Makalah Tentang Tahlil

Sejarah Lahirnya Tahlilan dalam Upacara Kematian
Artikel ini diambil dari berbagai sumber yang memang sudah ada di beberapa blog atau media sosial lainnya. Semoga bisa menjadi referensi bagi para pembaca

 


Definisi Tahlilan

Tahlilan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata هَلَّل- يُهَلِّلُ- تَهْلِيْلاً yang artinya mengucapkan lafal لاَ إلهَ إلاّ اللهُ. Sedangkan secara terminologi adalah acara ritual (seremonial) memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Indonesia. Acara tersebut diselenggarakan ketika salah seorang anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama-sama setelah proses penguburan selesai dilakukan. Seluruh keluarga, handai taulan serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga si mayit hendak menyelenggarakan acara pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir dan do’a-do’a yang ditujukan untuk si mayit di alam “sana”. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil (لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ) yang diulang-ulang ratusan kali maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah Tahlil
Dalil yang Menganjurkan Tahlilan

    Dalil naqli

Orang yang membolehkan ritual Tahlilan, mereka mempunyai dalil-dalil yang menurut mereka bisa dipertanggung-jawabkan. Dalil tersebut meliputi dalil naqli dan dalil aqli. Adapun dalil naqli yang mereka kemukakan adalah dalil yang diambil dari kitab Hasyiyah ‘ala Maraqy al-Falah karangan Ahmad ibn Ismail at-Thahawy, yaitu (yang artinya) :

“Dimakruhkannya hukum penghidangan makanan kepada keluarga mayit bertentangan dengan keterangan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang Shahih dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari laki-laki Anshar ia berkata,

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله ص. م. فِي جَنَازَةٍ فَرَاَيْتُ رسُوْلَ الله ص. م. وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصَي الْحَافِرُ أَوْسَعَ مِنْ قَبْلِ رِجْلَيْهِ أَوْسَعَ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيَّ امْرَأَته فَجَاءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَاهُ …إخ

Artinya :

“Kami bersama Rasulullah keluar menuju pemakaman jenazah sewaktu hendak pulang muncullah istrinya mayit mengundang untuk singgah, kemudian menghidangkan makanan, Rasulullah pun mengambil makanan tersebut, kemdian para sahabat pun turut mengambilnya pula dan mencicipinya, pada mulut Rasulullah terdapat sekerat daging”.

Hadits tersebut oleh sebagian kalangan digunakan sebagai pembenaran perbuatan mengadakan acara Tahlilan dengan argumen keluarga si mayit menghidangkan makanan kemudian mengundang masyarakat terhadap hidangan tersebut.

    Dalil ‘aqliy

Sedangkan alasan dalil ‘aqliy yang mereka kemukakan adalah melaui argumen al-Istihsân (mengangap sesuatu itu baik berdasarkan logika), meliputi:

    Bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang bernilai ibadah
        Nilai-nilai shadaqah (ibadah) melalui pembagian makanan, sekaligus sebagai ritual kirim do’a bagi si mayit
        Silaturahmi (ibadah)

    Sanggahan

    Sanggahan terhadap dalil naqliy

Ahmad  Ibn Isma’il at-Thahawy menyitir dalil naqliy yang dilansir dari Sunan Abu Dawud dan musnad Imam Ahmad, namun apabila kita bandingkan dengan kitab aslinya (Sunan Abu Dawud dan Musnad Imam Ahmad) ternyata di dalamnya terdapat perbdedaan yang sangat signifikan yang dapat merubah makna hadits tersebut, yaitu:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله ص. م. فِي جَنَازَةٍ فَرَاَيْتُ رسُوْلَ الله ص. م. وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوْصَي الْحَافِرُ أَوْسَعَ مِنْ قَبْلِ رِجْلَيْهِ أَوْسَعَ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِيَّ امْرَأةٌ فَجَاءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَاهُ …إخ

Di dalam nukilan Ahmad ibn Isma’il at-Thahawy, ia menambahkan dhamir mudzakar ghaib (hu/ه) di belakang kata (امْرَأةٌ), yang mengandung arti “istrinya si mayit”, sedangkan dalam kitab aslinya (Sunan Abu Dawud dan Musnad Imam Ahmad) tanpa menggunakan dhamir mudzakar ghaib (hu/ه), sehingga maknanya menjadi “seorang wanita”.

Sisi pentingnya ketika menggunakan dhamir mudzakar ghaib  (hu/ه), maka berarti wanita yang memanggil Rasulullah dan para sahabat sepulang dari penggunaan jenazah kemudian menghidangkan makanan yang dicicpi oleh Rasulullah beserta para sahabatnya adalah istrinya si mayit (keluarga mayit). Hal ini berarti mengandung pengertian taqrir (penetapan) dari Rasulullah, artinya penghidangan makanan oleh keluarga si mayit itu menjadi dianjurkan, kemudian implikasi hukumnya acara ritual tahilan merupakan bagian dari sunnah Rasulullah. Akan tetapi lain halnya apabila dhamir mudzakar ghaib tadi (hu/ه) tidak dicantumkan maka pengertiainnya adalah wanita tersebut bukan istri atau keluarganya dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan si mayit tersebut (bukan keluarga si mayit). Bahkan di dalam hadit yang dikeluarkan Imam Ahmad bin Hambal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita tersebut adalah wanita quraisy yang hadir dalam pemakaman.

Dengan ini jelaslah sudah bahwa hidangan yang dicicipi oleh Rasulullah beserta sahabatnya adalah hidangan yang disajikan bukan dari keluarga si mayit, akan tetapi berasal dari pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga si mayit. Apabila demikian, maka sejatinya hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan acara ritual tahlilan. Sebagai konsekwensinya batallah argumen yang menerima acara ritual tersebut.

    Bantahan terhadap dalil ‘aqliy

Ini adalah alasan mereka yang paling umum dan sering digunakan bahwa mereka menganggap bahwa seluruh apa yang ada di dalam ritual itu adalah baik dan bermanfaat, seperti membaca al-Qur’an, tahlil, silaturahmi, dll. Mereka berpandangan bahwa melakukan ibadah-ibadah itu di dalam ritual tersebut adalah suatu perbuatan baik (mereka menganggap baik) dengan kata lain mereka menggunakan nalar al-Istihsan yang diterapkan dalam ritual itu. Pertanyaannya adalah, tepatkah asumsi tersebut?

Nalar-nalar yang dibangun dalam koridor Ushul Fiqih memang sangat rawan untuk dipelintir oleh orang-orang yang mencari pembenaran atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan Ushul Fiqih adalah sebuah dunia ilmu yang sarat dengan eksploitasi akal manusia yang pada dasarnya digunakan untuk menggali kandungan al-Qur’an dan al-Hadits, yang seharusnya akal tersebut harus didampingi oleh kendali dan rambu-rambu yang jelas agar penggunaannya tidak melenceng dan melampaui batas melebihi dua sumber hukum primer tersebut.

Lalu bagaimana jadinya kalau akal itu tidak dikendalikan dan dibiarkan lepas begitu saja? Yang terjadi adalah penyelewengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalamnya sebagai upaya mencari pembenaran atas apa yang diperbuat dan dikehendaki oleh akal.

Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan, yang populer dengan sebuatan Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berpusat di Demak, Jawa Tengah.

Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.

Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menanggulangi masalah adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.

ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.

Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.

Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.

Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam. Maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Budha, Hindu, animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran Giri yang “radikal”. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena dituduh mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran ini dicap sebagai aliran Islam abangan.

Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.

Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.

Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati roh-roh orang yang sudah mati.

Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.

Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.*1

Musyawarah Para Wali*2

Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.

Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :

“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”?.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :

“Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga”

Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya. Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.

Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka lahir suatu ajaran klenik/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak usah dilakukan.

Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.

Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus mempengaruhi para raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para ulama aliran Giri.

Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu.

Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayahnya, ia membelas dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam, terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.

Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M, muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan konservatif dan tradisional.

Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu. (Tahlilan)

Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya organisasi yang diberi nama “Nahdhatul Ulama” yang disingkat NU. Pada muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain :

“Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di masyarakat”.

Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU. Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi tahlilan sampai sekarang.

Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam kematian ini.

Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.

Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yg sudah jelas terang benderang saja yang kita kerjakan. Kenapa harus ditambah-tambahin/mengada-ada. Mereka beranggapan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih kurang sempurna???

Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Ada satu hal yang perlu kita jaga baik-baik, jangan sekali-kali kita berani mengatakan bahwa orang yang matinya tidak ditahlil adalah kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti ini termasuk dosa besar, karena berarti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia selain orang pulau Jawa yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau semua.

Na’udzu billahi mindzalik

Daftar Literatur

1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma’arif Bandung 1979
2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975

Kebenaran Cerita Syaikh Siti Jenar

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.

Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]

Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam

Hukuman Untuk Pencuri Menurut Ajaran Islam

Ketika Khalifah Umar bin Khattab mengangkat 'Amr bin 'Ash menjadi gubernur di Mesir, beliau bertanya kepada 'Amr: "Wahai 'Amr, ada ada pencuri datang kepadamu, apa yang akan kamu lakukan?" 'Amr bin 'Ash dengan tegar dan tegas menjawab: "Akan aku potong tangannya."

Bagaimanakah respon Khalifah Umar akan jawaban tegas ini? Ternyata responnya lebih tegar dan tegas: "Kalau datang kepadaku seorang pendudukmu dalam keadaan kelaparan, tangamu yang akan aku potong." Tak panjang jawaban khalifah Umar, namun mampu menjadikan hati pendengarnya gemetar dan merasa berat mendapatkan amanah menjadi gubernur.

Kisah tersebut menyiratkan banyak hal, di antaranya adalah bahwa ada hubungannya pencurian dengan kondisi kelaparan penduduk. Ketika pencurian merajalela di suatu negeri dalam berbagai bentuknya, jangan harap negeri itu menjadi kaya, jaya dan penuh berkah walaupun sumber daya alamnya terkenal potensial kaya. Pencurian kelas kecil disebut pencopetan atau pengutilan, sementara pencurian kelas kakap disebut dengan korupsi anggaran.

Hal lain yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah bahwa yang paling bertanggungjawab atas kondisi masyarakat suatu negeri adalah pemimpinnya. Yang menyedihkan adalah ketika pemimpin itu sendiriinya yang memimpin aksi pencurian di negerinya. Tak salah kalau hukuman bagi koruptor itu diberatkan. Namun mengapa masih saja marak kasus pencurian yang bernama korupsi ini?

HAKIKAT KEHADIRAN AGAMA

HAKIKAT KEHADIRAN AGAMA
Kehadiran agama sejatinya dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari system social yang menindas, menzalimi dan dalam waktu yang sama juga mencerdaskan pikiran dan mencerahkan batin. Inti ajaran agama Islam adalah Tauhid. Yakni bahwa hanya Allah saja dan satu-satunya Yang Maha Besar, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Absolut dan Maha Rahman-Rahim. Dengan begitu maka hanya Allah jugalah satu-satunya yang patut disembah dan seluruh makhluk (ciptaan Tuhan) wajib menyembah atau mengabdikan seluruh hidupnya kepada-Nya. Atas dasar ini, maka substansi ibadah (pengabdian) kepada Tuhan seharusnya merefleksikan fungsi-fungsi pembebasan manusia atas manusia yang lain dari struktur social yang menindas dan menzalimi di satu sisi dan menegakkan kebenaran, keadilan dan kemakmuran manusia di sisi yang lain. Dan hanya kepada-Nyalah semua manusia bergerak dan digerakkan. Persaudaraan umat manusia adalah prinsip dari Tauhid. Bentuk-bentuk pengabdian kepada Tuhan secara personal (ibadah individual) yang didasari keyakinan personal itu sejatinya merupakan cara menghadirkan Tuhan dalam pribadi-pribadi muslim, yakni bahwa Tuhan selalu menyertai gerak nafas hidup manusia. Dia mengawasi dan mencatat perjalalanan hidup mereka. Ia juga menanamkan kesadaran kepada manusia akan fungsinya sebagai hamba Tuhan yang karena itu harus mengabdi dan merendahkan diri hanya kepada-Nya dan tidak kepada yang lain. Kesadaran-kesadaran ini diharapkan pada gilirannya teraktualisasi dalam kehidupan bersama mereka sehari-hari. Ibadah personal dengan begitu sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan social dan kemanusian yang lebih luas. Islam dengan seluruh perangkat aturannya dihadirkan untuk manusia dan untuk mewujudkan kerahmatan dan kemaslahatan (kebaikan/kesalehan) di antara mereka. Inilah sejatinya makna ibadah dan taqwa dalam Islam.
Ketika ibadah individual tidak membuahkan efek ketaqwaan social dan kemanusiaan, bahkan sebaliknya, membuahkan sikap-sikap hidup negatif atau destruktif (menyakiti dan merusak) maka, disamping merupakan kesia-siaan, bisa dikatakan sebagai kebangkrutan manusia dalam beragama. Nabi mengatakan :“Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan-amalan ibadah shalat, puasa dan zakat. Tetapi pada saat yang sama ia juga datang sebagai orang yang pernah mencacimaki orang lain, menuduh orang lain, makan harta orang lain, mengalirkan darah orang lain, memukul orang lain". Ini sejalan dengan pernyataan Tuhan dalam al Qur'an : "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti hati orang-orang beriman, laki-laki atau perempuan, maka mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata".(Q.S.[33]:58). “Kesempurnaan iman seseorang adalah budi pekerti yang baik dan berlaku lembut terhadap keluarganya”.
Pesan-pesan moral kemanusiaan Islam sungguh terungkap pada setiap teks suci. Nabi menginformasikan kepada kita bahwa mendamaikan konflik antar manusia memiliki nilai lebih utama ketimbang shalat, puasa atau zakat. Karena kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik tersebut adalah kebinasaan agama". (Al Jami’ al Shaghir, I/197).
“Satu hari seorang pemimpin bertindak adil terhadap rakyatnya adalah lebih utama daripada orang yang beribadah selama 60 tahun”( Al Maqashid al Hasanah, hlm. 334). Dan Jihad yang paling utama adalah menyampaikan pesan kebenaran (atau keadilan) kepada pemerintah yang zalim”. (Al Jami’ al Shaghir, I/81).
Sejarah kehidupan kaum muslimin generasi salaf memperlihatkan kepada kita bahwa mereka tidak pernah mendikotomisasi ibadah individual dan ibadah sosial. Pada dini hari yang tenang dan teduh kaum muslimin generasi awal (al Salaf al Shalih) khusyuk dalam sujud, bermunajat dalam do'a, memohon ampunan Tuhan, membaca dan men-tadabbur (merenungkan) makna-makna al Qur-an dan tanda-tanda alam semesta, sementara pada siang harinya mereka memacu kudanya, menanam kurma dan kerja-kerja sosial kemanusiaan. Mereka “Ruhban bi al Lail, Fursan fi al Nahar”, (bagai rahib pada malam hari, dan penunggang kuda pada siang hari). Seluruh kerja dan perjuangan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan menegakkan martabat kemanusiaan adalah ibadah, pengabdian kepada Tuhan yang tidak kurang pahalanya dari ibadah yang lain.
Mulla Sadra mengatakan : al-Safar min al-khalq ila al-khalq bi al-Haq (al-Khaliq). Berkelana dari manusia ke manusia bersama Tuhan.

UNTUNG NABINYA BUKAN ANDA!! - Oleh: K. H. Nidhom Subki Tumpang Malang

UNTUNG NABINYA BUKAN ANDA!!
Untuk ANDA Yang Punya hobi Membid'ahkan dan Menyesatkan
Oleh: K. H. Nidhom Subki Tumpang Malang
-------
Beruntung sekali kita dijadikan ummat Nabi Muhammad SAW. Nabi yang Rouuf, Nabi yang Rohiim. Nabi yang punya misi rahmatan lil 'alamin. Nabi yang punya prinsip " Buat Mudah jangan buat sulit!". "Gembirakan jangan kau takut-takuti". "Dekati! Jangan buat lari!". "Yassiru wa laa Tu'assiruu!", "Bassyiru wa laa tundziru!" ....
Tak bisa dibayangkan jika Nabinya adalah ANDA, golongan yang punya kebiasaan unik tapi sangat tidak menarik, yaitu membid'ah-bid'ahkan, menyesat-nyesatkan bahkan mengkafir-kafirkan saudaranya sendiri. Coba lihatlah bagaimana Rosululloh SAW memberikan contoh dalam menyikapi hal-hal baru yang tidak beliau ajarkan secara khusus.
Ya .... semua ini, hal-hal baru ini terjadi di zaman Rasululloh SAW. Antara lain:
Pertama;
Bilal bin Robah setiap kali hadats beliau langsung bersuci. Bilal juga selalu sholat dua roka'at setiap selesai wudlu dan sehabis adzan. Hal ini beliau lakukan berdasarkan pemikiran beliau sendiri, inisiatifnya sendiri. Tidak ada petunjuk khusus dari Rosululloh SAW.
Lalu bagaimanakah respon Rosululloh SAW ? apakah Rosululloh berkata : "Hai Bilal engkau telah membuat kreasi sendiri dalam ibadah. Engkau telah berbuat bid'ah! Engkau telah sesat! Nerakalah tempatmu!". Apakah Rosululloh SAW berkata seperti itu?.
Sama sekali TIDAK, sekali lagi .... TIDAK!!. Bahkan Rosululloh SAW memuji Bilal, "Engkau mendahuluiku ke surga wahai Bilal !!!" ..... (diriwayatkan oleh Atturmudzi di dalam sunan, al-Hakim dalam al-Mustadrok, al-Bayhaqi dalam Syu'abul iman).
Beruntung sekali Bilal, karena ...... Nabinya bukan ANDA!!!!! .....
Kedua;
Dalam sebuah kisah yang penuh dengan patriotisme, Khubaib bin Adi al-Anshori melakukan sholat dua rokaat sebelum dibunuh oleh orang-orang qurays, hingga akhirnya kematian syahid menjemputnya ditiang salib. Sholat yang dilakukan oleh Khubaib bin Adi ini kemudian menjadi tradisi yang dilakukan oleh para sahabat yang dengan tabah menerima kematian oleh kekejaman orang-orang kafir. (silahkan lihat al-mu'jamul kabir atthabrani, juga diriwayatkan al-Bukhori dan Ahmad)
Sholat dua roka'at yang dilakukan oleh Khubaib muncul dari inisiatifnya sendiri, karena beliau beranggapan sholat adalah ibadah yang paling utama dan mulia. Beliau ingin akhir hayatnya ditutup dengan sholat. Rasululloh SAW tidak pernah memberi petunjuk khusus mengenai hal itu, misalnya Rasululloh SAW memerintahkan "Sholatlah dua roka'at sebelum engkau di bunuh oleh orang-orang kafir!". Tidak! .... Nabi SAW tidak mengajarkannya. Lalu apakah Rasululloh SAW kemudian berkata seperti perkataan ANDA! Apakah Nabi SAW menyesatkan Khubaib sebagaimana ANDA menyesatkan saudara ANDA sendiri! Apakah setelah Nabi mengetahui apa yang dilakukan oleh Khubaib kemudian beliau berkata "Khubaib telah sesat, ia telah berbuat bid'ah!" ..... tidak! Sekali lagi Tidak! ....
Beruntung sekali Khubaib Bin Adi, karena ..... Nabinya bukan ANDA!!!
Ketiga;
Salah seorang sahabat anshor yang menjadi imam di masjid Quba', setiap kali selesai membaca surat al-fatihah beliau pasti membaca surat al-ikhlas, baru kemudian beliau membaca surat yang lain. Jadi surat apapun yang ia baca dalam sholat pasti didahului dengan membaca surat al-ikhlas. Hingga berita ini sampai kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bertanya kepada sahabat yang menjadi imam itu, "Apa yang mencegahmu memenuhi permintaan teman-temanmu?, apa yang mendorongmu membaca surat al-ikhlas itu setiap raka'at?". Sahabat itu menjawab, "Sungguh aku mencintai surat itu". Lalu Nabi SAW berkata, "Apa yang kau cintai akan membawamu ke surga". (lihat fathul Bari al-Hafidh ibnu Hajar dalam bab al-jam'u baina suratain fir rok'ati)
Maa Syaa Allah .... inilah Nabiku, inilah Nabi anda ... inilah Nabi kita.
Lihatlah!!! ..... Apakah Nabi langsung melotot seperti ANDA sambil teriak, "SESAT KAU!!", "BID'AH KAU!", "Engkau telah membuat hal-hal baru dalam agama, engkau melakukan sesautu yang tidak aku contohkan, yang tidak aku ajarkan!!!" . "NERAKA TEMPATMU!!".
TIDAK! Sekali lagi TIDAKK! ... Maknyesss Rasulullah SAW berkata "APA YANG ENGKAU CINTAI MEMBAWAMU KE SURGA". Clepp ... ademm
AH .... beruntung sekali sahabat itu, karena .... NABINYA BUKAN ANDA !!!
Keempat;
Qotadah bin Nu'man, sebagaimana diceritakan al-Hafidh ibn Hajar, setiap malam beliau menghabiskan malamnya dengan mengulang-ulang surat al-ikhlas di dalam sholat hingga masuk waktu subuh. Hal ini kemudian dilaporkan kepada Nabi. Dan bagaimanakah tangapan Nabi? Apakah Nabi akan merespon seperti ANDA? . Apakah Nabi mengatakan "jika itu baik pasti aku lebih dulu mengerjakannya". Apakah Nabi berkata, "Engkau melakukan ibadah tanpa contoh dariku! Ibadahmu sia-sia! Bid'ah Kau! Sesat kau! .... TIDAK !!! sekali lagi TIDAK !!!. Malah sebaliknya Rasulullah SAW dengan lembut dan motifasi yang tinggi beliau berkata " Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamannya, surat al-Ikhlash itu sebanding dengan sepertiga al-Qur'an".
Ah .... beruntung sekali sahabat Qotadah bin Nu'man itu, karena .... NABINYA BUKAN ANDA!
Kelima;
Yang ini bahkan hingga sekarang kita lakukan dan dilakukan oleh seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali ANDA yang hobi membid'ahkan.
Sebelum peristiwa ini terjadi, ketika para sahabat ketinggalan jama'ah, mereka akan bertanya sudah raka'at keberapakah Nabi ?, kemudian mereka akan takbir dan melakukan gerakan-gerakan yang tertinggal hingga ketika sudah sama gerakan dan raka'atnya baru mereka mengikuti gerakan imam. Sehingga jama'ah terlihat kurang teratur. Ada yang masih berdiri, ada yang masih ruku', ada yang sujud, dan lain sebagainya. Hingga suatu hari datanglah Mu'adz bin Jabal yang terlambat jama'ah. (diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Abu Dawud)
Mu'adz bin jabal langsung mengikuti gerakan Nabi, dan setelah salam beliau menambah raka'at yang tertinggal. Hal ini ia lakukan semata-mata karena kecintaannya pada Rasulullah SAW. Beliau tidak mau ketinggalan lebih banyak lagi, beliau ingin gerakannya sama dengan gerakan imam dalam hal ini Rasulullah SAW.
Lalu bagaimanakah Rasulullah SAW menyikapi tindakan Mu'adz bin Jabal tersebut, yang sama sekali belum pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan berbeda dengan sahabat-sahabat yang lain. Apakah Nabi SAW mengatakan seperti perkataan ANDA, " Engkau melakukan ibadah menurut kreasimu sendiri! Ibadahmu sia-sia! Bid'ah Kau! Sesat kau! .... TIDAK !!! sekali lagi TIDAK !!! bahkan Rasulullah SAW kemudian berkata, " sesungguhnya Mu'adz telah membuat satu jalan (cara) baru untuk kalian, lakukanlah seperti yang dilakukan oleh Mu'adz!" . dan hingga sekarang kita melakukan apa yang dilakukan oleh Mu'adz bin Jabal. ALHAMDULILLAH
Beruntung sekali Mu'adz Bin Jabal karena disetiap gerakan yang dilakukan oleh makmum masbuq mulai saat itu hingga hari qiyamat, Mu'adz bin Jabal mendapat bagian pahalanya, karena ia lah yang memulai cara yang baik itu. Dan beruntung sekali, karena ........... Nabinya bukan ANDA!!!
Sebenarnya masih ada ke enam, ke tujuh, ke delapan ... dan seterusnya. Anda bisa mencarinya sendiri, bukankah anda adalah kelompok yang paling ngerti hadits Nabi Kami
Saudaraku ... anda yang ngaku paling ngerti sunnah ! bukankah sikap Nabi SAW di atas juga sunnah? Bukankah perkataan Nabi SAW pada Bilal bin Rabah, Ucapan Nabi SAW pada sahabat Anshar, perkataan Nabi SAW pada Qotadah, perkataan Nabi SAW pada Mu'adz, bukankah ucapan-ucapan seperti itu juga sunnah. Bukankah banyak sunnah-sunnah yang membuat sejuk, membuat tentram, membuat damai, memberi motifasi? .... tapi entahlah mengapa anda hanya berkutat pada sunnah sekitar celana dan janggut saja. Anda terlalu serius pada hadits kullu bid'atin dlolalatun hingga lupa ada hadits man sanna sunnatan hasanatan . eh ... maaf saya sudah suul adab, menjelaskan sunnah pada antum. Bukankah antum yang lebih faham sunnah.
Tapi ... ya sudahlah ! teruskan saja membid'ah-bid'ahkan, menyesatkan-nyesatkan, mengkafir-kafirkan. Kami akan tetap bahagia dan terima kasih untuk anda, karena anda kami bisa lebih bersyukur

Kebudayaan Jawa Tengah SLUKU-SLUKU BATHOK

Perkembangan peradaban yang dikenal sebagai era globalisasi di dunia ini semakin menunjukkan eksistensinya sebagai peradaban yang selalu berkembang. Dampak dari perkembangan era yang serba digital ini sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Ia datang kepada manusia untuk memudahkan manusia dalam segala aktifitasnya. Bahkan imbas dari peradaban tersebut masuk ke dalam kebudayaan, termasuk ke dalam budaya-budaya bangsa Indonesia.
Masuknya era globalisasi ke dalam kebudayaan manusia menganggap bahwa sebagian kebudayaan tersebut ketinggalan zaman. Walaupun masih ada sebagian masyarakat yang mentradisikan kebudayaan tersebut. Akan tetapi sebagian masyarakat sebagai pelestari kebudayaan lambat laun mulai meninggalkan kebudayaan yang diciptakan oleh nenek moyang. Bahkan muncul anggapan kebudayaan yang baru dipercaya sebagai kebudayaan yang modern.
Sejatinya apabila ditelusuri kebudayaan merupakan refleksi dari nilai-nilai, pandangan, kebutuhan, keyakinan dan gagasan yang secara integratif diyakini oleh kemunitas pendukungnya. Kebudayaan ini juga dapat dinyatakan sebagai jati diri sebuah masyarakat.  Karena kebudayaan itu sendiri adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Diartikan juga sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.  Oleh karena itu, betapa pentingnya kedudukannya dalam kehidupan masyarakat, maka perlu adanya pernyataan dan sosialisasi dan proses pewarisan pada generasinya berikutnya.
Seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola, tentu bisa kita perinci menurut fungsi-fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia dalam masyarakatnya. Suatu sistem aktivitas khas dari kelakukan berpola, beserta sistem norma dan tata kelakukannya, serta peralatannya. Ditambah dengan manusia sebagai personal yang melakukan kebudayaan tersebut. totalitas tersebut yang merupakan pranata kebudayaan. Sehingga seluruh komponten tersebut menjadi sebuah satu kesatuan yang membentuk kebudayaan.
Warak Ngendok merupakan salah satu unsur utama dari tradisi Dugderan yang ada di kota Semarang. Tradisi Dugderan ini dilakukan setiap menjelang wulan poso (bulan Ramadlan). Di mana tradisi Dugderan tidak lain merupakan warisan sejarah dan budaya masyarakat Semarang. Keberadaan Warak Ngendok sebagai simbol dalam ritual Dugderan ini mampu bertahan hingga sekarang ini di tengah perubahan sosial-kultur masyarakat. Bahkan Warak Ngendok menjadi maskot masyarakat Semarang. Hal itu karena dukungan secara signifikan dari masyarakat pendukungnya, termasuk pemerintah kota.

Di jawa banyak sekali adat istiadat yang selalu mengiringi kehidupan sehari-hari. dan di pulau Jawa ini sangat banyak sekali kebudayan yang pada dasarnya berprinsip pada kultur daerah atau letak geografis itu sendiri. Jawa terbagi menjadi beberapa  bagian Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur , Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta.

di Jawa Tengah sendiri banyak sekali kebudayaan yang ada dalam kehidupan sehari-hari yang bisa kita lihat. 

antara lain lagu - lagu daerah Jawa tengah Sluku-sluku Bathok.

SLUKU-SLUKU BATHOK
"Sluku-sluku bathok,
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo,
Oleh-olehe payung mutho.
Mak jenthit lolo lo bah,
Yen mati ora obah
Yen obah medeni bocah,
Yen urip goleko dhuwit..."
Sluku-sluku bathok:
Hidup tidak boleh dihabiskan hanya untuk bekerja. Waktunya istirahat ya istirahat, untuk menjaga jiwa dan raga agar selalu dalam kondisi seimbang. Bathok (kepala) kita perlu beristirahat untuk memaksimalkan kemampuannya.
Bathoke ela-elo:
Dengan cara berzikir (ela-elo = Laa Ilaaha Ilallah), mengingat Allah akan mengendurkan
syaraf neuron di otak, Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tentram.

Si Rama menyang Solo:
Siram (mandilah, bersuci)
menyang (menuju) Solo (Solat).
Lalu bersuci dan dirikanlah salat.

Oleh-olehe payung mutho:
Maka kita akan mendapatkan perlindungan (payung) dari Allah, Tuhan kita.

Mak jenthit lolo lo bah:
Kematian itu datangnya tiba-tiba, tak ada yang tahu. Tak bisa dimajukan atau dimundurkan
walau sesaat.

Wong mati ora obah:
Saat kematian datang, semua sudah terlambat. Kesempatan beramal hilang.

Yen obah medeni bocah:
Banyak yg ingin minta dihidupkan, tapi Allah tidak mengizinkan. Jika mayat hidup lagi maka bentuknya menakutkan dan mudharatnya akan lebih besar.

Yen urip goleko dhuwit: Kesempatan terbaik untuk beramal adalah saat ini. Saat masih hidup.