Sejarah Lahirnya Tahlilan dalam Upacara Kematian
Artikel ini diambil dari berbagai sumber yang memang sudah ada di beberapa blog atau media sosial lainnya. Semoga bisa menjadi referensi bagi para pembaca
Definisi Tahlilan
Tahlilan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata هَلَّل- يُهَلِّلُ-
تَهْلِيْلاً yang artinya mengucapkan lafal لاَ إلهَ
إلاّ اللهُ. Sedangkan secara terminologi adalah acara ritual (seremonial)
memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat
Indonesia. Acara tersebut diselenggarakan ketika salah seorang anggota keluarga
telah meninggal dunia. Secara bersama-sama setelah proses penguburan selesai
dilakukan. Seluruh keluarga, handai taulan serta masyarakat sekitar berkumpul
di rumah keluarga si mayit hendak menyelenggarakan acara pembacaan ayat
al-Qur’an, dzikir dan do’a-do’a yang ditujukan untuk si mayit di alam “sana”.
Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil (لاَ إلهَ
إلاَّ اللهُ) yang diulang-ulang ratusan kali maka acara tersebut
biasa dikenal dengan istilah Tahlil
Dalil yang Menganjurkan Tahlilan
Dalil naqli
Orang yang membolehkan ritual
Tahlilan, mereka mempunyai dalil-dalil yang menurut mereka bisa
dipertanggung-jawabkan. Dalil tersebut meliputi dalil naqli dan dalil aqli.
Adapun dalil naqli yang mereka kemukakan adalah dalil yang diambil dari kitab
Hasyiyah ‘ala Maraqy al-Falah karangan Ahmad ibn Ismail at-Thahawy, yaitu (yang
artinya) :
“Dimakruhkannya hukum penghidangan
makanan kepada keluarga mayit bertentangan dengan keterangan yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang Shahih dari Ashim bin Kulaib
dari ayahnya dari laki-laki Anshar ia berkata,
خَرَجْنَا
مَعَ رَسُوْلِ الله ص. م. فِي جَنَازَةٍ فَرَاَيْتُ رسُوْلَ الله ص. م. وَهُوَ
عَلَى الْقَبْرِ يُوْصَي الْحَافِرُ أَوْسَعَ مِنْ قَبْلِ رِجْلَيْهِ أَوْسَعَ
مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيَّ امْرَأَته فَجَاءَ
بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَاهُ …إخ
Artinya :
“Kami bersama Rasulullah keluar menuju
pemakaman jenazah sewaktu hendak pulang muncullah istrinya mayit mengundang
untuk singgah, kemudian menghidangkan makanan, Rasulullah pun mengambil makanan
tersebut, kemdian para sahabat pun turut mengambilnya pula dan mencicipinya,
pada mulut Rasulullah terdapat sekerat daging”.
Hadits tersebut oleh sebagian kalangan
digunakan sebagai pembenaran perbuatan mengadakan acara Tahlilan dengan argumen
keluarga si mayit menghidangkan makanan kemudian mengundang masyarakat terhadap
hidangan tersebut.
Dalil ‘aqliy
Sedangkan alasan dalil ‘aqliy yang
mereka kemukakan adalah melaui argumen al-Istihsân (mengangap sesuatu itu baik
berdasarkan logika), meliputi:
Bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang bernilai
ibadah
Nilai-nilai shadaqah (ibadah) melalui pembagian makanan, sekaligus
sebagai ritual kirim do’a bagi si mayit
Silaturahmi (ibadah)
Sanggahan
Sanggahan terhadap dalil naqliy
Ahmad
Ibn Isma’il at-Thahawy menyitir dalil naqliy yang dilansir dari Sunan
Abu Dawud dan musnad Imam Ahmad, namun apabila kita bandingkan dengan kitab
aslinya (Sunan Abu Dawud dan Musnad Imam Ahmad) ternyata di dalamnya terdapat
perbdedaan yang sangat signifikan yang dapat merubah makna hadits tersebut,
yaitu:
خَرَجْنَا
مَعَ رَسُوْلِ الله ص. م. فِي جَنَازَةٍ فَرَاَيْتُ رسُوْلَ الله ص. م. وَهُوَ
عَلَى الْقَبْرِ يُوْصَي الْحَافِرُ أَوْسَعَ مِنْ قَبْلِ رِجْلَيْهِ أَوْسَعَ
مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيَّ امْرَأةٌ فَجَاءَ
بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَاهُ …إخ
Di dalam nukilan Ahmad ibn Isma’il
at-Thahawy, ia menambahkan dhamir mudzakar ghaib (hu/ه) di belakang kata (امْرَأةٌ), yang
mengandung arti “istrinya si mayit”, sedangkan dalam kitab aslinya (Sunan Abu
Dawud dan Musnad Imam Ahmad) tanpa menggunakan dhamir mudzakar ghaib (hu/ه),
sehingga maknanya menjadi “seorang wanita”.
Sisi pentingnya ketika menggunakan
dhamir mudzakar ghaib (hu/ه), maka
berarti wanita yang memanggil Rasulullah dan para sahabat sepulang dari
penggunaan jenazah kemudian menghidangkan makanan yang dicicpi oleh Rasulullah
beserta para sahabatnya adalah istrinya si mayit (keluarga mayit). Hal ini
berarti mengandung pengertian taqrir (penetapan) dari Rasulullah, artinya
penghidangan makanan oleh keluarga si mayit itu menjadi dianjurkan, kemudian
implikasi hukumnya acara ritual tahilan merupakan bagian dari sunnah
Rasulullah. Akan tetapi lain halnya apabila dhamir mudzakar ghaib tadi (hu/ه) tidak
dicantumkan maka pengertiainnya adalah wanita tersebut bukan istri atau
keluarganya dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan si mayit tersebut
(bukan keluarga si mayit). Bahkan di dalam hadit yang dikeluarkan Imam Ahmad
bin Hambal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita tersebut adalah wanita quraisy
yang hadir dalam pemakaman.
Dengan ini jelaslah sudah bahwa
hidangan yang dicicipi oleh Rasulullah beserta sahabatnya adalah hidangan yang
disajikan bukan dari keluarga si mayit, akan tetapi berasal dari pihak lain
yang tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga si mayit. Apabila demikian, maka
sejatinya hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan acara ritual tahlilan.
Sebagai konsekwensinya batallah argumen yang menerima acara ritual tersebut.
Bantahan terhadap dalil ‘aqliy
Ini adalah alasan mereka yang paling
umum dan sering digunakan bahwa mereka menganggap bahwa seluruh apa yang ada di
dalam ritual itu adalah baik dan bermanfaat, seperti membaca al-Qur’an, tahlil,
silaturahmi, dll. Mereka berpandangan bahwa melakukan ibadah-ibadah itu di
dalam ritual tersebut adalah suatu perbuatan baik (mereka menganggap baik)
dengan kata lain mereka menggunakan nalar al-Istihsan yang diterapkan dalam
ritual itu. Pertanyaannya adalah, tepatkah asumsi tersebut?
Nalar-nalar yang dibangun dalam koridor
Ushul Fiqih memang sangat rawan untuk dipelintir oleh orang-orang yang mencari
pembenaran atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan
Ushul Fiqih adalah sebuah dunia ilmu yang sarat dengan eksploitasi akal manusia
yang pada dasarnya digunakan untuk menggali kandungan al-Qur’an dan al-Hadits,
yang seharusnya akal tersebut harus didampingi oleh kendali dan rambu-rambu
yang jelas agar penggunaannya tidak melenceng dan melampaui batas melebihi dua
sumber hukum primer tersebut.
Lalu bagaimana jadinya kalau akal itu
tidak dikendalikan dan dibiarkan lepas begitu saja? Yang terjadi adalah
penyelewengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalamnya sebagai upaya mencari
pembenaran atas apa yang diperbuat dan dikehendaki oleh akal.
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan
Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan,
yang populer dengan sebuatan Wali Songo. Atas perjuangan mereka,
berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang
berpusat di Demak, Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam
menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas
penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang
adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menanggulangi masalah adat
istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua
aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah
suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para
pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan
lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak
mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan
dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini,
harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan
dengan syari’at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam
menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid
(Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan
Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka
membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat
upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang
penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh
menyimpang dari syari’at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha
agar adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai
keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih
banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang “radikal”. aliran
ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan
syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran
Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam
Kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan
kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati
roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada
aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.
Yajna Besar
dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna
adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna
untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian
yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari
empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang
bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu
suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam
upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah
mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada
yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu,
tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama
hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah
keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut
datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut
harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta
nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan
menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan
api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si
fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan
saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan
ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan
nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya
dikabulkan.*1
Musyawarah Para Wali*2
Pada masa para wali
dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para
wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk
Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran
Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang
sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki
unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada
waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian
adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang
sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh
diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan
sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai
berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa
adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam,
sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan
bid’ah”?.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :
“Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga”
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak
menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan
Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya.
Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara
dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh
orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung
dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat
lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang
berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta
upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah
heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar
merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan
ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran
klenik/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang
disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan
tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat,
puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya
yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan
seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam
setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang
sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja
Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan
syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja
Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran
Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha
dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran
Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja
Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan
masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan
Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang
sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri
Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang
keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II
sebagai pengganti ayahnya, ia membelas dendam terhadap Truno Joyo yang
menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang
Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh
habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan
demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen.
Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak
(moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada.
maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada
orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara
kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad
tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis
adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna.
Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H.
Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam
dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah
memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri
berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits,
dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam
hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H.
Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat
Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi
juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat
Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh
bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian
ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama
yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu
yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama
aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang
diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung
dina, matang dina, nyatus, dan nyewu. (Tahlilan)
Pada tahun 1926
para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi
nama “Nahdhatul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar
NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain :
“Setiap acara
yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang
sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”.
Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga
semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil,
termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara
Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan
sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam
upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya
dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada
acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa
saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan
negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal
upacara tahlilan dalam kematian ini.
Dengan sudah mengetahui
sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas,
maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah
ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak
mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran
agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran
Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi
kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.
Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
yg sudah jelas terang benderang saja yang kita kerjakan. Kenapa harus
ditambah-tambahin/mengada-ada. Mereka beranggapan ajaran Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih kurang sempurna???
Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara
kematian, kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan
kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap
ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Ada satu hal yang perlu kita jaga
baik-baik, jangan sekali-kali kita berani mengatakan bahwa orang yang
matinya tidak ditahlil adalah kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti
ini termasuk dosa besar, karena berarti Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia
selain orang pulau Jawa yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau
semua.
Na’udzu billahi mindzalik
Daftar Literatur
1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma’arif Bandung 1979
2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975
No comments:
Post a Comment