IDENTIFIKASI DRUG
RELATED PROBLEM (DRPs) PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD
AMBARAWA PERIODE 1 JANUARI – 31 DESEMBER 2016
Proposal
Penelitian
Untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1
Diajukan oleh:
Devi Maya Anggraeni
20144215A
Kepada
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
Oktober
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hipertensi merupakan
penyakit degeneratif yaitu penyakit yang
diakibatkan karena fungsi atau struktur dari jaringan atau organ tubuh yang
secara progesif menurun dari waktu ke
waktu karena usia atau karena pilihan gaya hidup (Subroto 2006). Prevalensi penderita
hipertensi di dunia terus meningkat sangat banyak. Di india mencapai 60,4 juta
orang pada tahun 2002, di China mencapai 98,5 juta orang pada tahun 2002 dan di
Indonesia mencapai 15 juta orang . sekitar 20% dari semua orang dewasa
menderita tekanan darah tinggi dan angka ini terus meningkat (Junaidi 2010).
Menurut World Health Organization (WHO), nilai
yang dianggap merupakan garis batas hipertensi (borderline hypertension) yaitu jika nilai tekanan sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolik 95 mmHg. Batasan dari WHO tersebut tidak tergantung usia
dan jenis kelamin (Kusuma 2009).
Karakter
penyakit hipertensi bersifat timbul tenggelam yang berarti tekanan darah
penderita bisa normal dalam waktu tertentu. Penderita hipertensi mengasumsikan
hal ersebut sebagai tanda kesembuhan, sehingga penderita menghentikan
pengobatan. Penghentian pengobatan menyebabkan penderita tidak dapat
mengendalikan tekanan darah dalam batas normal (Priece & Lorraine 2006).
Penyebab
kematian untuk semua umur telah terjadi pergeseran dari penyakit menular ke
penyakit tidak menular. Prevalensi hipertensi sebesar 29,8% secara nasional
menduduki peringkat tertinggi dibanding penyakit stroke (8,3%) dan jantung
(7,2%) (Soendoro 2008 ).
Suatu penelitian
menunjukkan bahwa 59% pasien hipertensi mengalami DRPs pada pengobatannya
(Garcao and Cabrita 2002).
DRPs (Drug Related Problems)
merupakan suatu keadaan dimana terapi obat berpotensi atau secara nyata mempengaruhi
hasil terapi yang diharapkan (Bemt and Egrberts 2007).
Penelitian ini, rumah sakit yang
akan diteliti adalah RSUD Ambarawa. Dengan alasan di rumah sakit tersebut kasus
penyakit hipertensi banyak diderita pasien. Berdasarkan catatan medik di RSUD
Ambarawa , penderita hipertensi dari periode 1 Januari hingga 31 Desember 2016 sebanyak
124 pasien dan menduduki peringkat ke delapan dari keseluruhan kasus di RSUD
Ambarawa. Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan penelitian pada pengobatan
hipertensi pasien rawat inap di RSUD
Ambarawa terhadap kemungkinan terjadinya Potentian
Drug Related Problems (DRPs).
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut
:
1. Bagaimana
angka kejadian hipertensi terhadap usia dan jenis kelamin di RSUD Ambarawa ?
2. Jenis
DRPs apa saja yang terjadi pada pengobatan hipertensi di RSUD Ambarawa ?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian adalah :
1. Mengidentifikasi
angka kejadian hipertensi terhadap usia dan jenis kelamin di RSUD Ambarawa.
2. Mengidentifikasi
DRPs apa saja yang terjadi pada pengobatan hipertensi di RSUD Ambarawa.
D.
Kegunaan
Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah
:
1. Bahan
masukan bagi pihak Daerah RSUD Ambarawa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan khususnya dalam mencegah DRPs yang terjadi pada pengobatan
hipertensi.
2. Sumber
informasi tentang jenis DRPs yang terjadi pada pengobatan hipertensi di RSUD
Ambarawa.
3. Penelitian
ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti maupun peneliti lain untuk
melakukan studi penggunaan obat khususunya mengenai jenis DRPs yang terjadi
pada pengobatan hipertensi.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Hipertensi
1.
Definisi
Hipertensi adalah
keadaan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan diatolik 90 mmHg
atau lebih dan diukur lebih dari satu kali kesempatan (Chobanian, Brakris,
Brack, Cushman, Green and Joseph, 2003). Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC) VII mengklasifikasikan tekanan darah untuk usia 18
tahun ke atas menjadi empat kelompok yaitu tekanan darah normal, prehipertensi,
hipertensi tingkat 1, dan hipertensi tingkat 2. Pasien yang tekanan darahnya
berada dalam kategori prehipertensi memiliki risiko dua kali lebih besar untuk
terkena hipertensi dibanding dengan orang yang tekanan darahnya lebih rendah
(Chobanian, et al., 2003).
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah
Untuk Pasien > 18 Tahun Menurut Joint
National Committee VII (Chobanian, et
al., 2003).
Klasifikasi Tekanan Darah
|
Tekanan Darah Sistolik (mmHg)
|
Tekanan Darah Diastolik (mmHg)
|
Normal
|
< 120
|
< 80
|
Prehipertensi
|
120 – 139
|
80 – 89
|
Hipertensi Tingkat 1
|
140 – 159
|
90 – 99
|
Hipertensi Tingkat 2
|
≥ 160
|
≥ 100
|
2.
Penyebab
Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi hipertensi essensial dan hipertensi sekunder.
Hipertensi essensial atau primer adalah hipertensi yang tidak jelas
penyebabnya, biasanya disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor. Bukti
epidemiologis menunjuk pada faktor genetik dan pola gaya hidup yang diduga
sebagai penyebab terjadinya hipertensi essensial (William, 2001). Hipertensi
dapat diwariskan dari orang tua kepada anak. Meskipun demikian munculnya
hipertensi lebih berhubungan dengan pola hidup bukan keturunan. Pola hidup
antara lain stress, asupan garam, dan alkohol (Clarke and Hebron, 1999).
Berbeda dari hipertensi
essensial, hipertensi sekunder dapat diketahui penyebabnya. Penyebabnya adalah
penggunaan obat yang dapat meningkatkan tekanan darah, sebagai contoh
kortikostreroid, sibutramin, eritropoetin. Penyebab lain adalah penyakit
penyerta seperti ginjal, endokrin (Chobanian, et al., 2003).
3.
Patofisiologi
Pengaturan tekanan
darah dikontrol oleh saraf simpatis.Baroreseptor perifer yang mendeteksi adanya
perubahan yang mengirim pesan ke pusat kardiovaskuler di otak bagian medula.
Hal ini akan memacu safat untuk mengubah tekanan darah. Stimulasi pada
adrenoreseptor β1 dijantung akan meningkatkan kontraksi jantung. Stimulasi pada
adrenoreseptor β2 dalam arteri mengakibatkan vasodilatasi, sedangkan stimulasi pada
adrenoreseptor α1 diarteri mengakibatkan vasokonstriksi (Saseen dan Carter,
2005).
Pengaturan tekanan
darah juga dipengaruhi ginjal memalui sistem renin angiotensin – aldosteron.
Renin merupakan enzim yang diproduksi di juktaglomerular. Jika ada perubahan
tekanan darah di ginjal dan berkurangnya kadar natrium, klorida, kalium maka
renin akan dilepaskan dari juktaglomerular apartus. Renin akan mengubah
angiotensinigen menjadi angiotensin I didalam darah, kemudian diubah menjadi
angiotensin II oleh Angiotensin
Converting Enzym (ACE). Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi.
Angiotensin II juga dapat menstimulasi sintesis aldosteron dari adrenal korteks
sehingga terjadi peningkatan tekanan darah (Saseen dan Carter, 2005).
4.
Faktor
risiko hipertensi
Berikut adalah faktor risiko
hipertensi :
4.1.
Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi.
Dengan bertambah usia risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar. Hal ini
dikarenaka oleh perunahan struktur pembuluh darah besar yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah sistolik tersebut (Karyadi 2002).
4.2.
Keturunan (Genetik) Adanya faktor
genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah
penderita hipertensi (Merliani et al 2007).
4.3.
Jenis Kelamin Hipertensi lebih banyak terjadi
pada laki – laki pada usia dewasa muda dan banyak menyerang perempuan setelah
usia 55 tahun. Laki - laki memiliki gaya
hidup yang cenderung meningkatkan tekanan darah seperti merokok dan konsumsi
alkohol. Perempuan mengalami kenaikan tekanan darah karena berkurangnya hormon
setelah monopouse sebagai pelindung
pembuluh darah dari kerusakan (Merliani et
al 2007).
4.4.
Merokok dan konsumsi alkohol. Kebiasaan merokok dan
minum minuman beralkohol dapat mempengaruhi peningkatan tekanan darah
disebabkan oleh peningkatan kerja jantung. Nikotin dalam rokok merangsang
hipertensi, meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kebutuhan oksigen
jantung. Konsumsi alkohol menyebabkan peningkatan sintesis katekolamin yang
dalam jumlah besar dapat memicu kenaikan tekanan darah (Laurence 2002)
4.5. Obesitas.
Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya volume darah sehingga
beban jantung untuk memompa darah juga bertambah (Karyadi 2002).
4.6.
Dislipidemia. Merupakan kadar lemak dalam darah.
Kenaikan dapat berupa kadar kolesterol total, kolesterol LDL, Trigliserida, dan
penurunan kolesterol HDL (Karyadi 2002).
4.7.
Konsumsi garam. Garam menyebabkan pengumpulan
cairan dalam tubuh, karena menarik cairan diluar sel karena tidak dikeluarkan
sehingga akan meningkatkan volume tekanan darah (Karyadi 2002).
4.8.
Stress. Dapat meningkatkan tekanan darah untuk
sementara waktu dan bila stress sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali
(Karyadi 2002).
5. Komplikasi hipertensi
Berbagai macam
komplikasi dapat timbul akibat menderita tekanan darah tinggi dalam jangka
waktu panjang atau waktu yang lama. Komplikasi yang ditimbulkan dapat berupa:
otak (stroke), jantung (pembesaran otot
jantung , gagal jantung untuk memompa darah), ginjal (gagal ginjal), dan
mata (gangguan penglihatan).
Pada
hipertensi ringan dan sedang komplikasi jantung koroner lebih sering ditemukan
dibanding komplikasi lain yang timbul akibat hipertensi berat. Komplikasi yang
lain adalah terpengaruhnya dinding pembuluh darah arteri. Arteri yang terkena
adalah otot jantung, aorta, dan pembuluh darah otak. Dinding pembuluh darah itu
mengalami penimbunan lemak, karena lemak yang seharusnya dapat dihancurkan,
menjadi menetap akibat fungsi pembuluh darah yang sudah rusak. Akibat pembuluh
darah tersebut mengalami pengapuran dan tidak elastik (kaku). Jika hal ini
dibiarkan maka dapat terjadi pembekuan darah. Ini sangat berbahaya, karena
terjadinya di otak yang dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian tubuh, bahkan
kematian secara tiba – tiba (Schwinghammer & Terry 2006).
6. Pengobatan hipertensi
Dalam pengobatan
hipertensi ada 2 cara yaitu pengobatan secara non farmakologi dan pengobatan
secara farmakologi.
6.1.
Pengobatan non farmakologi.
Pengobatan
non farmakologi adalahterapi hipertensi yang dilakukan dengan mengubah pola
hidup penderita hipertensi. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah
menurunkan berat badan jiak kegemukan, mengurangi minum alkohol, berolahraga
seperti jogging di pagi hari, mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan
kalium, kalsium dan magnesium, menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak
jenuh dan kolesterol. Seperti halnya pada orang yang lebih muda, intervalensi
non farmakologi ini harus dimulai sebelum menggunakan obat – obatan
(Kuswardhani 2014).
Tabel
II. Modifikasi pola hidup dalam penatalaksanaan hipertensi menurut JNC VII
(Chobanian, et al, 2003)
Modifikasi
|
Rekomendasi
|
Perkiraan
penurunan tekanan darah (mmHg)
|
Penurunan
berat badan
|
Menjaga
berat badan normal (Body Mass Index 18,5 – 24,9 Kg/m2 )
|
5
– 20 per 10 Kg penurunan berat badan
|
Pola
makan
|
Mengkonsumsi
buah – buahan, sayuran, dan makanan rendah kadar lemak
|
8
– 14
|
Kurangi
asupan nartrium
|
Kurangi
asupan natrium ≤ 2,4 gram perhari
|
2
– 8
|
Aktivitas
fisik
|
Olahraga
teratur seperti aerobik ringan minimal 30 memit per hari
|
4
– 9
|
Kurangi
alkohol
|
Membatasi
konsumsi alkohol, pada pria tidak lebih dari 30 ml etanol perhari dan pada
wanita tidak lebih dari 15 etanol ml per hari
|
2
– 4
|
6.2.
Pengobatan farmakologi. Pengobatan farmakologi adalah terapi
hipertensi yang dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit yang akan
mempengaruhi metabolisme dan distribusi obat, karena harus di pertimbangkan
dalam memberikan obat antihipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dengan
dosis kecil dan kemudian ditingkatkan secara perlahan (Nafrialdi 2014).
Tabel III, Panduan pemberian obat
antihipertensi pada pasien dengan indikasi penyulit menurut JNC VII (Chobanian,
et al, 2003).
Indikasi penyulit
|
Antihipertensi yang
direkomendasikan
|
|||||
Diuretika
|
ACE Inhibitor
|
Beta - Bloker
|
Antagonis reseptor
angiotensin II
|
Antagonis Ca
|
Antagonis aldosteron
|
|
Gagal jantung
|
√
|
√
|
√
|
√
|
−
|
√
|
Infark miokard
|
−
|
√
|
√
|
−
|
−
|
√
|
Penyakit koroner
|
√
|
√
|
√
|
−
|
√
|
−
|
Diabetes militus
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
−
|
Ginjal kronik
|
−
|
√
|
−
|
√
|
−
|
−
|
Stroke
|
√
|
√
|
−
|
−
|
−
|
−
|
Algoritme
dari penatalaksanaan hipertensi berdasarkan JNC VII :
Modifikasi
gaya hidup
B.
Drug Related Problems (DRPs)
1.
Definisi
Drug
Relate Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak
diharapkan, berupa pengalaman pasien yang diduga atau melibatkan terapi obat
dan pada kenyataannya atau potensial menggaggu keberhasilan penyembuhan yang
diharapkan (Cipolle, et al 2004).
Dalam ranah
farmasi klinik – komunitas, apoteker hakikatnya memiliki tugas primer yaitu
mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai pengobatan yang rasional
dan optimal. Secara ringkas, langkah – langkah untuk mengidentifikasi dan
menangani DRPs adalah sebagai berikut (PCNE Foundation) :
1.
Menentukan klasifikasi
permasalahan terapi obat yang terjadi
2.
Menentukan penyebab
terjadinya DRPs
3.
Menentukan tindakan
intervensi yang paling tepat terhadap DRPs
4.
Melakukan assesmen
(penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan untuk evaluasi.
Drug Related
Problems (DRPs) ada dua yaitu DRPs potensial dan DRPs aktual. DRP aktual adalah
masalah yang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada
pasien, sedangkan DRP potensial adalah masalah yang diperkirakan akan terjadi berkaitan
dengan terapi obat yang sedang digunakan pasien (Cipolle et al 2004).
2. Jenis – Jenis DRP
Drps
dibagi dalam menjadi kategori yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai
berikut :
a.
Obat yang tidak
dibutuhkan dapat disebabkan oleh tidak adanya indikasi medis yang sesuia dengan
obat yang diberikan, menggunakan terapi polifarmasi yang seharusnya bisa
menggunakan terapi tunggal, kondisi yang lebih cocok mendapat terapi non
farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain,
penyalahgunan obat.
b.
Membutuhkan terapi obat
tambahan dapat disebabkan oleh munculnya kondisi baru sealin penyakit utama
yang membutuhkan terapi, diperlukan terapi obat yang bersifat preventif untuk
mencegah risiko perkembangan keparahan kondisi, kondisi medis yang membutuhkan
kombinasi obat untuk memperoleh efek
sinergis maupun efek tambahan.
c.
Obat kurang efektif
disebebkan oleh kondisi medis sukar disembuhkan dengan obat tersebut, bentuk
sediaan obat tidak sesuai, kondisi medis yang tidak dapat disembuhkan dengan
obat yang diberikan, dan produk obat yang diberikan bukan yang paling efektif
untuk mengatasi kondisi penyakit.
d.
Dosis kurang umunya
disebabkan karena dosis terlalu rendah untuk dapat menimbulkan respon yang
diharapkan, interval pemberian kurang untuk menimbulkan respon yang diinginkan,
durasi terapi obat terlalu pendek untuk dapat menghasilkan respon, serta
interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk
aktif.
e.
Efek samping obat dapat
disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tetepi tidak ada
hubungannya dengan dosis, interaksi obat yang menyebabkan reaksi yang tidak
diharapkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis lain, ada obat lain yang
lebih aman ditinjau dari faktor risikonya, resigmen dosis yang telah diberikan
atau diubah terlalu cepat, obat yang diberikan menyebabkan alergi, dan obat
yang diberikan dikontraindikasikan karena faktor risikonya.
f.
Dosis berlebih
disebabkan oleh dosis obat yang diberikan telalalu tinggi, dosis obat dinaikkan
terlalu cepat, frekuensi pemberian obat terlalu pendek, durasi terapi
pengobatan terlalu panjang, serta interaksi obat yang menyebabkan terjadinya reaksi
toksisitas.
g.
Ketidakpatuhan pasien
umumnya disebabkan karena pasien tidak memahami aturan pemakaian, pasien lebih
suka tidak menggunakan obat, pasien lupa untuk menggunakan obat, obat terllau
mahal bagi pasien, pasien tidak dapat menelan obat atau menggunakan obat
sendiri secara tepat, dan obat tidak tersedia bagi pasien (Cipolle et al 2004).
h.
Interaksi obat adalah
sebagai modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya
atau diberikan bersamaan; atau bila dua atau lebih obat berinteraksi sedemikian
rupa sehingga keefektifan atau toksisitas suatu obat atau lebih berubah.
Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek
farmakokinetik obat dan interaksi yang mempengaruhi respon farmakodinamik obat
(Fradgley et al 2003).
Tabel
III. Jenis – jenis drug related problems dan kemungkinan sebab yang terjadi
DRPs
|
Kemungkinan penyebab
pada DRPs
|
Indikasi perlu obat
|
a. Pasien
dengan kondidi kesehatan terbaru membutuhkan terapi obat terbaru
b. Pasien
kronik membutuhkan terapi obat lanjutan
c. Pasien
dengan kondisi kesehatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk
mencapai efek sinergis atau potensiasi
d. Pasien
dengan risiko perkembangan dalam kondisi kesehatan baru dapat dicegah, dengan
penguaan terapi prophylactic
drug/premedication
|
Obat tanpa indikasi
|
a. Pasien
mendapat obat yang tidak tepat indikasi
b. Pasien
mendapat obat atau hasil pengobatan yang
toksik
c. Pasien
dengan masalah gabungan penyalahgunaan obat,pengguna alkohol, atau merokok
d. Pasien
dengan kondisi pengobatan yang lebih baik diobati dengan non drug therapy
e. Pasien
dengan multiple drug terapi hanya single drug therapy yang dapat
digunakan
f. Pasien
dengan terapi obat untuk penyembuhan dapat menghindari reaksi yang merugikan
dengan pengobatan lainnya
|
Obat salah
|
a. Pasien
dengan masalah obat yang tidak efektif
b. Pasien
alergi dengan pengobatan
c. Pasien
menerima obat paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan
d. Pasien
dengan faktor risiko pada kontraindikasi pengunaan obat
e. Paseien
menerima obat efektif tapi mahal
f. Pasien
menerima obat efektif tapi tidak aman
g. Pasien
yang terkena infeksi resisten terhadap
obat yang digunakan
|
Dosis terlalu rendah
|
a. Dosisi
yang digunakan terlalu rendah untuk memnerikan respon kepada pasien
b. Konsentrasi
obat dalam darah pasien dibawah batas terapeutik yang diharapkan
c. Waktu
prophylaxis antibiotik tidak mencukupi
d. Obat,
dosis, rute, atau formulasi tidak mencukupi untuk pasien
e. Dosis
dan interval fleksibilitas tidak mencukupi untuk pasien
|
Reaksi obat yang
merugikan
|
a. Pasien
dengan pemberian oabt yang terlalu cepat
b. Pasien
memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan
c. Pasien
mendapatkan risiko yang berbahaya jiika obat digunakan
d. Ketersediaan
obat dapat menyebabkan interaksi
dengan obat lain atau makanan pasien
e. Efek
dari obat dapat diubah dengan enzyme inhibitor/induktor dari obat lain
f. Efek
dari obat dapat diubah oleh substansi makanan pasien
g. Efek
dari obat diubah dengan pemindahan obat dari binding site oleh obat lain
h. Hasil
tes laboratorium pasien dapat berubah karena obat lain
|
Dosis terlalu tinggi
|
a. Dosis
terlalu tinggi untuk pasien
b. Pasien
dengan konsentrasi obat dalam darah diatas batas terapeutik obat yang
diharapkan
c. Pasien
dengan dosis obat meningkat terlalu cepat
d. Pasien
dengan akumulasi obat dari pemberian obat kronik
e. Obat,
dosisi, rute, perubahan formulasi yang tidak tepat untuk pasien
f. Dosis
dan frekuensi tidak tepat untuk pasien
|
Kepatuhan
|
a. Pasien
tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, pengobatan,
pemberian, pemakaian)
b. Pasien
tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan
c. Pasien
tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal
d. Pasien
tidak mengambil beberapa obat – obat yang diresepkan karena kurang mengerti
e. Pasien
tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah merasa sehat
|
Interaksi obat
|
a. Interaksi
pada absorbsi ketika obat diberikan secara oral, maka akan terjadi penyerapan
melalui membran mukosa dari saluranpencernaan, dan sebagian besar interaksi
terjadi pada penyerapan diusus.
b. Interaksi
pada distribusi obat pada interaksi ini dapat terjadi melalui beberapa hal,
yaitu : interaksi ikatan protein dan induksi atau inhisis transpor protein
obat.
c. Interaksi
pada nmetabolisme obat reaksi – reaksi yang dapat terjadi pada saat tahap
metabolisme yaitu: yang pertama perubahan pada first pass metabolism salah
satu pada perubahan aliran darah ke hati, dan inhibisi atau induksi first
pass metabolism, kedua induksi enzim, ketiga inhibisi enzim, yang keempat
faktor genetik dan yang terakhir adanya interaksi isoenzim CYP450.
d. Interaksi
pada ekskresi obat sebagian besar oabat diekskresikan melalui empedu atau
urin, pengecualian untuk obat anestesi inhalasi. Interaksi dapat dilihat dari
perubahan pH, perubahan aliran darah diginjal, ekskresi empedu dan ekskresi
tubulus ginjal.
|
(KEMENKES
RI 2014)
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Rancangan
Penelitian
Rancangan penelitian
ini adalah penelitian deskriptif, dilakukan dengan pengambilan data
retrospektif pada pasien yang menjalani
pengobatan hipertensi kemudian dihitung prevalensi DRPs selama tahun 2016.
B.
Tempat
dan Waktu Penelitian
Penelitian ini
dilakukan di indtalasi rekam medik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ambarawa.
Data medik yang diambil merupakan data pasien yang dirawat mulai dari 1 Januari
– 31 Desember 2016.
C.
Populasi
dan Sampel
1.
Populasi
Populasi adalah
sekumpulan orang atau subyek yang memiliki kesamaan dalam satu hal atau
beberapa hal yang membentuk masalah pokok dalam suatu riset khusus. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani pengobatan hipertensi
di instalasi rawat inap RSUD Ambarawa mulai tanggal 1 januari 2016 – 31
Desember 2016.
2.
Sampel
Sampel adalah bagian
atau sejumlah cuplikan tertentu yang diambil dari suatu populasi dan teliti
secara riset. Sampel penelitian ini adalah pasien yang menjalani pengobatan
hipertensi dengan atau tanpa penyakit penyerta di instalasi rawat inap RSUD
Ambarawa mulai tanggal 1 januari 2016 – 31 Desember 2016 yang memenuhi kriteria
inklusi.
D.
Teknik
Sampling dan Jenis Data
1.
Teknik
Sampling
Pengambilan sampel
dilakukan dengan metode purposiv sampling,
yaitu dengan cara mengambil data setiap pasien yang memenuhi kriteria
Penelitian secara keseluruhan
berurutan di masukkan ke dakam penelitian sampai kurun waktu tertentu.
2.
Jenis
Data
Jenis data yang
digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kartu rekam medik
pasien yang dirawat dari bulan Januari – Desember 2016 di RSUD Ambarawa
meliputi resep dan data kelengkapan pasien (seperti umur, jenis kelamin,
diagnosa, hasil pemeriksaan laboratorium).
E.
Kriteria
Sampel
1.
Kriteria
inklusi
Pasien yang terdiagnosa
utama hipertensi dengan atau tanpa komplikasi di Instalasi rawat inap RSUD
Ambarawa dalam rentang waktu 1 Januari –
31 Desember 2016 dengan riwayat pengobatan pasien yang lengkap.
2.
Kriteria
eksklusi
Pasien yang menjalani
pengobatan hipertensi dengan atau tanpa penyakit lainnya di Instalasi rawat
inap RSUD Ambarawa dalam rentang waktu 1 Januari – 31 Desember 2016 dengan
riwayat pengobatan pasien yang tidak lengkap, rekam medik hilang / rusak.
F.
Variabel
Penelitian
1.
Variabel
bebas (Independent variable)
Variabel bebas berupa
penggunaan obat pada pasien hipertensi di Instalasi rawat inap RSUD Ambarawa
dakam waktu jangka tahun selama tahun 2016.
2.
Variabel
terikat (dependent variable)
Variabel terikat yaitu
pasien yang terdiagnosa utama hipertensi dengan atau tanpa komplikasi yang
menjalani pengobatan di Instalasi rawat inap RSUD Ambarawa.
3.
Variabel
tergantung
Variabel tergantung
yaitu jenis DRPs yang terjadi pada pengobatan pasien di Instalasi rawat inap
RSUD Ambarawa.
G.
Definisi
Oprasional Variabel
1.
Tempat Penelitian.
Tempat penelitian adalah di Instalasi rawat inap RSUD Ambarawa
2.
Hipertensi. Hipertensi
adalah keadaan tekanan darah yang lebih dari 140/90 mmHg yang diderita pasien
rawat inap RSUD Ambarawa.
3.
Outcome pasien dalam
penelitian ini adalah keadaan pasien saat pulang (discharge) dari rumah sakit. Terbagi dalam 3 kondisi yaitu :
tekanan darah sudah turun, tekanan darah belum normal tapi dipaksa pulang (atas
permintaan sendiri), meninggal. Tekaan darah sudah turun disini berarti ada
penurunan tekanan darah (sesuai patokan RSUD Ambarawa) dibanding saat masuk
rumah sakit, bukan berarti pulih seperti sedia kala. Penilaian kodisi pasien
oleh dokter yang merawat.
4.
Obat adalah obat –
obatan yang diresepkan oleh dokter dan diberikan kepada pasien hipertensi
selama perawatan di RSUD Ambarawa.
5.
Drug Related Problems
(DRPs). Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak diinginkan yang
dialami oleh pasien hipertensi yang
melibatkan terapi obat dan cenderung mengganggu kesembuhan yang pasien inginkan
di Instalasi rawat inap RSUD Ambarawa.
H.
Alur
Penelitian
Alur dalam
penelitian ini melalui beberapa tahap, dimana tahap –tahap tersebut dijelaskan
pada gambar 2 dbawah ini :
Pengajuan
proposal kepada dosen pembimbing skripsi
Universitas setia Budi
|
I.
Pengolahan
data
1. Data
karakteristik umum pasien mencakup usia, jenis kelamin, jenis penyakit penyerta
dan lama rawat inap diolah menjadi bentuk tabel yang menyajikan jumlah dan
persentase.
2. Data
pemakaian obat hipertensi dan obat lainnya sesuai dengan jenis penyakit
penyerta dan komplikasi yang terjadi selama pasien rawat inap sampai pulang
diolah menjadi bentuk tabel yang menyajikan jumlah dan persentase.
3. Data
kejadian DRPs yang terjadi diolah menjadi bentuk tabel yang menyajikan jumlah
dan persentase.