cerpen TEMAN BARU MISTERIUS



TEMAN BARU MISTERIUS

Maya turun dari mobil dan memandang rumah baru di depannya tanpa kata. Rumah itu indah dan terlihat nyaman. Namun Maya tidak yakin apakah ia akan betah tinggal disana. Maya sebetulnya tidak ingin pindah rumah. Ia sangat sedih saat harus pindah sekolah dan berpisah dari teman-temannya.
Sebaliknya, Ned, adik Maya, tampak semangat dan berwow-wow mengagumi  rumah baru mereka. Tanpa istirahat dulu, Ned bahkan langsung keliling kompleks.
Untuk menghibur diri, Maya pun langsung masuk ke kamarnya barunya. Ia membaca buku cerita favoritnya sampai jatuh tertidur.
“Maya ... sudah waktunya makan malam.”
“Oh.” Maya langsung terbangun dan melihat Ibunya sudah berdiri di ambang pintu.
“Ibu tunggu di ruang makan ya. Ayah dan Ned sudah siap di meja makan, Ah, jangan lupa tutup jendelanya, ya!” Ibu tersenyum lembut, menunggu anggukan dari Maya, kemudian beranjak pergi.
Sebenarnya Maya tidak berselera makan. Namun ia tetap beringsut turun dari tempat tidurnya. Ia tak mau mengecewakan ibu. Ibu pasti sudah membuat masakan istimewa untuk merayakan hari kepindahan mereka.
Maya melangkahkan kaki lesu kearah jendela yang masih terbuka. Hmm memang sudah malam. Matahari sore tadi kini sudah berganti dengan bintang – bintang yang bertebaran terang dilangit.
Tetapi , eh lupa!?
Maya melongokkan kepala keluar jendela. Di seberang jalan, ada rumah bertingkat yang gelap dan berpagar tinggi seperti puri penyihir, rumah itu memiliki jendela-jendela kaca yang berjajar rapi dan sama bentuk. Semua gelap kecuali satu.
Ya. Maya bisa melihat pendaran cahaya yang redup di salah satu jendela kaca itu. Dan disana, ada sepasang mata mengintip dari balik tirai yang tersibak!!
Maya sontak menutup jendela hiiiiii apakah itu hantu? Maya bergidik ngeri
***
Hari pertama di sekolah baru berlalu dengan cukup menyenangkan.
Maya mendapatkan teman sebangku yang baik dan lucu. Teman-teman lain di kelas barunya juga tampak menyenangkan.
“teman-teman di kelas baruku juga baik. Dan perpustakaan nya dua kali lebih besar dari perpustakaan di sekolah kita yang lama. Buku-bukunya juga jauh lebih banyak. Aku sudah mendaftar jadi anggota perpustakaan dan meminjam buku ensiklopedia yang terbaru,” cerita Ned penuh semangat.
Maya tersenyum, ikut senang melihat semangat adiknya yang baru kelas 3 SD itu.
O iya! Aku juga sudah dapat teman baru yang asyik. Rumahnya di situ!” Ned menunjuk rumah bertingkat di seberang jalan.
Maya membulatkan mata, “rumah bertingkat itu? Kata Ayah, itu rumah kosong!”
 “Tapi kemarin aku benar-benar kenalan dengan anak yang tinggal dirumah itu. Untuk membuktikan mereka pun datang ke rumah itu. Mereka memencet bel dan mengetuk pintu berkali-kali. Namun, tak ada seorangpun yang muncul.
“Ned, jangan-jangan teman barumu itu ... hantu .. “ bisik Maya
“Bukan. Tapi, kalaupun itu hantu, ya, tidak apa-apa kalau dia baik hatii... “ Ned malah tertawa-tawa.
Ihhhh !! Maya jadi kesal dan makin penasaran.
Karena itulah, malamnya Maya mengintip dari jendela dan memperhatikan rumah misterius itu.
Tak lama, sosok itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas, sosok itu adalah sosok anak laki-laki berwajah pucat yang berumur sama dengan Maya.
Maya memberanikan diri memandang anak misterius itu lebih lama. Namun, anak laki-laki itu menutup tirai jendela dan menghilang dengan cepat.
Apa anak itu benar-benar hantu? Pikir Maya dengan jantung berdegub.
***
Pagi ke dua di sekolah yang baru, Maya terkesiap.
Anak mkisterius yang terlihat tadi malam, masuk ke kelas Maya. Ia duduk di bangku pojok belakang!! Namun tak ada satu anak pun yang bicara padanya ataupun melihat kearahnya. seolah-olah tidak terlihat!!
Saat anak laki-laki itu menoleh ke arah Maya dengan wajahnya yang putih pucat, Maya langsung berlari keluar kelas memanggil Ned.
“Ned, dia ada dikelasku. Ayo!” kata Maya dengan bapas tersengal.
“Siapa?” Walau heran dan tak mengerti, Ned tetap berjalan cepat mengikuti kakaknya.
Maya pun menceritakan tentang sosok yang dilihatnya dua malam ini. “ mungkin anak yang kulihat itu adalah teman barumu yang tinggal di seberang rumah kita.”
Akan tetapi, saat mereka berdua kembali ke kelas Maya, anak berwajah pucat itu sudah menghilang lagi.
Hah !? jadi mana yang benar? Anak itu hantu atau bukan?
Maya hanya bisa terpaku dan bertanya-tanya kebingungan.
Jam demi jam terasa terlewat begitu lambat. Saat akhirnya bel istirahat berbunyi, Maya langsung lega.
Hari ini, Maya nyaris tak bisa berkonsentrasi . ia terlalu penasaran dengan anak berwajah pucat yang muncul dan menghilang di kelas tadi pagi. Apa anak itu adalah anak yang sama dengan anak yang menjadi teman baru Ned?
“ Kamu sedang ada masalah, ya?” Lora teman sebangku Maya, akhirnya bertanya. “ kalau ada masalah, cerita saja. Siapa tahu aku bisa bantu.” Lora berkata dengan wajah serius. “ Ah ! mungkin kalau masalahmu terlalu berat, aku tidak bisa membantu. Tapi paling tidak , kamu akan merasa lega setelah bercerita.” Kali ini Lora nyengir
Maya jadi tertawa saat melihat cengiran Lora. Maya senang karena Lora begitu perhatian dan ingin membantu. Namun Maya juga bingung bagaimana cara menceritakan kejadian-kejadian aneh yang dialaminya.
“Jadi, ada apa?” Lora bertanya lagi.
“Mmm ...” Maya mengedarkan pandangannya. Setelah yakin semua teman sekelasnya sudah keluar dari kelasn, Maya pun menceritakan apa yang dialaminya.
Akan tetapi, Lora malah tertawa. “ Itu Ega. Dia teman sekelas kita. Bukan hantu sama sekali. Kemarin dia tidak masuk, karena sakit. Dan hari ini, dia datang tapi isin pulang lagi. Ternyata dia masih merasa tidak enak badan.”
Maya nyengir. Sakit? Pantas saja anak itu berwajah pucat.” Tapi kok, semua anak disini tidak ada yang memperhatikannya?”
“ Soalnya, dia aneh. Kami tidak akrab dengan dia.” Jawab Lora.
Eh? Aneh? Tidak ada yang bertemman akrab dengan anak itu?
Maya mengerutkan dahinya. Ia tidak menyangka kelau di kelas barunya ada hal yang seperti ini. Di dalam kelas yang tampaknya sangat kompak ini, ternyata ada satu anak berbeda.
***
Saat berjalan pulang, Maya bercerita tentang Ega pada Ned.
“Dia baik, kok!” sanggah Ned. “ Ega tidak aneh sama sekali.”
Maya hanya bisa mengedikkan bahu bahu sambil terus melangkah.
“Ah!” Maya menghentikan langkahnya tiba-tiba.
“Kata Lora, rumah besar bercat hijau di dekat lapangan itu adalah rumah Ega.”
“ Eh? Rumahnya bukan yang ada di depan kita itu?” Ned mengerutkan dahi, bingung. “ Ah. Kenapa kita tidak buktikan saja?” putus Ned. :”Katanya dia sakit, kan? Sekaliyan saja kita tengok. Ayo kak,”
Mau tak mau, Maya pun mengikuti adiknya menuju ke rumah bercat hijau itu.
***
Seperti kata Lora, rumah itu memang rumah Ega. “ ayo masuk.” Ibu Ega tampak senang dengan kedatangan Ned dan Maya. “ Ega, teman-temanmu datang menjengukmu.”
“Eh?” seorang anak berwajah pucat dan berselimut tebal yang sedang duduk di sofa ruang tamu itu, menoleh kaget.
Maya juga tak kalah kaget. Namun, dalam hati, ia merasa sangat lega. Anak berwajah pucat yang dilihatnya ada di balik jendela itu .... anak yang pagi ini muncul di kelasnya itu ..... ternyata memang Ega. Dan saat melihat senyuman Ned, Maya langsung tahu, kalau Ega memang si teman baru yang diceritakan Ned.
Akan tetapi, masih ada satu misteri lagi. Kalau Ega tinggal disini, kenapa dua malam ini ia ada di rumah kosong yang ada di depan rumahnya?
***
“oooh, begitu,” Ned manggut-manggut. “ Jadi, rumah di sebrang rumah kami itu adalah rumah pamanmu?”
Ega mengangguk, “ Paman sekarang ini bekerja sebagai peneliti di luarr negeri. Sejak kecil, aku sering menginap dan menghabiskan waktu di rumah pamanku. Sampai sekarang juga masih begitu. Soalnya, pamanku punya banyak koleksi buku. Bahkan segala macam buku ensiklopedia juga tersedia lengkap di rumah pamanku.
“Benarkah?” mata Ned langsung berbinar.
Tak lama, mereka berdua sudah asyik ngobRol soal berbagai buku dan segala macam pengetahuan. Ega yang sebenarnya masih sakit, tampak bersemangat berdiiskusi dengan Ned.
Maya hanya menonton dengan geli. Ned dan Ega tampak sangat cocok. Pembicaraan mereka seperti tak ada habis – habisnya. Maya lega setelah tahu kalau Ega bukan anak aneh yang tak bisa berteman dengan siapapun.
“Hei, kakaku sempat mengira kamu ini hantu.” Ega mengangkat alis. “ Aku tidak tahu kalauada tetangga baru. Jadi saat melihatmu dijendela, kupikir kamu juga hantu.”
“Tapi, kan, kamu sudah kenal Ned,” ujar Maya.
Ega  meringis. “ Aku tidak tahu kalu Ned punya kakak. Ned juga tidak cerita kalau dia tinggal di Depan rumah pamanku .”
Mereka langsung tertawa karena sama-sama telah berfikir konyol. Hi hi ....





Drama 6 orang kanti bahasa jawa AMARGA MIRAS NYAWA BABLAS






AMARGA MIRAS NYAWA BABLAS
Kelompok     : 01
Peraga         :
v  Albert Ricardo Kadapuk dados  Narator
v  Dwi PrasSetryono kadapuk dados Tobi
v  Khanif Anwar kadapuk dados Wibi
v  Teguh Santoso kadapuk dados Pak Kyai Abdul Rozak
v  Faiza Oktafiana Dika Saputri kadapuk dados Adel
v  Feni Dinarwarti kadapuk dados Bu Aniah
v  Defi Fadilah kadapuk dados Bu Udin
Wangsul sekolah Tobi lan wibi mlaku ing kiwo dalan. Wibi lan Tobi werus Ibu-ibu sing lagi mbeto dompet sing kandhel duite
Tobi   “ He Wibi,.... ono ibu-ibu gowo dompet”
Wibi  “ la meh ngopo tho ...??..
Tobi   “ kan sak iki awak dewe ra duwe duit .........
Wibi  “ ho’o mumpung duitku geg entek ...
Tobi   “ mending sakiki awak dewe njambret duite ibu-ibu
Wibi  “ lha meh gawe opo >???...
Tobi   “ gawe tuku miras wae ......
Banjur Wibi lan Tobi nyopet ibu-ibu mau, ujuk-ujuk pas pak ustadz krungu suoro Ibu Aniah njaluk tulung
Ibu Aniah    “ tuluung tuluuung ono jambreet nang kene, tuluung tuluuuung
    selametke dompetku
Pak Ustadz  “ Penjambret, penjambret endi endi ayo tak bantu, bu ono opo
Ibu Aniah    “ ono penjambret kae ...
Pak Ustadz  “ endi endiii???
Ibu Aniah    “ kae penjambrete wes mlayu .............
Pak Ustadz  “ oh ..... ya tak oyake
Banjur penjambrete mau ora kecekel, duite mau banjur gawe tuku miras karo poro jambret nang warung Bu Udin.
Tobi             “ Bu Tuku mirase
Bu Udin        “ cah cilik kok wes tuku miras , iki ke gawe cah gede, ora kanggo koe
  nang cah cilik “..
Wibi            “ yo ra popo to bu, hak asasi, karo nek tuku miras neng ibu lak yo ibu oleh duit to, kan aku tuku .............”
Bu Udin        “ ohh.... yo wes karepmu nag arep tuku nang ..............
Wibi            “ tuku 5 bu ...............
Bu Udin        “ loh kok tuku akih to nang , mengko koe iso kenang ngopo-ngopo lo....
Tobi            “ luweh to bu, wong yo sing ngombe aku kok sampeyan sing ribut..
Bu Udin        “ yo wes sak karepmu. Iki mirase, nanging mengko nag ono opo-opo ojo salahke aku.... “
Wibi            “ alah iyo –iyooo bu santai wae, kabehe piro bu ??
Bu Udin        “ Rp
Tobi            “ ohh yo iki bu .....
Banjur Tobi lan Wibi ngombe nganti entek  5 botol, Tobi lan Wibi mabukparah, banjur tanpo di sengojo ketemu pak ustadz karo bu Aniah
Bu Aniah      “ pak Ustadz kae lho cah loro kae sing mau njambret aku ....
Pak Ustadz  “ ohh .... iyo bu ayo parani ...
Bu Aniah      “ nang koe cah loro mau sing njambret aku, jambret dompetku
Tobi             “ alah ngopo to koe kok ngomong opo, ayo melu mabuk wae ....
Pak Ustadz  “ koe isih cilik kok wes ngerti mabuk,njur sok gede kowe arep dadi opo...
Bu Aniah      “ njur nag kowe mati kepriye..
Wibi            “ ngomong opo kowe, nag pingin melu mabuk mrene ora usah isin-isin
Pak Ustadz  “ yo wes ayo nang kantor polisi wae, ngosek enteni kene tal telponke polisi, mengko polisine ben mrene
Sakbanjure pak ustadz telpon banjur polisine tekan panggonan kono, ananging polisine tekan panggonan kono bocah loro mau uwis semaput, ora sadar.
Sakbanjure kui bocah loro mau di gowo pak polisi menyang puskesmas sing cedak, untunge bocah loro iso ketulung kanti cepet karo poro dokter ing puskesmas kui, yen leno sak wetoro wae bocah loro kui tentu wes ora iso ketulung maneh nyawane alias mati, amergo mabuk miras lan sak banjure bocah loro mau uwis sehat, banjur di proses nang kantor kepolisian amargo wis ngelakoni tumindak kriminal, njambret lan mabuk nang tempat umum.


CERPEN SESAL CINTA



           

 Seperti biasanya Jogja selalu memperlihatkan pesonanya, tak terkecuali hari itu awan begitu cerah seraya memperlihatkan senyuman matahari di atas kepala. Saat itu Nana yang masih duduk di bangku SD pun telah pulang kerumah. Dia tinggal dengan neneknya di Jogja, sedangkan orang tuanya mengadu nasib di perantauan ibukota. Nana terbiasa menjadi anak yang bergitu rajin dan santun, tidak pernah ia sekalipun mengecewakan neneknya. Setiap ia pulang sekolah tak lupa ia melaksanakan kewajibannya untuk mencari kayu bakar setelah itu menimba air untuk neneknya. Setelah segala kewajiban ia selesaikan dengan hati tulus baru waktunya ia untuk bermain bersama teman-teman sebayanya.
            “ Nana, ayo main!” panggil seorang laki-laki dari luar rumahnya.
            “ iya, sebentar” jawab Nana seraya berlari menghampiri temannya itu.
            Nino adalah temannya bermain di desa entah itu bermain atau tidak mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Setelah selesai bermain biasanya mereka pulang untuk mandi sehabis itu mereka bersepeda bersama dengan teman- teman yang lain pula. Mereka sering keliling kampung dengan sepeda mereka masing-masing. Tapi tidak seperti biasanya, tiba-tiba saat Nana mengayuh sepedanya terasa semakin lama semakin pelan dan berat. Sedangkan teman yang lainnya telah mendahuluinya, namun masih ada Nino yang berada di belakangnya. Segeralah Nino turun dari sepedanya.
            “ Kenapa Na sepedanya ? ” Tanya Nino sambil menarik standar sepedanya
            “Engga tau ini No, mungkin bocor bannya” jawab Nina sambil jongkok dan memeriksa keadaan ban sepeda bututnya itu.
            “Oh iya ini bocor Na, yaudah kita bawa kebengkel depan aja di ambil besok siang ini udah mau magrib, kamu nanti aku bonceng sampe rumah besok kita ambil bareng sepedanya” saran Nino kepada sahabatnya itu
            Nina pun menyetujuinya dan merekapun berjalan bersama ke bengkel depan. Sesampainya dibengkel yang tidak begitu jauh, Nino langsung memberikan sepeda Nina kepada tukang bengkel untuk di perbaiki dan di ambil esok siang. Setelah itu Nino dengan senang hati mengantar sahabat kecilnya pulang samapi rumahnya. Dengan sepedanya ia bonceng sahabat kecilnya dan ia kayuh dengan semangat sepedanya itu.
            Selang waktu berjalan, akhirnya Nina lulus dari SD sedangkan Nino naik ke kelas 2 SMP. Seperti biasanya Nina tidak pernah mengecewakan neneknya, apa yang di inginkan neneknya selalu ia usahakan untuk mewujudkanya. Nina mendapat nilai baik di sekolahnya dan ia berkeinginan bisa masuk satu sekolah dengan sahabatnya Nino di sekolah yang memang ia cita-citakan. Tapi takdir berkata lain, orang tua Nina yang sudah kembali dari ibu kota memilih menetap di Semarang dan meminta Nina untuk sekolah di sana. Dengan berat hati Nina menyetujuinya berpisah dengan sahabat-sahabatnya terutama Nino dan sang nenek yang begitu ia cintai. Hari telah tiba dimana ia akan meninggalkan kota desa kecil penuh cerita. Tanpa ada kata perpisahan dengan Nino ia meninggalkan desa tersebut.
            “Ayo Na cepat masuk mobil ini sudah terlalu sore nanti sampai sana kemaleman” perintah sang ibu kepada anak perempuannya itu.
            Dengan berat hati Nina mulai menuju mobil yang akan membawanya ke tempat dan kisah yang baru. Dalam hati Nina ia berharap sahabatnya Nino datang menemuinya untuk sekedar bertegur sapa sebelum ia pergi. Namun apa yang Nina inginkan mungkin tidak akan ia dapatkan karna mobil yang ia kendarai mulai meninggalkan rumah tua sang nenek. Tapi, tanpa Nana sadari saat mobil mereka mulai melaju melewati rumah Nino, di situlah Nino menyaksikan sahabat kecilnya pergi dengan linagan air mata yang ia tahan.
            “Suatu saat nanti kita akan bertemu lagi Nina, aku janji pada diriku aku tak akan pernah melupakan sahabat terbaikku,sampai kapanpun aku akan terus mengingatmu, pergilah Na kejar harapan dan cita-citamu di sana, di sini pun aku akan terus menunggu saat kita akan bertemu kembali” ucap lirih Nino seraya menyaksikan sahabatnya pergi melalui kaca jendela kamarnya.
            Tahun deni tahun Nina lalui hambar hidupnya di Semarang, tidak tau hal apa yang harus ia lakukan agar hidupnya lebih berwarna. Dalam hati kecilnya yang ia tau warna dalam hidupnya adalah saat ia dapat tertawa bebas bersama sahabat kecilnya. Iya, Nina mulai merasakan hatinya kosong,ia rindu akan canda tawa sahabatnya, Nino memang adalah warna terindah yang ada untuk segala cerita hidup Nana. Akhirnya Nana dengan semangat mencari tau tentang sahabat kecilnya itu. Ia mulai menelusuri jejaring social dan menghubungi kaka sepupunya di Jogja. Dan akhirnya selama beberapa hari mencari Nina mendapatkan info tentang sahabat kecilnya itu.
            Sekarang Nino telah tumbuh menjadi laki-laki yang begitu tampan tanpa menghilangkan sopan santunnya. Saat ini Nino telah duduk di bangku SMA kelas 3. Sedangkan Nina saat ini telah duduk di kelas 2 SMA. Akhirnya mereka pun bertegur sapa dan bencanda seperti tahun-tahun dahulu yang pernah mereka lalui. Berbulan-bulan mereka berkomunikasi akhirnya di suatu malah Nina mendapatkan pesan dari handphonenya.
            “Na Senin depan aku mau pergi ke Austria,aku dapet beasiswa kuliah di salah satu perguruan di sana “
            Dengan hati senang yang bercampur sedih Nina menjawab pesan dari sahabatnya itu. “Wah, selamat ya aku ikut bahagia sahabatku ini bisa sampe ke luar negeri, makin jauh ya kita”
            Entah suasana apa yang sedang ia alami saat ini. Nina sedih itu yang pasti, karna sebenarnya Nina begitu mencintai sahabatnya, namun bukan arti cinta seperti sebagai sehabat. Apa yang Nana saat ini rasakan berbeda dari rasa pada masa kecilnya. Nina merasa ia benar-benar mencintai Nino lebih dari seorang sahabat. Perasaan itu muncul saat Nina menyadari hidupnya hambar bila tidak di warnai dengan canda tawa Nino. Tapi apa kini telah terjadi, mungkin takdir belum menyatukannya atau mungkin tidak di takdirkan bersama.
            Waktu itu telah tiba dimana Nino harus pergi meninggalkan Nina. Sebelum Nino pergi dia meninggalkan pesan untuk Nina.
“Nina jaga diri kamu baik-baik, tetaplah tersenyum dengan apapun keadaanmu,semangatlah dengan apapun cita-citamu,jarak ini tidak akan pernah mampu menghapuskan segala cerita hidup yang berkesan yang aku laluinya dengan canda tawa bersama denganmu, aku akan kembali, kembali untuk tertawa bersama denganmu kembali seperti dahulu, selamat jalan Nina sahabat kecilku”
            Dengan begitu sedihnya Nina membaca pesan itu,tak kuat pula Nina menahan air mata yang membanjiri pipinya. Sungguh begitu tak berwarna hidupnya saat ini, baru saja warna itu sedikit demi sedikit datang saat ini harus pergi kemali, pergi begitu amat jauh dari gapaiannya.
            Nina jalani hari-harinya dengan semangat, karna dia selalu mengingat apa pesan dari sahabatnya itu. Nina selalu serius dengan pendidikannya sampai akhirnya dia di terima di Universitas Gajah Mada di Jogja, kampus yang selalu ia impikan. Nana selalu merasa semua ia lakukan berkat Nino sahabatnya yang selalu menyemangatinya dalam berbagai hal yang positif. Akhirnya 4 tahun Nana kuliah ia mendapatkan gelar sarjana psikolog dengan nilai yang begitu amat baik.
            Saat ini Nana bekerja menjadi psikolog anak di sebuah rumah sakit ternama di Jogja. Suatu hari, Nana melewati lorong rumah sakit untuk mengantar berkas-berkas ke ruang direktur rumah sakit, dan sempainya di depan pintu ia ketuk pintu tersebut.
            (tok-tok)”permisi pak” sopan Nana berbicara dengan direktur rumah sakit yang masih muda tersebut.
            “Iya masuk” jawab direktur namun ia masih menjawab telepon dari temannya,lalu ia matikan handphonenya dan mulai menaruhnya di meja. Direktur rumah sakit itu lalu duduk dan mengambil berkas-berkas yang di bawa Nana.
            Setelah menadatangani berkas-berkas tersebut direktur rumah sakit itu mengembalikannya ke Nana dan tepat pada saat mengembalikan tersebut mereka saling menatap mata begitu lama.
            “Kamu?” Nino begitu kaget dengan seseorang yang berada di hadapannya sekarang.
            “Nino….” Jawab Nana seraya meneteskan airmatanya.        
            Nana dan Nino lalu bangun dari tempat duduknya dan mereka pun berpelukan. Mereka sangat terharu dengan kejadian itu. Bertahun-tahun mereka berpisah, bertahun-tahun rindu yang hanya bisa mereka pendam dan pada akhirnya mereka di petemukan kembali dengan cara Tuhn yang begitu amat menakjubkan. Dalam keadaan masih berpelukan Nino berbicara.
            “ Tuhan adil kan Na, akhirnya kita di pertemukan kembali, rindu ini akhirnya terobati, kamu sekarang udah besar ya, kamu sekarang tambah semakin cantik dan kamu tidak berubah kamu masih aja cengeng” sambil melepaskan pelukannya dan mengusap air mata yang ada di pipi Nana.
            Sejak pertemuan itu mereka selalu habiskan hari-hari mereka bersama. Hampir setiap pulang kerja mereka selalu menyempatkan waktu untuk bertemu. Selang beberapa bulan Nino berbicara serius empat mata bersama Nana di sebuah cafĂ© ternama dan romantis di Jogja. Tentunya dengan di temani alunan angin dan suasana romastis khas Jogja.
            “Na, aku mau jujur sejak kecil dulu aku suka dengan apapun tentang kamu, entah senyum dan kepribadianmu, semangatmu, lelucon dan apapun tentangmu, awalnya aku  kira itu hanya rasa sebagai seorang sahabat tapi ternyata bertahun-tahun aku tidak bisa untuk mencintai seseorang. Karna yang aku tau dalam hati ini hanya ada kamu,kamu,kamu dan kamu.”
            “Lalu apa maksud dari itu semua?” Tanya Nana
            “Dan aku putuskan rasa yang ada untuk kamu adalah rasa yang lebih dari sekedar persahabatan, bertahun-tahun aku tidak sanggup mengungkapkannya,namun malam ini aku ingin memperjelas perasaan ini, Na maukah kamu menjadi makmum dalam solatku selamanya ?”
            Kaget betul hati Nana, mimpi apa ia semalam semua sama seperti apa yang ia rasakan bertahun-tahun. Menyimpan segala perasaanya sendirian dan tak seorangpun tau dan pada akhirnya semua menjadi nyata. Dengan perasaan yang begitu bahagia dan linangan air mata bahagia ia terima pinangan sahabat kecilnya itu. Selang beberapa bulan dari pinangan itu, mereka menikah dengan sederhana di rumah nenek Nana, dimana di desa  itu cinta dan kasih sayang mereka tumbuh dan perpisahan menyakitkan itu terjadi. Namun di tempat itu pula mereka mengikat janji abadi.