PETUNJUK PRAKTIKUM FARMAKOLOGI III STIFAR YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
PETUNJUK
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI III
Disusun
Oleh:
A.A.Hesti
W.S.,M.Si.Med., Apt
Fx.
Sulistyanto, M.Si., Apt
Novi
Elisa, M.Farm., Apt
PROGRAM STUDI DIII FARMASI
STIFAR YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
2019/2020
INFORMASI DASAR UNTUK
LABORATORIUM
FARMAKOLOGI
1.1 Tujuan Umum Laboratorium
Farmakologi
Setelah menyelesaikan
praktikum di Laboratorium Farmakologi mahasiswa diharapkan:
1.
Terampil bekerja dengan beberapa hewan
percobaan, yaitu: mencit; tikus; marmot; dan kelinci.
2.
Menghayati secara lebih baik berbagai prinsip
farmakologi yang diperoleh secara teoritis.
3.
Menghargai hewan percobaan karena
peranannya dalam mengungkapkan fenomena-fenomena kehidupan.
4.
Menyadari pengaruh faktor-faktor
lingkungan dan hasil eksperimen farmakologi dan menginsyafi sampai batas-batas
tertentu analoginya dengan pengaruh faktor-faktor sama pada manusia.
5.
Mampu menerapkan, mengadaptasi dan
memodifikasi metode-metode farmakologi untuk penilaian efek obat.
6.
Dapat memberikan penilaian terhadap
hasil-hasil eksperimen yang telah diperoleh.
7.
Dapat memberikan tafsiran mengenai
implikasi praktis dari hasil-hasil eksperimen.
8.
Menyadari kemungkinan-kemungkinan yang
terbuka bagi dirinya untuk mengembangkan karir dalam bidang farmakologi dan
farmasi.
1.2 Hewan Percobaan yang Digunakan
dalam Laboratorium Farmakologi
Hewan percobaan tak
ternilai jasanya dalam merintis jalan untuk memperbaiki kesehatan manusia.
Sampai saat ini, mereka merupakan kunci untuk kemajuan yang dicatat dalam dunia
kesehatan.
Dalam
praktikum farmakologi ini, percobaan dilakukan terhadap hewan hidup sehingga
harus digarap dengan penuh kemanusiaan. Perlakuan yang tidak wajar terhadap
hewan percobaan dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam hasil
pengamatan.
1.2.1
Mencit
Karakteristika
Utama Mencit
Dalam
laboratorium, mencit mudah ditangani. Ia bersifat penakut, fotofobik, cenderung
berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi dan lebih aktif
pada malam hari daripada siang hari. Kehadiran manusia akan menghambat
aktivitas mencit. Suhu tubuh normal 37,4oC. Laju respirasi normal
163 tiap menit.
Cara Memperlakukan Mencit
1. Mencit
diangkat dengan memegang pada ujung ekornya dengan tangan kanan dan dibiarkan
menjangkau kawat kandang dengan kaki depannya.
2. Dengan
tangan kiri, kulit tengkuknya dijepit di antara telunjuk dan ibu jari.
3. Kemudian
ekornya dipindahkan dari tangan kanan ke antara jari manis dan jari kelingking
tangan kiri, hingga mencit cukup erat dipegang.
Pemberian obat kini
dapat dimulai.
Cara-cara
Pemberian Obat
a. Oral
:
Diberikan dengan alat suntik dilengkapi dengan jarum oral. Kannula ini dimasukkan
ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui tepi langit-langit
ke belakang sampai esophagus.
(Gambar : Pemberian
Obat Secara Oral)
b.
Subkutan : Diberikan di bawah kulit pada
daerah tengkuk.
(Gambar : Pemberian Obat Secara Subkutan)
c.
Intravena : Penyuntikan dilakukan pada
vena ekor menggunakan jarum no.24. Mencit dimasukkan ke dalam pemegang (dari
kawat/bahan lain) dengan ekornya menjulur keluar. Ekor dimasukkan ke dalam air
hangat untuk mendilatasi vena guna memudahkan penyuntikan
.
(Gambar : Pemberian obat secara intravena)
d. Intramuskular
: Menggunakan jarum no.24, disuntikkan ke dalam otot paha posterior.
(Gambar : Pemberian
obat secara intramuskular)
e. Intraperitoneal
: Untuk ini hewan dipegang pada punggungnya sehingga kulit abdomennya menjadi
tegang. (Gambar 1.3). Pada saat penyuntikan, posisi kepala mencit lebih rendah
daripada posisi abdomennya. Jarum disuntikkan dengan membentuk sudut 10o dengan
abdomen, agak menepi dari garis tengah untuk menghindari terkenanya kandung
kencing. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak mengenai hati.
Volume penyuntikan untuk mencit yang umum adalah : 1
ml/100 gram bobot badan. Kepekaan larutan obat yang disuntikkan disesuaikan
dengan volume yang dapat disuntikkan tersebut.
Anestesi
Senyawa-senyawa yang dapat digunakan adalah:
a. Eter
dan karbon dioksida : keduanya digunakan untuk anestesi singkat caranya adalah
dengan meletakkan obat pada dasar suatu desikator, hewan kemudian dimasukkan
dan wadah ditutup. Apabila hewan sudah kehilangan kesadarannya ia dikeluarkan
dan dapat mulai dibedah. Penambahan kemudian dengan eter dapat dilakukan dengan
kapas sebagai masker.
b. Halotan,
digunakan untuk anestesi yang lebih lama. Sebenarnya eter dapat juga digunakan
untuk tujuan ini, namun karena efek-efek lain yang ditimbulkannya, obat ini
tidak menjadi pilihan utama.
c. Pentobarbital
natrium dan heksobarbital natrium. Dosis pentobarbital natrium adalah 45 mg-60
mg/kg untuk cara pemberian intraperitoneal, dan 35 mg/kg untuk cara pemberian
intravena. Sedangkan dosis heksobarbital natrium adalah 75 mg/kg untuk
pemberian intraperitoneal dan 47 mg/kg untuk pemberian intravena.
Cara Mengorbankan Hewan
Pengorbanan
hewan sering diperlukan apabila terjadi rasa sakit yang hebat atau lama akibat
suatu eksperimen; ataupun rasa sakit yang merupakan bagian dari eksperimen.
Apabila hewan mengalami kecelakaan, menderita penyakit atau jumlahnya terlalu
banyak dibandingkan dengan kebutuhan, juga dilakukan etanasi terhadap hewan.
Cara etanasi (kematian tanpa rasa sakit) ini dipilih sedemikian, sehingga hewan
mengalami penderitaan seminimal mungkin. Dalam memilih cara mengorbankan hewan
perlu juga ditinjau tujuan hewan dikorbankan. Pada dasarnya cara fisik
merupakan cara yang paling tepat dilaksanakan, mudah, dan paling
berperikemanusiaan.
a. Cara
terbaik adalah dengan menggunakan karbon dioksida dalam wadah khusus
b. Pentobarbital
natrium dengan dosis 130-180 mg/kg
c. Dengan
cara fisik dapat dilakukan dengan cara dislokasi leher hewan dipegang pada
ekornya, kemudian ditempatkan pada permukaan yang biasa dijangkaunya dengan
demikian ia akan meregangkan badannya, pada tengkuknya kemudian ditempatkan
suatu penahanan, misalnya sebatang pensil yang dipegang dengan satu tangan.
Tangan lainnya kemudian menarik ekornya dengan keras sehingga lehernya akan
terdislokasi, dan mencit akan terbunuh.
1.2.2
Tikus
Karakteristika
Utama Tikus
Relatif resisten terhadap infeksi, dan sangat
cerdas. Tikus putih pada umumnya tenang dan mudah ditangani. Ia tidak begitu
bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungannya untuk berkumpul
sesamanya juga tidak begitu besar. Aktivitas tidak demikian terganggu dengan
adanya manusia di sekitarnya. Suhu tubuh
normal: 37,5oC. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila
diperlukan kasar (atau apabila ia mengalami defisiensi nutrisi) tikus menjadi
galak dan sering menyerang si pemegang.
Cara Memperlakukan Tikus
Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, hanya
harus diperhatikan bahwa sebaiknya bagian ekor yang dipegang adalah bagian
pangkal ekor. Tikus dapat diangkat dengan memgang perutnya ataupun dengan cara
sebagai berikut:
1. Tikus
diangkat dari kandangnya dengan memegang tubuhnya atau ekornya dari bejana,
kemudian diletakkan di atas permukaan kasar. Tangan kiri diluncurkan dari
belakang tubuhnya menuju kepala dan ibu jari diselipkan ke depan untuk menjepit
kaki kanan depan tikus antara jari ini dengan telunjuk.
2. Untuk
melakukan pemberian obat secara ip, im, tikus dipegang pada bagian belakangnya ,hal ini hendaklah dilakukan dengan mulus
dan tanpa ragu-ragu. Tikus tidak mengelak bila dipegang dari atas, tapi bila
dipojokkan ke sudut, ia akan menjadi panic dan mengigit.
Cara-cara Pemberian Zat
Oral, subkutan, intravena, intramuscular, maupun
intraperitoneal dapat diberikan dengan cara yang sama seperti pada mencit.
Penyuntikan subkutan dapat pula dilakukan di bawah kulit abdomen. Volume
penyuntikan paling baik bagi tikus adalah 0,2-0,3 mL/100 gram bobot badan.
Anestesi
Senyawa-senyawa anestesika dan cara-cara anestetika
pada tikus umumnya adalah sama seperti pada mencit.
Cara Mengorbankan Tikus
Cara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan karbon
dioksida, eter, dan pentobarbital dengan dosis yang sesuai. Cara fisik dapat
dilakukan sebagai berikut:
Letakkan tikus di atas sehelai kain, kemudian
bungkuslah badan tikus, termasuk kedua kaki depannya. Bunuhlah dengan salah
satu cara berikut:
a. Pukullah
bagian belakang telinganya dengan tongkat.
b. Peganglah
tikus dengan perutnya menghadap ke atas, kemudian pukulkan bagaian belakang
kepalanya kepada permukaan yang keras seperti meja atau permukaan logam, dengan
sangat keras.
1.2.3
Kelinci
Kelinci
jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri luar biasa ia bersuara.
Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa keadaannya
terganggu. Suhu rectal pada kelinci sehat adalah antara 38,5o-40oC,
pada umumnya 13,5oC. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut
tereksitasi, ataupun karena gangguan lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa
normal adalah 38-65 per menit, pada umumnya 50 (pada kelinci muda laju ini
dipercepat, dan pada kelinci bayi bias mencapai 100 per menit).
Cara
Memperlakukan Kelinci
Kelinci harus diperlakukan dengan halus namun sigap,
karena ia cenderung untuk berontak. Menangkap atau membalikkan kelinci jangan
dengan mengangkat pada telinganya. Untuk menangkapnya, kulit pada leher kelinci
dipegang dengan tangan kiri, pantatnya diangkat dengan tangan kanan . Kemudian didekap ke tubuh.
(Gambar : Perlakuan kelinci)
Cara-cara
Pemberian Obat
a. Oral : Pada umumnya pemberian obat
dengan cara ini dihindari, tapi bila dipakai juga maka digunakan alat penahan
rahang dan pipa lambung.
b. Subkutan :
Bagian yaqng baik untuk cara pemberian ini adalah kulit di sisi sebelah
pinggang atau bagian tengkuk.
Caranya : Angkat kulit dan tusukan jarum
(No.15) dengan arah interior.
c. Intravena : yang dipilih adalah vena marginalis
dan penyuntikan dilakukan pada daerah dekat ujung telinga. Sebelumnya telinga
dibasahi dulu dengan air hangat atau alcohol .Pencukuran terutama diperlukan pada
hewan berwarna gelap.
d. Intramuskular : Dilakukan pada otot kaki belakang.
e. Intraperitoneal : Posisi kelinci diatur sedemikian sehingga
letak kepala lebih rendah daripada perut.
Penyuntikan
dilakukan pada garis tengah di muka kandung kencing.
Anestesi
Senyawa anestetika yang paling banyak digunakan
adalah pentobarbital natrium yang disuntikkan secara perlahan-lahan. Dosis untuk anestesi umum adalah 22
mg/kg bobot badan, dan untuk anestesi singkat dapat diambil setengah dari dosis
di atas, ditambah dengan eter untuk menyempurnakan pembiusan. Dosis untuk
anestesi konduksi adalah 15-22 mg/kg bobot badan (larutan dalam air 60 mg/mL).
Mengorbankan
Kelinci
Ada
beberapa cara yang dapat digunakan:
a.
Dengan menggunakan karbon dioksida.
b.
Dengan injeksi pentobarbital natrium 300
mg secara intravena.
c.
Dengan cara dislokasi leher:
-
Pegang kaki belakang kelinci dengan
tangan kiri sehingga badan dan kepalanya tergantung ke bawah, menghadap ke
kiri. Dengan jari-jari tangan kanan dikeraskan, pukulkanlah sisi telapak tangan
kanan dengan keras pada tengkuk kelinci Selain tangan dapat juga digunakan
alat, seperti tongkat.
-
Tempatkan kelinci di sebuah meja. Dengan
tangan kiri angkat badannya pada telinga sedemikian sehingga kaki depannya
tepat tergantung di atas meja. Pada
kondisi ini pukulkan tongkat dengan keras di belakang telinganya.
1.2.4
Marmot
Karakteristika
Utama Marmot
Marmot amat jinak, tidak akan menimbulkan kesukaran
pada waktu dipegang, dan jarang menggigit. Marmot
yang sehat selalu bersikap awas, kulitnya halus dan berkilat, tidak dikotori
oleh feces maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal, kuat, tapi tidak kasar,
marmot berdaging tebal. Tidak ada cairan yang keluar dari hidung ataupun
telinga, juga tidak meneteskan air liur ataupun diare. Pernafasannya teratur
dan tidak tersembunyi. Sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu spesies,
variasi bobot badan dan ukuran badan antara tiap marmot yang berumur sama,
tidak besar. Laju denyut
jantung marmot normal adalah 150-160 per menit, laju respirasi 110-150 per
menit, dan suhu rectal antara 29o dan 40oC.
Cara
Memperlakukan Marmot
Marmot dapat diangkat dengan cara memgang badan
bagian atas dengan tangan yang satu dan memegang badan bagian belakang dengan
tangan yang lain .Obat
dapat diberikan dengan mendekap marmot ke tubuh sendiri dengan satu tangan.
Cara-cara Pemberian
Obat
a.
Oral : Ada tiga cara yang dapat
dilakukan, yakni:
-
Dengan pipa lambung, seperti pada
mencit. Sebelumnya marmot diberi anestetika lemah terlebih dahulu.
-
Dengan pipet, ini berlaku untuk cairan
sampai dengan volume 5 mL.
-
Dengan penambahan kepada makanan; selain
untuk bahan padat dapat juga untuk pemberian cairan.
b. Intradermal
: Bulu marmot pada daerah yang akan disuntikkan dicukur terlebih dahulu,
kemudian ditegakkan, jarum suntik ditusukkan kira-kira 2 cm ke dalam kulit.
Jumlah cairan yang dapat diberikan adalah sampai dengan 0,5 mL.
c. Subkutan
: Angkatlah sebagian kulit dengan mencubitnya, kemudian tusukkanlah jarum
suntik ke bawah kulit, paralel dengan otot di bawahnya. Pemilihan lokasi
penyuntkan tidak dibatasi.
d. Intraperitoneal
: Daerah penyuntikan adalah seluas ± 2,5 cm2. Agak ke kanan dari garis
midsagital dan 2,5 cm di atas pubis. Marmot dipegang pada punggungnya
sedemikian sehingga perutnya agak menonjol ke muka. Jarum suntik kemudian
ditusukkan seperti pada cara subkutan, tetapi sesudah masuk ke dalam kulit,
jarum agak ditegakkan sehingga menembus lapisan otot masuk ke dalam daerah
peritoneum.
e. Intramuskular
: Daerah penyuntikan terbaik adalah otot paha bagian posteriolateral. Jarum
disuntikkan melalui kulit dan diarahkan kepada jaringan otot, jangan terlalu
dalam sampai jarum menyentuh tulang paha.
f. Intravena
: Cara ini jarang digunakan, namun ada dua metoda yang mungkin dilaksanakan.
-
Pada vena marginalis, dengan jarum halus
dan pendek, cara ini berlaku khusus untuk marmot besar.
-
Pada vena-saphena (vena pada paha),
marmot dianestesi terlebih dulu, isolasi vena saphena, baru dilakukan
penyuntikan.
Keterangan : Pemberian obat-obatan secara parenteral
terutama untuk marmot harus didahului dan diakhiri dengan pemberian antiseptika
pada daerah penyuntikan.
Anestesi
Dua obat yang biasanya digunakan adalah eter dan
pentobarbital natrium. Eter digunaka untuk anestesi singkat, setelah marmot
dipuasakan 12 jam. Pentobarbital natrium diberikan dengan dosis 28 mg/kg bobot
badan.
Mengorbankan
marmot
Dapat dilakukan secara kimiawi dengan karbon
dioksida tapi cara yang paling umum, cepat dan berperikemanusiaan adalah dengan
mematahkan lehernya.
Caranya : - Dengan pukulan keras pada tengkuk
- Dengan memukulkan belakang kepalanya kepada
permukaan horizontal yang keras. Bila ada kesukaran dalam memperoleh peralatan
seperti disebut di atas, maka leher dapat juga didislokasi dengan menggunakan
tangan saja.
1.2.5
Volume administrasi obat
Volume cairan yang diberikan pada hewan percobaan
harus diperhatikan tidak melebihi jumlah tertentu.
Dalam tabel 1.1 diberikan beberapa contoh dari batas
volume yang dapat diberikan pada hewan percobaan.
Tabel
1.1 Volume Larutan Yang Biasa Diberikan Pada Binatang
No. |
Binatang |
Volume Maksimum (ml) |
||||
Cara Pemberian |
||||||
i.v. |
i.m. |
i.p. |
s.c. |
p.o |
||
1. |
Mencit (20-30 g) |
0,5 |
0,05 |
1,0 |
0,5-1,0* |
1,0 |
2. |
Tikus (100 g) |
1,0 |
0,1 |
2,0-5,0 |
2,0-5,0* |
5,0 |
3. |
Hamster (50 g) |
- |
0,1 |
1,0-5,0 |
2,5 |
2,5 |
4. |
Marmot (250 g) |
- |
0,25 |
2,0-5,0 |
5,0 |
10,0 |
5. |
Merpati (300 g) |
2,0 |
0,5 |
2,0 |
2,0 |
10,0 |
6. |
Kelinci (2,5 kg) |
5,0-10,0 |
0,5 |
10,0-20,0 |
5,0-10,0 |
20,0 |
7. |
Kucing (3 kg) |
5,0-10,0 |
1,0 |
10,0-20,0 |
5,0-10,0 |
50,0 |
8. |
Anjing (5 kg) |
10,0-20,0 |
5,0 |
20,0-50,0 |
5,0-10,0 |
100,0 |
*
Didistribusikan Ke Daerah Yang Lebih Luas
Diambil
dari : M. Boucard, et al, Pharmacodinamic, Guide de Travaux Practiquea,
1981-1982
Senyawa yang tidak larut dibuat dalam
bentuk suspensi dalam gom dan diberikan dengan rute per oral.
1.2.6
Anestesi hewan percobaan
Selain anestesi yang disebutkan pada
uraian di atas, tabel 1.2 memuat beberapa data mengenai anestesi umum yang
dapat diberikan pada hewan percobaan.
Tabel
1.2 Data anestesi umum pada hewan
percobaan
Hewan
percobaan |
Anestetika |
Kepekaan
larutan & Pelarut |
Dosis |
Rute Pemberian |
Mencit &
Tikus |
Eter |
|
|
Inhalasi |
Kloralose |
2% dalam NaCl
fisiologis |
300 mg/kg |
i.p |
|
Uretan |
10%-25% dalam
NaCl fisiologis |
1-1.25 g/kg |
i.p |
|
Nebutal |
65 mg/ml |
40-60 mg/kg
(kerja singkat) 80-100 mg/kg
(kerja lama) |
i.p atau i.v |
|
Pentobarbital
Na |
4.5%-5% dalam
NaCl fisiologis |
45-60 mg/kg 35 mg/kg |
i.p i.v |
|
Heksobarbital
Na |
7.5% dalam
NaCl fisiologis 4.7% dalam
NaCl fisiologis |
75 mg/kg 47 mg/kg |
i.p i.v |
|
Kelinci |
Eter |
|
|
Inhalasi |
Uretan |
10% dalam NaCl
fisiologis |
19/kg |
i.p/i.v |
|
Kloralose/ (kloralose+Nembutal) |
1 % dalam NaCl
fisiologis 1 % dalam NaCl
fisiologis 65 mg/ml |
100 mg/kg 100 mg/kg 10 mg/kg |
i.p i.v |
|
Pentobarbital
Na |
5% dalam NaCl
fisiologis |
22 mg/kg
(kerja lama) 11 mg/kg
(kerja singkat) |
i.v i.v |
|
Pentotal |
5% dalam aq.dest |
10-20 mg/kg
(menurut jangka waktu kerja) |
i.v |
|
Morfin |
5% dalam aq.dest |
100 mg/kg |
s.c |
|
Marmot |
Eter |
|
|
inhalasi |
Kloroform |
|
|
inhalasi |
|
Uretan |
10-25% dalam
NaCl fisiologis hangat |
19/kg |
i.p |
|
Kloralose |
2% dalam NaCl
fisiologis |
150/kg |
i.p |
|
Pentobarbital
Natrium (seperti pada tikus) |
|
28 mg/kg |
i.p |
|
Kera |
Eter |
|
|
Inhalasi |
Kloralose |
10% dalam NaCl
fisiologis |
100-200 mg/kg |
i.v |
|
Pentotal |
1% dalam
aq.dest |
20-25 mg/kg |
i.v |
|
Anjing |
Kloralose |
|
100-200 mg/kg |
i.v |
1.2.7
Aplikasi Dosis Secara Kuantitatif Pada
Spesies Lain
Untuk dapat memperoleh efek farmakologis yang sama
dari suatu obat pada tiap spesies hewan percobaan, diperlukan data mengenai
aplikasi dosis secara kuantitatif. Keterangan demikian akan diperlukan bila
obata akan dipakai pada manusia, dan pendekatan terbaik adalah dengan
menggunakan luas perbandingan tubuh. Beberapa spesies hewan percobaan yang
sering digunakan, dipolakan perbandingan luas permukaannya dalam tabel 1.4
secara matriks. Sebagai tambahan ditentukan pula perbandingan terhadap luas
permukaan tubuh manusia.
1.2.8
Pertanyaan
1.
Sebutkan keuntungan serta kerugian
pemakaian masing-masing hewan tersebut!
2.
Mencit adalah hewan yang paling banyak
digunakan dalam eksperimen laboratorium. Mengapa?
3.
Faktor-faktor apa yang perlu
diperhatikan dalam memilih spesies hewan percobaan untuk suatu penelitian
laboratorium yang bersifat skrining ataupun pengujian suatu efek khusus?
1.3
Faktor-Faktor Lingkungan Luar yang Dapat
Mempengaruhi Hasil-Hasil Eksperimen
Dalam laboratorium
farmakologi, sebagian besar eksperimen dilakukan pada hewan percobaan dan pada
jaringan atau peragaan hewan percobaan. Sebagai makhluk hidup ataupun struktur
hidup persyaratan-persyaratan dan kebutuhan-kebutuhan tertentu harus dipenuhi,
agar respon terhadap manipulasi farmakologi yang dialaminya dapat secara pasti
dikatakan merupakan respon untuk perlakuan farmakologi yang dialami.
Selain
faktor-faktor internal pada hewan seperti: usia, kelamin, ras, sifat genetik,
status kesehatan dan status nutrisi, bobot tubuh, dan luas permukaan tubuh yang
mempengaruhi respon terhadap manipulasi farmakologi yang dialami, maka berbagai
faktor seperti : keadaan kandang, suasana asing atau baru, penempatan hewan,
pengeluaran hewan sebelum menerima obat, pengalaman hewan sebelum menerima
obat, keadaan ruangan tempat hidup
(suhu, kelembaban, ventilasi, cahaya, kebisingan) dapat memodifikasi
respon yang diberikan pada hewan percobaan. Faktor-faktor eksternal seperti :
suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologis dan isoosmotis dan
pemeliharaan strukturil ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk eksperimen,
turut menjamin bahwa hasil eksperimen dapat dipercaya. Beberapa faktor lingkungan
yang telah dikemukaan di atas akan diuraikan lebih lanjut berikut ini.
a.
Keadaan kandang : bahan yang diletakkan
pada dasar kandang sebagai tempat tidur dapat menyebabkan perbedaan respon terhadap
obat. Lamanya tidur pada mencit-mencit putih jantan berbeda setelah diberikan
heksobarbital natrium atau pentobarbital natrium, jika untuk alas tidur
digunakan pecahan-pecahan tongkol jagung atau potongan kecil dari kayu sedap
merah.
b.
Suasana kandang yang baru atau asing,
juga menambah variabilitas terhadap respon obat, terutama pada uji pirogen dan
efek furgatif atau dalam pengujian efek obat terhadap keawasan, denytut
jantung, ekskresi urin, and aktivitas lokomotorik.
c.
Penempatan hewan dalam kandang:
penempatan hewan dalam kandang secara sendiri atau bersama-sama juga dapat
merubah respon terhadap obat. Mencit-mencit strain tertentu yang ditempatkan
bersama-sama menunjukkan peningkatan toksisitas amfetamin sebesar sepuluh kali
daripada ditempatkan sendiri-sendiri. Bila besar kelompok dalam suatu kandang
diperkecil, toksisitas amfetamin juga berkurang.
Fenobarbital dengan dosis yang
menyebabkan depresi kuat ternyata menyebabkan respon yang berlawanan, yaitu
menunjukkan efek stimulant kuat terhadap mencit-mencit yang ditempatkan
bersama-sama. Jadi untuk mendapatkan hasi percobaan yang baik maksimum dapat
ditempatkan lima ekor hewan bersama-sama.
d.
Pengalaman hewan sebelum menerima obat :
Latihan-latihan melompat dalam menghindari stimulus goncangan yang kuat,
mengakibatkan bahwa hewan percobaan menjadi lebih resisten dan tahan terhadap
pengaruh obat-obatan fenotiazin.
e.
Keadaan ruangan tempat hidup hewan percobaan
: suhu kamar sekitar 270 C ternyata menaikkan toksisitas amfetamin dibandingkan
dengan suhu sekitar 15.50C. Panas, mendilatasi pembuluh-pembuluh
perifer dan mengintensifkan kerja vasodilator dan diaforetik. Klorpromazina dan
obat-obat sejenisnya lebih bersifat depresan pada suhu kamar 130C
sampai 180C daripada suhu 250C sampai 300C dan
lebih bersifat mengeksitasi dan cepat membunuh pada suhu 330C sampai
380C. di Negara-negara tropis, reaksi-reaksi alcohol yang berlebihan
tampak lebih merugikan dan obat-obat narkotika lebih cepat mengeksitasi dan
menyebabkan delirium.
Faktor-faktor lain yang dapat ikut memodifikasi
respon hewan percobaan terhadap obat yang diberikan ialah cuaca, ketinggian,
musim, dan jenis makanan serta saat waktu eksperimen dilakukan.
Meskipun belum semua faktor yang dapat memodifikasi
respon hewan percobaan terhadap suatu obat diketahui dan meskipun dapat
dipersolakan seberapa jauh keadaan-keadaan yang terlalu artificial harus
dipatuhi ketika melakukan eksperimen, namun untuk mempelajari efek obat serta
intensitas efek tersebut yang sesungguhnya dapat diterima bahwa faktor-faktor
luar yang memodifikasi hasil-hasil eksperimen sewajarnya dihindari.
Tabel 1.3.
Perbandingan luas
permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis
|
20
g mencit |
200
g tikus |
500
g marmot |
1,5
kg kelinci |
2,0
kg kucing |
4,0
kg kera |
12,0
kg anjing |
70,0
kg manusia |
20
g mencit |
1,0 |
7,0 |
12,29 |
27,8 |
29,7 |
64,1 |
124,2 |
387,9 |
200
g tikus |
0,14 |
1,0 |
1,74 |
3,8 |
4,2 |
9,2 |
17,8 |
56,0 |
400
g marmot |
0,08 |
0,57 |
1,0 |
2,25 |
2,4 |
5,2 |
10,2 |
31,5 |
1,5
kg kelinci |
0,04 |
0,25 |
0,44 |
1,0 |
1,00 |
2,4 |
4,5 |
14,2 |
2,0
kg kucing |
0,03 |
0,23 |
0,41 |
0,92 |
1,0 |
2,2 |
4,1 |
13,0 |
4,0
kg kera |
0,016 |
0,11 |
0,19 |
0,42 |
0,45 |
1,0 |
1,9 |
6,1 |
12,0
kg anjing |
0,008 |
0,06 |
0,10 |
0,22 |
0,24 |
0,52 |
1,0 |
3,1 |
70,0
kg manusia |
0,0026 |
0,018 |
0,031 |
0,07 |
0,018 |
0,16 |
0,32 |
1,0 |
Diambil dari D.R. Laurence & A. L. Racharach,
Evaluation of Drug Activities: Pharmacomatery, 1964.
Cara mempergunakan tabel:
Bila diinginkan dosis absolut pada
manusia 70 kg dari data dosis pada anjing 10 mg/kg (untuk anjing dengan bobot
12 kg) maka dihitung terlebih dahulu dosis absolute pada anjing yaitu (10mg/kg x12 kg) = 120 mg.
Dengan mengambil faktor konversi
dari table 1.3,
diperoleh dosis untuk manusia = (120
mg x
3.1) = 372 mg.
Dengan demikian dapat diramalkan
efek farmakologis suatu obat yang timbul pada manusia dengan dosis 372/70 kg BB
adalah sama dengan yang timbul pada anjing dengan dosis 120 mg/12 kg BB dari
obat yang sama.
Contoh perhitungan dosis :
Obat X memiliki dosis lazim pada manusia yaitu 40 mg.
Akan diujikan pada mencit secara per oral dengan berat badan 21,3 g.
a.
Hitung
konsentrasi larutan stok !
b.
Hitung
berapa mg serbuk obat X yang di timbang jika akan dibuat larutan stok 250 ml.
c.
Hitung
Vp pada mencit 20 g !
Jawab :
Jika tidak dinyatakan lain berat badan yang dimaksud
adalah 50 kg (BB orang asia). Maka harus dihitung terlebih dahulu dalam BB 70
kg ( sesuai yang tertera pada tabel konversi).
Dosis manusia 70 kg =
Kemudian dosis pada manusia 70 kg dikonversi ke dosis 20
g dengan mengambil faktor konversi pada tabel 1.3 ( faktor konversi manusia ke
mencit = 0,0026), sehingga diperoleh dosis untuk mencit = 56 mg x 0,0026 =
0,1456 mg/20g mencit.
Dosis mencit per kgBB =
a.
Konsentrasi
larutan stok =
Jika dianggap BB mencit terbesar 1,3 g, maka dosis =
Volume pemberian maksimal pada mencit secra per oral = 1,0 ml (lihat pada
tabel 1.1)
Sehingga konsentrasi larutan stok =
b.
Jumlah
serbuk yang ditimbang = 0,3102 mg/ml x 250 ml = 77,55 mg
c.
Sebelum
menghitung Vp, hitung dulu dosis mencit dengan BB yang dinyatakan.
Jadi, dosis mencit 20 g =
Vp
= =
PERCOBAAN
5
ANALGESIK
A.
Tujuan
Setelah menyelesaikan
eksperimen ini mahasiswa:
1.
Mengenal berbagai cara untuk
mengevaluasi secara eksperimental efek analgesic suatu obat.
2.
Memahami dasar-dasar perbedaan dalam
daya analgesic berbagai analgetika.
3.
Mampu memberikan pandangan yang kritis
mengenai kesesuaian khasiat yang dianjurkan untuk sediaan sediaan farmasi
analgetika.
B.
Pendahuluan
Analgetika adalah obat
atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri.
Analgetika yang diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang
dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia dan fisis.
Rasa nyeri tersebut
terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya bradikinin,
prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri
di ujung syaraf perifer ataupun di tempat lain. Dari tempat-tempat ini
selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh
syaraf sensoris melalui sunsum tulang belakang dan thalamus.
Berdasarkan atas
rangsang nyeri yang dipergunakan, maka terdapat berbagai metode penetapan daya
analgetika suatu obat. Salah satu diantaranya menggunakan rangsang kimia
sebagai penimbul rasa nyeri, seperti yang akan dipraktekkan di sini.
Berdasar proses
terjadinya rasa nyeri tersebut, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa
cara:
a.
Merintangi pembentukan rangsangan dalam
reseptor nyeri perifer (analgetika perifer, anestesi lokal).
b.
Merintangi penyaluran rasa nyeri dalam
syaraf-syaraf sensoris (anestesi lokal).
c.
Memblokade atau menghambat rasa nyeri di
pusat nyeri dalam susunan syaraf pusat (analgetika narkotika, anestesi umum).
Secara umum, analgetika
dibagi ke dalam dua golongan, yakni
a.
Analgetika non narkotika atau integumental analgetics (misalnya
asetosal, parasetamol). Obat-obat ini dinamakan anlgetika perifer karena tidak
mempengaruhi susunan syaraf sentral, tidak menurunkan kesadaran dan tidak
mengakibatkan ketagihan.
b.
Analgetika narkotika atau visceral analgetics (misalnya morfin).
Analgetika ini memiliki daya penghalang rasa nyeri yang sangat kuat sekali, mengurangi
kesadaran (mengantuk) dan memberikan perasaan nyaman (euphorbia). Obat ini
dapat juga menyebabkan toleransi, kebiasaan (habituasi), ketergantungan fisik
dan psikis (adiksi) dan gejala-gejala abstinensia bila diputuskan pengobatan.
C.
Cara
Percobaan
a. Metode: Jentik Ekor
Rangsang
nyeri yang digunakan dalam metode ini berupa air panas (500C), dimana ekor
tikus dimasukkan ke dalam air panas akan merasakan nyeri panas dan ekor
dijentikkan keluar air panas.
b. Bahan
1. Larutan
CMC Na 0,5%
2.
Bahan obat: Ibuprofen, Na diklofenak,
Asam mefenamat, Metilprednisolon.
c. Hewan uji:
tikus putih jantan
d. Alat
1. Spuit
injeksi (0,1-1ml)
2. Jarum
oral (ujung tumpul)
3. Bekker
glass
4. Stop
watch
5. Penangas
air
6. Holder
tikus
7. Neraca
ohauss
e. Cara Kerja
1. Sebelum
pemberian obat catat dengan mempergunakan stopwatch waktu yang diperlukan tikus
untuk menjentikkan ekornya keluar dari penangas air. Tiap rangkaian pengamatan
dilakukan tiga kali, selang dua menit. Pengamatan pertama diabaikan, hasil dari
dua pengamatan terakhir diratakan dan dicatat sebagai respon normal
masing-masing tikus terhadap stimulus nyeri. Jika perlu, stimulus disesuaikan
untuk mencapai respon normal terhadap stimulus nyeri, sekitar tiga sampai lima
detik.
2.
Tiap kelompok dibagi menjadi 4 kelompok,
masing-masing mendapat 4 ekor hewan uji, 1 ekor hewan uji sebagai kontrol.
3. Kelompok
I (Ibuprofen) : 3 hewan uji
diberikan suspensi Ibuprofen dosis 200 mg/50 kg
BB manusia.
Kelompok
II (Na diklofenak) : 3 hewan uji diberikan suspensi Na diklofenak dosis 50
mg/50 kg BB manusia.
Kelompok
III (Metilprednisolon) : 3 hewan uji diberikan suspensi Metilprednisolon dosis
8 mg/50 kg BB manusia.
Kelompok
IV (Asam Mefenamat) : 3 hewan uji diberikan suspensi Asam Mefenamat dosis 500
mg/50 kg BB manusia.
4.
Diamkan sepuluh menit, kemudian nilai
respon masing-masing tikus terhadap stimulus nyeri seperti pada no (1). Jika
tikus tidak menjentikkan ekornya keluar air panas dalam waktu 10 detik setelah
pemberian stimulus nyeri, maka dapat dianggap bahwa ia tidak menyadari stimulus
nyeri tersebut. Jangan biarkan ekornya melampaui waktu ini dalam air panas.
5.
Ulangi penilaian respon tikus selang 20
menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit dan seterusnya sampai efek analgesic
hilang.
6.
Tabelkan hasil-hasil pengamatan Saudara
dengan sebaik-baiknya.
7.
Gambarkan suatu kurva yang merefleksikan
pengaruh obat-obat yang diberikan terhadap respon tikus untuk stimulus nyeri.
D.
Pembahasan
dan Simpulan
Bahas
selengkap mungkin mengenai eksperimen ini dan kemukakan pula simpulan-simpulan
dan komentar Saudara.
E.
Hal-hal
yang perlu dipelajari
1.
Bagaimana mekanisme analgesic ?
2.
Bagaimana prinsip hantaran nyeri dengan
metode jentik elor dan geliat?
F.
Daftar
Pustaka
Anonim. 2002. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya
Baru
Tjay, Tanhoan, Kirana
Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting.
Jakarta: Gramedia
PERCOBAAN 8
ANTIINFLAMASI
A.
Tujuan
Setelah menyelesaikan
eksperimen, mahasiswa diharapkan:
1.
Dapat memahami azas eksperimen dan
memperoleh petunjuk-petunjuk yang praktis.
2.
Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan
dan batasan yang merupakan sifat teknik percobaan.
B.
Pendahuluan
Meskipun kejadiannya
merupakan gabungan proses yang kompleks inflamasi mempunyai tanda-tanda dan
gejala yang bersifat umum yaitu bengkak kemerahan, nyeri dan panas, tidak
peduli sebabnya karena bahan kimia atau mekanis.
Obat-obat anti radang dibagi
menjadi dua golongan utama, golongan kortikosteroid dan nonsteroid. Argumen
yang dewasa ini diterima mengenai mekanisme kerja obat-obat tersebut ialah
bahwa aksi obat-obat anti radang berkaitan dengan penghambatan metabolisme asam
arakhidonat (Higgs dan Whittle, 1980).
Seperti diketahui asam
arakhidonat adalah substrat untuk enzim-enzim siklooksigenase dan
lipooksigenase. Siklooksigenase
mensintesa siklik endoperoksida (prostaglandin G-2 dan H-2) yang
kemudian akan diubah menjadi prostaglandin stabil, tromboksan, atau
prostasiklin. Ketiga produk ini berasal dari leukosit, dan senyawa-senyawa itu
dijumpai pada keadaan radang. Di dalam leukosit, asam arakhidonat oleh
lipooksigenase akan diubah menjadi asam-asam mono dan di-hidroksi (HETE) yang
merupakan prekursor dari leukotrien (senyawa yang dijumpai pada keadaan
anafilaksis). Dengan adanya rangsang mekanis atau kimia, produksi enzim
lipooksigenase akan dipacu sehingga meningkatkan produksi leukotrien dari asam
arakhidonat.
Obat-obat yang dikenal
menghambat siklooksigenase secara spesifik (indometasin dan salisilat) mampu
mencegah produksi mediator inflamasi: PGE-2 dan prostasiklin. Karena
prostaglandin bersifat sinergik dengan mediator inflamasi lainnya (yakni
bradikinin dan histamin) maka pencegahan pembentukan prostaglandin akan
mengurangi efektivitas bradikinin dan histamin. Ibuprofen dan aspirin mampu
berikatan dengan siklooksigenase, dan bersifat kompetitif terhadap arakhidonat.
Secara in vivo
kortikosteroid mampu menghambat pengeluaran prostaglandin pada tikus, kelinci,
dan marmot. Penghambatan pengeluaran asam arakhidonat dari fosfolipida juga
akan mengurangi produk-produk siklooksigenase dan lipooksigenase sehingga
mengurangi mediator peradangan. Kedua enzim tersebut dapat dihambat oleh
benoksaprofen.
Udem
dengan Karagen
Dari sekian banyak teknik percobaan anti
inflamasi, yang paling sering dilakukan adalah pembentukan udem dengan karagen,
suatu polisakarida sulfat yang berasal dari tanaman chondruserispus.
Pembentukan udem oleh karagen tidak menyebabkan kerusakan jaringan meskipun
udem dapat bertahan 6 jam dan berangsur-angsur akan berkurang dan setelah 24
jam akan menghilang tanpa meninggalkan bekas.
Prinsip
Suntikan subkutan karagen pada telapak
kaki belakang tikus menyebabkan udem yang dapat diinhibisi oleh obat anti
inflamasi yang diberikan sebelumnya. Volume udem diukur dengan alat
plethysmometer dan dibandingkan terhadap udem yang tidak diberikan obat.
Aktivitas obat anti inflamasi dinilai dari presentase proteksi yang diberikan
terhadap pembentukan udem.
C.
Cara
Percobaan
a.
Bahan
1. Karagenin
1%
2. Ibuprofen
3. Na
Diklofenak
4. Deksametason
5. Metilprednisolon
6. Binatang
percobaan (Tikus jantan 200-300gr/Wistar).
b.
Alat
1. Pletismograf.
2. Alat
suntik (jarum tupul)
3. Spuit
1 ml
c.
Cara
Kerja
1. Tikus
ditimbang dan kaki kanan belakang diberi tanda sebatas mata kaki.
2. Tikus
tersebut dikelompokkan menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari
5 ekor tikus.
3. Masing-masing
kelompok diukur volume normal kaki kanan belakang (Vn) dengan mencelupkannya ke
dalam cairan raksa sampai batas tanda pada alat plestimograf.
4. Diberi
perlakuan secara peroral dengan menggunakan sonde, yaitu:
Kelompok I (kontrol) :
diberi CMC Na 0,5%
Kelompok II :
diberi Ibuprofen dosis 50,4 mg/kg BB
Kelompok III :
diberi Na Diklofenak dosis 6,3 mg/kg BB
Kelompok IV :
diberi Deksametason dosis 0,126 mg/kg BB
Kelompok V :
diberi Metilprednisolon dosis 0,5 mg/kgBB
5. Setengah
jam setelah perlakuan diberikan , diinjeksikan dengan larutan karagenin 1%
sebanyak 0,05
ml secara subplantar pada kaki kanan belakang yang diukur volumenya tadi.
6. Selanjutnya
tiap 1/2 jam, diukur volume kaki kanan belakang dengan cara mencelupkannya ke
dalam cairan raksa sampai batas tanda pada alat plestimograf. Pengukuran
dilakukan selama 3 jam. Volume kaki dibaca pada pipet ukur 1 ml dengan 1 skala
pada pipet ukur sebesar 0,1 ml.
7. Volume
udema pada setiap jam diketahui dari selisih volume telapak kaki pada jam-jam
tertentu (Vt0, Vt1, Vt2, Vt3, Vt4, Vt5) dengan volume telapak kaki normal (Vn).
D.
Analisa
Data
Data yang diperoleh
dari penelitian ini adalah volume udema yaitu selisih antara volume tiap jam
dengan volume normal. Dari volume udema dihitung persen kenaikan volume udema
(%KVU) dengan rumus
%KVU = x 100%
Dari data persen
kenaikan volume udema dibuat kurva hubungan persen kenaikan volume udema dengan
waktu. Dihitung Area Under Curve (AUC0-5) setiap subyek uji. Nilai AUC volume
udema dihitung dengan metode trapezoid tiap 1 jam dengan rumus:
AUCtn tn-1 = (tn
tn-1)
Vu tn = volumeudema pada t ke n
Vu tn-1 = volume udema pada waktu t ke n-1
Data AUC0-5 dianalisa
secara statistic dengan analisa varian satu jalan. Untuk mengetahui perbedaan
antar kelompok perlakuan dilakukan uji t dengan taraf kepercayaan 95%.
Dari data AUC dihitung persen
daya inflamasinya dengan rumus:
% daya antiinflamasi =
x 100%
Data % daya
antiinflamasi juga dianalisa secara statistic dengan analisa varian satu jalan.
Untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan dilakukan uji t dengan
taraf kepercayaan 95%.
E.
Hal-Hal
yang perlu dipelajari
1.
Jelaskan mekanisme terbentuknya radang!
2.
Sebutkan obat-obat anti-inflamasi dan
apakah ada diantara obat-obat tersebut yang juga kerjanya menghilangkan rasa
nyeri!
3.
Jelaskan
mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi!
F.
Daftar
Pustaka
Anonim. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia
Anonim. 1994. Farmakologi. Jilid II. Jakarta: DEPKES RI
Djamuri, Agus. 1995. Sinopsis Farmakologi. Jakarta:
Hipokrates
PERCOBAAN 9
ANTIDIARE
A.
Tujuan
Setelah menyelesaikan
eksperimen ini mahasiswa:
1.
Mengenal berbagai cara untuk
mengevaluasi secara eksperimental efek antidiare suatu obat.
2.
Mampu memberikan pandangan yang kritis
mengenai kesesuaian khasiat yang dianjurkan untuk sediaan sediaan farmasi antidiare.
B.
Pendahuluan
Diare adalah pengeluaran feses cair atau seperti bubur berulang kali (lebih
dari tiga kali sehari). Pada penyakit usus halus atau usus besar bagian atas,
akan diekskresikan feses dalam jumlah banyak dan mengandung air dalam jumlah
besar, sedangkang penyakit pada bagian distal menyebabkan diare dalam jumlah
sedikit.
Berdasarkan tinjauan patogenetik dibedakan beberapa
mekanisme penyebab diare, yaitu:
a.
Kurangnya
absorbsi zat osmotik dari lumen usus (diare osmotik)
b.
Meningkatnya
sekresi elektrolit dan air dalam lumen usus ( diare sekretorik)
c.
Naiknya
permeabilititas mukosa usus
d.
Terganggunya
motilitas usus
Farmakoterapi diare harus dilakukan pada pasien yang
menunjukkan gejala diare yang signifikan dan terus-menerus (persisten). Obat
antidiare nonspesifik biasanya tidak mengacu pada patofisiologi penyebab diare.
Prinsip pengobatan ini hanya menghilangkan gejala pada kasus diare akut yang
ringan. Obat-obat ini bekerja dengan menurunkan motilitas usus, dan sedapat
mungkin tidak boleh diberikan pada penderita diare akut yang disebabkan
mikroba.
Penggolongan obat yang digunakan untuk diare:
a.
Kemoterapeutika,
untuk terapi kausal, yaitu memberantas bakteri penyebab diare, seperti
antibiotika, sulfonamida, senyawa kinolon.
b.
Obstipansia,
untuk terapi simptomatis yang dapat menghentikan diare dengan beberapa cara:
-
Zat-zat
penekan peristaltik sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk resorpsi air
dan elektrolit oleh mukosa usus. Misalnya loperamid, zat-zat anti kolinergik.
-
Adstringensia,
bekerja dengan menciutkan selaput lendir usus. Misalnya tanin, garam bismut dan
aluminium
-
Adsorbensia
bekerja dengan menjerap zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri atau dari
makanan. Misalnya kabo adsorben.
c.
Spasmolitika,
yaitu zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang seringkali
menyebabkan nyeri perut dan diare, misalnya papaverin.
C. Cara
Percobaan
1. Bahan
a. Larutan
CMC Na 0,5%
b.
Bahan obat:loperamid, carbo adsorbens, diapet, enterostop.
c.
Castor
oil
2.
Hewan
uji:
tikus putih jantan
3. Alat
a.
Spuit injeksi (0,1-1ml)
b.
Jarum oral (ujung tumpul)
c.
Bekker glass
d.
Stop watch
e.
Penangas air
f.
Holder tikus
g.
Neraca ohauss
4. Cara Kerja
a.
Tiap kelompok dibagi menjadi 4 kelompok,
masing-masing mendapat 4 ekor hewan uji (mencit), 1 ekor hewan uji sebagai kontrol normal. Mencit dipuasakan
selama delapan belas jam sebelum percobaan dan minum tetap diberikan.
b.
Kelompok I (loperamid)
: 3 hewan uji diberikan suspensi loperamid
Kelompok II (carbo adsorbens) : 3 hewan uji
diberikan suspensi carbo
adsorbens
Kelompok
III (diapet)
: 3 hewan uji diberikan suspensi diapet
Kelompok
IV (enterostop)
: 3 hewan uji diberikan suspensi enterostop
c.
Satu jam setelah pemberian obat, semua mencit
diberikan castor oil 0,5 mL/ekor mencit secara
per oral,
kecuali kontrol normal.
d.
Dilakukan pengamatan setiap 15 menit
selama 4 jam meliputi saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses
(berlendir/berair, lembek, dan normal), bobot feses, frekuensi diare dan lama
terjadinya diare.
e.
Tabelkan hasil-hasil pengamatan Saudara dengan
sebaik-baiknya.
D.
Pembahasan
dan Simpulan
Bahas
selengkap mungkin mengenai eksperimen ini dan kemukakan pula simpulan-simpulan
dan komentar Saudara.
E.
Hal-hal
yang perlu dipelajari
- Bagaimana
mekanisme castor oil sehingga bias menyebabkan diare?
- Bagaimana
mekanisme obat-obat antidiare?
F.
Daftar
Pustaka
Gunawan, S.G. 2002. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru
Tjay, T. T. dan Kirana R. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Bandung : Penerbit ITB
Hardman, J.G dan Limbird, L.E. 2012.
Dasar farmakologi Terapi. Jakarta : EGC