Millenium Ketiga, Millali, Vol. II, No.I. Agustus 2002, 38.
[4]Zakiyuddin Baidhawy, Islamic studies Pendekatan dan
Metode, Yogyakarta: Insan
Madani, 2011,
iii-iv.
[5]Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam , Yogyakarta: Penerbit Teras, 2013,
21.
[6]Abuddin Nata, Metodelogi Studi Islam , Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004. 151.
[8] Ibid. 6.
[9] Opcit, 261-288.
[10]Baharudin dan Buyung Ali Sihombing, Metode Studi Islam , Bandung: Citapusaka Media,
2005, 28- 29.
[11]Zakiyuddin Baidhawy, Islamic studies Pendekatan dan
Metode, Yogyakarta: Insan
Madani, 2011,
23-
35.
[12]Ibid., 39-46.
[13]Mayling
Oey-Gardiner dkk. ERA DISRUPSI Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi
Indonesia. Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2017, 58.
[14] Khoiruddin Nasution, Pengantar
Studi Islam , Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2009, 230-232.
[15]Ibid. 230-232.
[16] Mayling Oey-Gardiner,
dkk.,ERA DISRUPSI Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia. Jakarta:
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia,2017, 2.
[20]Yanuar Surya Putra,Theoritical Review: Teori Perbedaan
Generasi, Among Makarti Vol.9 No.18, Desember 2016, 130.
[21]Retnayu
Prasetyanti, Generasi Millennialdan
Inovasi Jejaring Demokrasi Teman Ahok, Jurnal
Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 Vol. 3 No. 1 Maret-Agusstus 2017,
47.
millenial-dan-karakteristiknya, diakses 1
Mei 2018.
[23]M. Dawam Rahardjo, Esei-Esei
Ekonomi Politik, Jakarta: LP3ES,1988, 58-62.
No comments:
Post a Comment